Kita adalah sebagian kecil dari takdir indah yang telah Tuhan rencanakan.
Hidup itu adalah serangkaian kejadian, baik atau pun buruk semua itu tetaplah bagian dari hidup. Namun, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan yang berbeda-beda. Ada yang hidupnya sudah nyaman dari kecil, punya privilege, berkecukupan, limpahan kasih sayang dan hidupnya berjalan mulus hingga ia dewasa.
Ada juga yang sedari kecil sudah banting tulang menghadapi kerasnya hidup, bertahan susah payah hanya untuk mencari sesuap nasi.
Atau berkecukupan tapi ia dilahirkan di keluarga yang hancur. Tidak punya siapa pun sebagai tempat untuk bersandar.
Setiap manusia dilahirkan dengan nasib yang berbeda. Ada yang tidur beralaskan koran dan ada yang tidur di atas kasur yang nyaman.
Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan dari siapa dan di keluarga mana, tapi kita dapat menentukan bagaimana kita menjalani hidup. Ingin terus meratap dan tak membuahkan hasil apa pun, atau menerima dan berjuang untuk meraih kehidupan yang kita inginkan.
Kurang lebih begitu kata-kata bijak yang pernah Caca baca. Namun, ia bingung bagaimana untuk menerima kehidupan yang ia jalani. Lihat kehidupannya, ayahnya berengsek, baik keluarga ibu ataupun ayahnya membuang mereka seperti sampah, ia bertahan susah payah di tengah kerasnya kehidupan ibu kota, lalu entah bagaimana caranya, ia terbangun di negeri yang bernama Nirankara. Menghadapi obsesi gila Danadyaksa dan berakhir di Hutan Sunyi.
Dari semua episode hidup, hanya Hutan Sunyi yang dapat Caca sebut sebagai rumah. Di tempat ini, ia mendapatkan ketenangan, tenteram. Walau kehidupan mereka sederhana, tapi Caca dapat tersenyum lepas tanpa beban. Mungkin, ini yang orang-orang sebut sebagai bahagia. Perasaan yang tak terdefinisi, bentuknya abstrak, alasan hadirnya pun tak pasti. Bahagia itu aneh, tapi semua orang mencarinya. Dan Caca merasa istimewa karena telah menemukan bagaimana itu bahagia.
Dari teras rumah, gadis berambut biru itu berulang kali menyelipkan rambut ke telinga. Angin nakal itu membuat rambutnya menghalangi pemandangan menarik yang dilihatnya.
"Selamat malam."
Ramai gelak tawa kembali terdengar ketika burung hitam yang bertengger di paha Raksasa itu bersuara. Bukan karena suaranya yang lucu, hanya saja matahari bahkan masih malu-malu menampakkan diri dari ufuk timur, burung hitam itu telah mengucapkan selamat malam.
"Ayo ucapkan selamat pagi!" Gama berucap antusias.
Burung kecil itu memiringkan kepala, hal itu membuat mata Gama berbinar binar penuh harap.
"Selamat malam."
Gama langsung manyun. Apalagi saat orang-orang di sekitarnya menertawakannya, membuat mata anak lelaki itu berkaca-kaca.
"Sudah Le, jangan dipaksa, Joko tidak paham apa yang kamu katakan." Ibunya yang tengah menyiangi sayur bersama dengan ibu-ibu lain kembali menasihati. "Kamu bantu Sanjita sana, itu anak gadis rajinnya minta ampun, lah kamu setiap hari hanya main sama burung."
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh, My Giant [END]
FantasyDi tengah pelariannya Caca bersembunyi dalam sumur tua. Namun, ia tak menyangka kalau sumur itu menghubungkannya dengan dunia lain. Tempat asing yang menganggapnya sebagai hadiah dari persembahan. Walhasil Caca kembali melarikan diri. Caca pikir di...