Bab 22 - Lamaran macam apa ini?

1.1K 303 32
                                    

ACIEEE ... JANGAN SENYAM SENYUM BACA JUDULNYA....


-------------------------------------


Menjadi topik perbincangan di dalam keluargamu, membuatku bertanya-tanya apa arti hadirku dalam kehidupanmu?

Siapa yang menyangka makan malam kali ini bukan hanya ada Aini, Guntur serta kedua orangtua Guntur, melainkan ada ketiga kakak perempuannya, ditambah pasangan mereka dan anak-anak mereka semua.

Suasana rumah besar Guntur yang pada awalnya sunyi, mendadak heboh ketika semua kakak perempuannya kompak menggoda Guntur yang hanya diam, mengunci mulutnya di depan mereka semua. Belum lagi jawaban kocak dari Aini atas pertanyaan kepadanya, memang semakin Guntur malu.

Mana pernah dia membayangkan makan malam dengan seorang perempuan sambil dikeliling oleh seluruh keluarganya, terutama ketiga kakak perempuannya itu. Tapi malam ini semuanya menjadi kenyataan sekalipun Guntur tidak pernah membayangkannya.

"Owh, jadi lo ditabrak sama adik gue? Gila gimana lo bisa punya calon istri, kalau mata lo aja enggak dijaga baik-baik, Tur."

"Hahaha, gimana sih, Ta. Ini kan calonnya Guntur. Sembarangan aja ngomong kalau Guntur enggak punya calon." Kakak pertama Guntur membelanya. Namun rasanya Guntur tidak perlu dibela, jika ujung-ujungnya dia tetap terhina. "Tapi emang si Aini mau sama adik kita. Yang ada dia punya dendam sama Guntur karena udah ditabrak pakai sepeda."

Aini masih tertawa lepas sekalipun dia yang menjadi topik utama dalam pembicaraan makan malam hari ini. Tidak pernah merasakan makan malam semewah dan seramai ini bersama keluarga, Aini seperti menemukan kenyamanan yang dia mimpikan selama ini.

Sejak ayahnya meninggal, Aini serta ibu dan kakaknya tidak pernah melakukan makan malam bersama. Jangankan makan malam, kumpul berbicara saling melepaskan penat dari hati ke hati saja dalam suatu ruangan, tidak pernah dia lakukan. Aini akan berbicara dengan ibunya jika ada perlunya saja. Atau ketika ibunya menegur sikap kasar Aini yang sering dia tunjukkan jika di depan bang Yos.

Sedangkan dengan bang Yos sendiri mana pernah mereka bicara dari hati ke hati. Yang ada baru satu kata keluar dari mulut bang Yos, sudah membuat Aini naik pitam. Karena itu, tinggal bersama keluarga, Aini seolah seperti tinggal seorang diri saja.

Hanya dengan Yasmin ketika di kampus, Aini baru bisa berbagi cerita.

"Sambil dimakan, Nak. Jangan didengerin anak-anak perempuan ibu, kalau lagi ngumpul begini emang selalu ribut. Dan pastinya Guntur yang mereka ganggu."

"Begitukah, Bu? Aini malah senang melihatnya."

Memberikan lirikan tajam pada Aini, Guntur malah mendapat respon dari kakak ketiganya.

"Kali ini, jangan sampai gagal lagi."

Guntur mendengus sebal. Dia sebenarnya tidak suka masa lalu kelamnya diketahui oleh pihak keluarga. Tapi mau bagaimana lagi, kebetulan dulu perempuan yang pernah dia taksir adalah teman dari kakak ketiganya, Aowena, atau biasa Guntur panggil kak Wena.

"Hm."

"Setidaknya semua keluarga menyukainya. Bukankah dalam pernikahan itu tidak hanya menyatukan dua orang saja, melainkan menyatukan 2 keluarga besar. Dan langkahmu sudah lebih ringan, karena dia diterima dalam keluarga ini."

Nasihat tersebut memang sangatlah sederhana. Tapi bagi Guntur yang mendengarnya dan sedang berada dalam posisi tersebut, terasa luar biasa.

"Jangan ngangguk doang. Dia enggak butuh anggukan kepalamu."

***

Makan malam usia, sholat isya berjamaah juga selesai. Kini Guntur mencoba mengambil bagiannya. Dia sebenarnya sejak awal ingin mempertanyakan mengapa Aini mau saja datang ke rumahnya ini ketika pak Adi menjemput? Bukankah tadi mereka sempat ribut ketika Guntur menemani Aini di kampus gadis itu. Lalu apa yang membuat Aini berubah pikiran.

Melihat kondisi yang memungkinkan, di mana semua orang sedang berkumpul di ruang keluarga, selepas Aini keluar dari toilet, Guntur langsung menghadangnya. Meminta gadis itu mengikutinya menuju area taman belakang di mana ada kolam renang, serta lahan cukup luas yang Guntur pergunakan sebagai area penempatan tanaman yang menghasilkan.

"Kenapa?" tanya Aini membuka pembicaraan.

Guntur berdiri sejajar dengan Aini. Keduanya sama-sama memberikan jarak satu sama lain, entah itu untuk memanipulasi keadaan jikalau ada para biang gosip kakak-kakak Guntur yang tidak mau diam, atau memang sengaja ada jarak di antara mereka karena belum ada ikatan halal di antara keduanya.

"Kok enggak bilang mau datang?"

"Loh, emangnya tanya?"

Meringis sebal, Guntur membalas tatapan Aini yang menyebalkan di matanya.

"Ya kamu bisa info kok. Kan punya nomor saya?"

"Yah, lo juga tahu sih. Gue enggak punya paketan internet untuk kirim WA."

Selalu memiliki jawaban dari setiap pertanyaan yang Guntur lemparkan, Guntur semakin merasa tidak nyaman dengan kondisi ini. Dimana hatinya merasa penuh debaran, sedangkan pikiran logisnya sibuk merasakan kejengkelan.

"Tapi kalau lo enggak suka gue di sini, gue bisa izin pulang. Yah, setidaknya hari ini gue ada perbaikan gizi. Lumayan biar ada tenaga buat hadapi esok hari. Lagi pula yah lo tahu sendiri kan, perjuangan gue kejar skripsi belum usai. Jadi makasih banyak loh makanannya malam ini. Karena jujur gue senang banget. Berasa kayak apa ya, kayak punya keluarga aja."

Bersidekap, memandang Aini dari atas sampai bawah, Guntur mulai bergumam.

"Bukannya kamu punya kakak?"

"Punya. Gue juga punya ibu. Tapi kita enggak pernah makan kumpul kayak tadi dari semenjak ayah gue meninggal deh kurang lebih. Ibu gue lebih banyak yang menghindari. Dia bilang udah makan lebih dulu lah, atau masih kenyang lah. Sedangkan gue sendiri, waktunya lebih banyak di luar rumah. Jadi ketika gue di rumah, enggak mungkin gue berharap bisa makan bareng sama ibu dan abang gue. Sadar diri aja sih. Memangnya ada orang yang makan malam di jam 10 malam?"

"Kenapa?" Karena Guntur hanya meresponnya dari tatapan, Aini mulai merasakan hal aneh dari sosok laki-laki di dekatnya ini. "Jangan macem-macem ya, walau sekarang ada di rumah lo, ini kaki gue masih pincang gara-gara kelakuan lo. Pokoknya sekali lagi lo buat gue cidera, langsung gue pidanain."

Melepas tawanya dengan kencang, kali ini Aini yang merasakan hawa panik karena takut suara tawa kencang Guntur menarik perhatian semua orang.

"Ih, berisik banget sih."

"Abis saya merasa kamu itu benar-benar lucu. Masalah kaki kamu yang cidera, terus menerus kamu ungkit. Padahal saya sudah minta maaf. Sudah membawamu ke rumah sakit. Kamu sudah mendapatkan perawatan terbaik. Bahkan dokter tulang di rumah sakit itu pun sudah memberikan statement jelas bila cidera itu bisa sembuh. Hanya saja semua butuh waktu untuk prosesnya. Cuma masalahnya setiap ada kesempatan kamu menggunakan alasan masalah kakimu itu selalu untuk menekan saya. Kamu mau jebak saya atau gimana? Atau bagaimana kalau kamu jadi istri saya saja. Biar saya tanggung jawab lahir dan batin untuk kamu. Seumur hidup perawatanmu saya tanggung. Mau berobat keluar negeri pun hayo. Enggak akan saya tolak. Sekalipun sampai akhirnya setelah diobatin ke mana pun, hasilnya tidak seperti yang kita sama-sama harapkan, setidaknya kamu tidak perlu pusing mencari laki-laki yang bisa menerima segala kekuranganmu itu. Karena saya sebagai pelaku, saya sudah mempertanggung jawabkan semuanya. Bagaimana? Tertarik?"

"Heh ... lo ngelamar gue? Apa sedang nego terkait bisnis? Gila sih. Gue tahu lo pebisnis. Dan jadi sultan atas usaha yang lo berhasil lakuin. Tapi enggak gini juga, kali!!"

"Terus maunya dilamar kayak gimana?" kali ini Guntur tidak lagi menghindar. Ketika Aini memberikan gambaran benteng tinggi di antara mereka, Guntur malah memilih maju dengan memanjat tantangan tersebut.

"Ya ... ya ...." Tidak tahu harus mengatakan apapun, karena isi pikiran Aini benar-benar kosong, dia malah sengaja menggantung jawabannya.

"Dasar ABG!"

AINI - Gadis Minang, Dipinang Sultan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang