Aku telah lama di sini, menantimu. Akan tetapi, selayaknya bunga, aku telah layu dan kamu lebih menyukai bunga yang baru.
"Aku memang tidak menyukainya, Kanda, tapi aku tidak pernah terpikir sedikit pun untuk melenyapkannya." Awalnya Timun Mas berpikir kalau Danadyaksa datang karena memang ingin mengunjunginya, tapi raut marah lelaki itu membuat hatinya menerka-nerka. Dan benarlah, alasan marah lelaki itu hanya akan tertuju pada gadis berambut biru tersebut.
Danadyaksa berdecih, tangannya mencengkeram dagu Timun Mas mengerat. "Pembohong," katanya.
Timun Mas berusaha menarik tangan Danadyaksa yang mencengkeram dagunya, tapi kekuatan yang jauh di antara mereka membuat Timun Mas hanya dapat meringis sakit. "Kapan aku pernah berbohong kepada Baginda? Aku tidak pernah berbohong, Baginda."
"Pembohong," kata Danadyaksa kembali.
Mata Timun Mas mencoba menyelami ombak besar dalam manik Danadyaksa, lautan yang biasanya tenang itu kini dipenuhi ombak yang mengamuk. Pegangan tangannya pada lengan Danadyaksa melemah, seharusnya Timun Mas sadar, tidak akan pernah ada tempat untuknya di mata lelaki itu.
"Yah, kalau berkaitan dengan gadis itu, Baginda selalu keras padaku. Ah, bukan hanya padaku tapi padaa semua orang," lirih Timun Mas. "Mungkin jika ia meminta seluruh kerajaan Nirankara pun Baginda akan memberikannya dengan senang hati. Bukankah begitu?"
"Benar." Tanpa ragu Danadyaksa menjawab, menabur garam pada luka hati Timun Mas yang terbuka.
Air mata Timun Mas menetes tanpa bisa dicegah, meski begitu ekspresi keras Danadyaksa tak kunjung mengendur.
"Jika dengan menangis, kamu berpikir aku akan menjadi lemah padamu, kamu salah. Bahkan aku bisa mencekikmu sampai mati sekarang. Namun, ada yang lebih penting dibanding semua itu, di mana penawar racun yang kamu berikan pada gadisku?"
"Aku tidak punya penawarnya Baginda, karena bukan ak--" Timun Mas berteriak tanpa suara ketika rahangnya terasa remuk oleh cengkeraman Danadyaksa yang semakin keras.
"Berhenti berbohong! Katakan di mana penawarnya?!" Mata Danadyaksa semakin memerah. Susah payah menekan keinginan untuk mematahkan leher gadis di depannya. Selama Timun Mas masih bermanfaat untuknya, Danadyaksa akan memperlakukan gadis itu dengan baik, tapi beda cerita jika gadis itu mencoba menyakiti miliknya. Danadyaksa bukan orang yang murah hati.
Timun Mas hanya dapat menggeleng dengan air mata yang telah menganak sungai.
"Cih! Mau sampai kamu akan menutup mulut? Sampai aku membunuh ibumu?" Kalimat Danadyaksa tentu bukan sekedar ancaman.
Mendengar kata ibu dari mulut Danadyaksa, gadis yang semula memejamkan mata menahan sakit itu kontan membuka matanya.
"Aku tahu kamu sangat menyayangi wanita tua itu. Aku bunuh ibumu, atau berikan penawar racunnya padaku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh, My Giant [END]
FantasyDi tengah pelariannya Caca bersembunyi dalam sumur tua. Namun, ia tak menyangka kalau sumur itu menghubungkannya dengan dunia lain. Tempat asing yang menganggapnya sebagai hadiah dari persembahan. Walhasil Caca kembali melarikan diri. Caca pikir di...