Bab 34 - Mohon Doa Restu

934 237 16
                                    

Setelah hampir 10 hari, akhirnya aku kembali lagi.

Beberapa hari kemarin, aku sedang berduka banget-banget. jadinya gak bisa update apapun.

Hm... Sabarr.. Intinya setelah Aini selesai, aku mau buat cerita baru, agar kalian paham gimana perasaan kesal aku atas kabar duka ini.

Semoga kalian paham.


-------------------------------------------


Kumulai kisah ini selayaknya cerita sepasang sepatu. Bila sendiri tiada arti, bila berdua maka akan memberikan keindahan yang sangat berarti.

Menarik tuas rem mobilnya, Guntur melirik ke arah Aini yang terlihat gugup di sampingnya. Selepas sholat magrib tadi, yang kebetulan mereka lakukan di mushola kecil dalam resto Yummy Healthy, Guntur langsung mengantarkan Aini pulang ke rumah. Jam kerja bang Yos yang sudah berakhir sejak jam 6 tadi, karena beliau masuk shift pagi, turut ikut di dalam mobil ini.

Dalam kondisi mesin mobil yang sudah berhenti, ketiganya sempat terdiam. Keheningan yang mereka rasakan semakin menambah rasa aneh dipikiran masing-masing. Apalagi baik Guntur, Aini ataupun bang Yos memiliki pemikiran beda-beda yang bisa jadi merujuk pada satu hal sama. Namun entah mengapa ketiganya enggan membicarakan langsung. Mungkin sebentar lagi, begitulah yang mereka pikirkan. Sebentar lagi mereka akan menceritakan apa yang ada dalam pikiran mereka.

"Ayolah masuk." Bang Yos sadar lebih dulu. Dia segera keluar dari mobil, dan berjalan masuk ke dalam gang sempit menuju rumahnya.

Mobil mewah milik Guntur yang ia parkir di lapangan kecil di daerah perumahan padat penduduk memang sangat menarik perhatian. Sekalipun kondisi di sini minim penerangan, namun masih banyak saja warga yang menotice kehadiran mobil tersebut.

"Mantap kali Yos."

Seorang tetangga menegur bang Yos disaat dia baru keluar dari mobil Guntur, dan melangkah masuk ke dalam gang rumah.

"Alhamdulillah, Pak. Disholawatin terus," sahutnya jenaka.

Sambil mengangkat tangannya, tanda pamit, Yos melanjutkan langkahnya meninggalkan Guntur serta Aini yang masih belum keluar dari mobil.

"Tasmu di belakang jangan lupa," ucap Guntur sebelum membuka pintu mobil dengan kondisi tangannya membawa sebuah map yang entah berisi apa di dalamnya. Yang jelas laki-laki itu terlihat begitu santai dengan tujuan baiknya malam ini.

Berbanding terbalik dengan Aini. Gadis itu terlihat begitu gelisah. Debaran jantungnya sama sekali tidak bisa diajak kerja sama. Bahkan tangannya merespon begitu gugup disaat ia ingin mengambil tas ransel yang berada di kursi belakang.

"Ayo ..." ajak Guntur. Dia sengaja membiarkan Aini jalan di depannya, sedangkan Guntur membantu Aini dengan mengarahkan lampu senter dari ponselnya ke arah depan. Agar langkah Aini tidak tersandung dari batu-batu kecil yang terkadang sering kali terabaikan.

"Misi, Pak."

Dengan sopan, Guntur menegur beberapa bapak-bapak yang terlihat berkumpul di dekat lapangan tersebut. Dari 3-4 orang yang Guntur tegur, mayoritas masih meresponnya dengan baik. Sekalipun dia bukanlah warga yang tinggal di tempat ini.

"Memang selalu ramai di sana?" tanya Guntur menyamakan langkahnya dengan Aini.

"Ah? Maksudnya?"

"Itu, di lapangan memang selalu ramai bapak-bapak?"

"Rata-rata hampir setiap malam, kecuali hujan."

"Baguslah."

"Bagus kenapa?" Aini melirik Guntur di sampingnya.

AINI - Gadis Minang, Dipinang Sultan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang