Masih edisi LEBAR - AAAANNN
---------------------------------------------
Kesulitan memahami kondisi seseorang membuatku sadar jika Tuhan memang luar biasa hebatnya.
Melemparkan tubuh ke atas ranjang, Guntur mengembuskan napas berat setelah melalui kegiatan yang begitu melelahkan seharian ini. Mulai dari datang ke rumah Aini, mengikutinya sampai kampus, hingga terus menerus direspon negatif oleh gadis itu, benar-benar menghabiskan tenaga Guntur.
Rasanya dia jauh lebih capek mengikuti Aini seharian ketimbang dia bekerja, atau mendatangi seluruh tokonya yang tersebar dibanyak tempat.
Karena mengikuti Aini seharian tidak hanya capek fisik yang ia rasakan, namun juga capek hati mendengar amukan yang keluar terus menerus dari mulut gadis itu.
Masih sambil memejamkan kedua mata, Guntur menikmati waktu singkat ini, berbaring di atas ranjangnya sembari menenangkan hati dan pikiran. Akan tetapi baru sekitar 10 menit dia berbaring, suara ribut-ribut di lantai bawah, rumahnya ini, membuat Guntur membuka matanya lebar-lebar.
Pikirannya langsung berusaha menebak siapa yang datang ke rumahnya, sore menjelang magrib?
"Astagfirullah al'adzim, Guntur. Ibu panggil dari bawah, ternyata kamu lagi santai-santai di sini."
"Wa'alaikumsalam, Bu."
Guntur bergerak mendekati. Walau bukan salam yang keluar dari mulut ibunya ketika mereka bertemu, namun Guntur tetap menjawab salam yang terlihat seperti terlambat.
"Itu di bawah ibu banyak bawa makanan. Nanti kakak-kakakmu pada mau makan malam di sini, katanya."
"Makan malam? Kok mendadak? Kenapa bukan di rumah ibu aja?"
"Entah."
Masih tidak memahami maksud kedatangan ibunya ini, yang juga ternyata datang bersama ayahnya, Guntur hanya diam mengamati begitu banyak makanan yang dibawa ibunya.
Memang biasanya, makan malam dadakan ala keluarga Guntur sering kali terjadi. Dan biasanya, rumah ibunya di Tangerang, yang dijadikan tempat mereka berkumpul. Namun malam ini terasa berbeda.
"Assalamu'alaikum, Yah."
Setelah mencium punggung tangan ayahnya, Guntur bertanya pada ayahnya melalui gerak gerik dan lirikan.
"Sudah ikuti saja apa mau ibumu."
Tidak bisa mendebatkan apapun lagi, Guntur hanya melihat ibunya sudah sibuk menata-nata makanan yang tadi dia bawa bersama lima orang pekerja rumah tangga yang Guntur bayar untuk mengurus rumahnya ini.
Rumah mewah yang Guntur beli dari hasil kerja kerasnya memang berhasil dia jadikan seperti lapangan pekerjaan untuk orang-orang baik yang memang niat bekerja dengan baik. Dengan ukuran rumah yang sangat luas, Guntur memiliki 10 asisten rumah tangga. 5 dari 10 orang itu biasanya yang akan membantu ibunya Guntur ketika dia datang ke rumah ini. Sedangkan 5 lainnya, dikhususkan untuk bersih-bersih seluruh area dalam rumah. Mulai dari lantai dasar ataupun lantai atas.
Namun di sisi luar rumah sendiri, Guntur memiliki 2 orang tukang kebun. Yang setiap harinya akan membersihkan rumah, merawat tanaman, serta membersihkan mobil-mobil miliknya.
Terlihat sangat banyak memang, tapi Guntur berhasil syukuri semua ini. Setidaknya dia berhasil membantu orang yang membutuhkan pekerjaan.
"Kenapa kamu bengong begitu?" tanya ibunya disaat melihat Guntur kebingungan.
"Memangnya Mbak pada datang, Bu?"
"Iya. Kemarin kamu sendiri kan yang enggak bisa nginep di rumah ibu, padahal Esta mau ketemu kamu, karena udah lama enggak ketemu. Dan sekarang karena pada denger Esta mau ke rumahmu malam ini, yaudah ibu pikir sekalian aja kita semua ngumpul. Terakhir ngumpul semua kan bulan lalu. Apalagi ini udah mau bulan puasa. Seminggu lagi kita puasa. Jadi ibu rasa ini momen yang pas. Ditambah lagi ibu juga udah kangen sama cucu-cucu ibu. Apalagi cucu dari anak terakhir, ibu udah kangen banget deh. Pengen ketemu."
"Cucu apaan sih, Bu? Emangnya Ibu udah mau punya cucu dari Guntur? Guntur kan belum nikah. Ibu mau cucunya lahir di luar pernikahan."
"Ya, enggak, lah!!"
"Ya udah kalau enggak mau. Jangan sok-sok bilang kangen sama cucu dari anak terakhir Ibu. Enggak baik, Bu. Takutnya malah jadi doa. Karena Guntur belum menikah, dan ibu sudah merasa kangen dengan anak Guntur."
"Ibu memang mendoakan kamu nikah, Nak. Terus punya anak. Enggak salah dong ibu begitu."
"Enggak salah sih, cuma ...."
Guntur menggantung kalimatnya. Dia menatap fokus ke arah ibunya yang sedang berlakon layaknya dia yang sedang berbicara.
"Enggak lucu, Bu."
"Ibu enggak ngelawak kok. Ibu cuma mau makan malam, kumpul sama anak cucu ibu."
"Ya, terserah Ibu aja."
Memasang ekspresi malas karena disindir terus oleh ibunya sendiri, Guntur putar arah, dia melangkah menghindari semua yang ibunya lakukan.
Tetapi yang Guntur lupa, ibunya jauh lebih pintar dibanding dirinya.
"Kamu mandi sana, Nak. Nanti kalau pak Adi datang, suruh ikut makan juga, ya. Ibu takut enggak dengar," katanya sambil melirik Guntur penuh arti.
Guntur membalik badan. Seingatnya tadi, pak Adi dia minta untuk mengantarkan Aini pulang ke rumahnya. Lalu mengapa sampai sekarang supir pribadinya itu belum terlihat di rumah ini?
Apa mungkin laki-laki paruh baya itu pulang ditengah-tengah jam kerjanya?
Tapi Guntur rasa tidak mungkin. Karena Guntur sangat yakin bila pak Adi adalah tipe pekerja yang sangat jujur.
"Memangnya pak Adi dari mana?"
"Tadi pas berangkat dari rumah, ibu hubungi dia. Minta tolong bawakan sesuatu. Biar lengkap aja makan malam hari ini."
"Owh."
Masih tidak curiga atas apapun, Guntur kembali melangkahkan kakinya menuju kamarnya di lantai atas untuk mandi.
Selesai mandi, dan sholat magrib berjamaah, terdengar suara mobil berhenti di halaman rumahnya. Tanpa ada dugaan sedikitpun, Guntur berjalan santai, keluar dari mushola kecil dalam rumahnya, lalu menuju pintu depan. Dengan sarung dan peci yang masih terpakai, Guntur membuka pintu depan itu. Niatnya hanya satu mengambil sesuatu yang tadi ibunya suruh bawa oleh pak Adi sembari memberitahu supir pribadinya itu untuk makan malam bersama saat ini.
Namun yang tidak pernah Guntur duga sebelumnya, dia melihat sosok Aini turun dari mobil itu. Walau kondisi halamannya minim cahaya, tapi Guntur yakin jika yang baru saja turun dari mobil tersebut adalah Aini. Bahkan dari gaya jalannya yang masih tertatih, serta gaya pakaiannya, semakin membuat Guntur yakin.
Bingung harus melakukan apa, Guntur hanya terpaku. Dia berdiri seperti sebuah patung, seolah-olah memang dikhususkan untuk menyambut kedatangan Aini malam ini.
"Assalamu'alaikum." Karena terjadi kecanggungan yang luar biasa, pak Adi mengambil inisiatif untuk mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaikumsalam." Bibir Guntur menjawabnya dengan pelan atas salam tersebut, namun berbanding terbalik dengan kedua tangan Guntur. Pintu kayu dengan ukiran mewah itu langsung Guntur buka lebar-lebar, seakan-akan memang memberikan info kepada Aini untuk bisa melangkah masuk dengan leluasa.
Mengangguk pelan, Aini melewatinya. Kakinya masih tertatih, tetapi sayangnya mulut gadis itu tidak bisa terkontrol sedikitpun. Aini malah tertawa puas melihat Guntur tampil menggunakan sarung dan peci.
"Abis sunat dimana, Bang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AINI - Gadis Minang, Dipinang Sultan?
EspiritualBerawal dari kesalah pahaman, membawa langkah ini melakukan tindakan nekad. Berawal dari tragedi muntah-muntah, membuat Aini mendapatkan tuduhan menyakitkan dari sosok abangnya sendiri. Gadis itu dituduh melakukan hal yang tidak-tidak hingga menghas...