Chapter 4

892 109 20
                                    

!!WARNING!!

Cerita jelek, tulisan tidak bagus, dll.
.
BoBoiBoy hanya milik © Animonsta Studios (Monsta).
.
Cerita ini terinspirasi dari novel "Now Us" karya Aiu Ahra.
.
Cerita ini hanya sebuah karangan, tidak berhubungan dengan cerita aslinya.
.
Happy reading~










Cikgu Papa lalu mengeluarkan buku tipis, bersampul biru, dengan tulisan "Buku Absen Kelas 8B" tersemat di sampulnya. Sambil memperbaiki letak kacamatanya, Cikgu Papa mulai mengabsen satu persatu muridnya. Hingga ...

"Gempa?"

"Hadir!"

"Wah, rupanya kamu tidak jadi pindah ya, Gem."

"Hehehe, iya Cikgu."

"Baik, selanjutnya ... Ice!"

"... hadir."

Baik, sepertinya saat ini Solar sudah mengetahui nama asli dari bocah triplek biru itu. Dia harus mengingatnya agar mudah nantinya untuk ditandai.

"lar ... Solar!"

Sontak—karena teriakan gurunya membuat Solar terbangun dari lamunannya. "Eh? I-iya, hadir!"

Setelah mendengar jawaban anak muridnya, lantas Cikgu Papa melanjutkan mengabsen murid lainnya.

~o0o~

"Baik anak-anak! Hari ini, Cikgu akan adakan suatu permainan," kata Cikgu Papa sambil tersenyum misterius.

"Apa itu, Cikgu?" tanya seorang gadis berhijab warna merah muda. Dan seingat Solar, namanya adalah Yaya. Salah satu anak yang populer di sekolahnya.

"Hahaha ... Cikgu akan memberi kalian lima soal. Siapa yang berhasil menjawab salah satu dari lima soal ini, boleh memilih bangku yang ingin ditempatinya."

"Kalau salah atau tidak bisa menjawabnya, bagaimana Cikgu?" tanya si gempal—dengan inisial 'pal', kini Solar tahu bahwa nama aslinya adalah
Gopal.

"Yang salah atau tidak bisa menjawabnya, akan kena sebat dengan rotan kesayangan Cikgu," ucap Cikgu Papa tersenyum layaknya seorang psikopat. "Tetapi, karena hari ini Cikgu tidak membawanya, maka yang salah maupun yang tidak bisa menjawabnya, akan duduk di bangku yang Cikgu pilihkan."

"Baiklah! Mari kita mulai!" seru Cikgu Papa bersemangat. "Satu ditambah satu sama dengan?"

Lah? Cuma soal penjumlahan, heh gampang, batin Solar percaya diri sambil mengangkat salah satu tangannya.

"Ya! Apa jawabannya, wahai anak muda?!" seru Cikgu Papa sambil menunjuk Solar. Hampir seluruh murid yang mengangkat tangannya kemudian menurunkan tangannya dengan lesu, memasang wajah kecewa.

"Dua, Cikgu," jawab Solar pendek dengan muka datar, tetapi dalam hatinya tersenyum bangga.

"Oh, dua, ya? Oke, baiklah ... JAWABANNYA SALAH!"

Krak! Kira-kira itu adalah suara retaknya harapan dan keyakinan Solar.

Hah? Lah? Kok? Weh! Jawabannya, ya dualah! batin Solar mulai kebingungan, mungkin lebih tepatnya frustasi?

"Hah? Bagaimana bisa salah, Cikgu? Lalu, jawaban yang benar, apa?" tanya seorang gadis yang mengikat rambutnya kuncir dua direndahkan dengan wajah seperti orang Cina—Ying namanya. Termasuk murid populer karena termasuk ke dalam kategori murid akselerasi.

"Haha, itulah yang tidak kamu tahu."

Ya, karena tidak tahu, makanya nanya! Hati Solar mulai memanas, geram, bersiap-siap menandai gurunya.

"Jadi, jawaban yang benar adalah ... JENDELA!"

What? Jendela? Jendela dari mana?!

Hampir satu kelas menggerutu dan mulai demo bahwa hal tersebut tidak ada hubungannya.

"Kok jadi jendela, Cikgu?" tanya si pendobrak pintu—memiliki nama asli Taufan.

Cikgu Papa membalikkan badannya, menghadap papan tulis. Mulai menulis (dibaca : menggambar) sesuatu di papan tulis putih itu dengan spidol warna hitam.

"Jadi, tadi soalnya kan 'dua ditambah dua sama dengan'. Nah, di sini angka satu diletakkan di sisi kiri lalu diberi simbol tambah lalu angka satu lagi di sisi kanan. Simbol sama dengannya dipisah lalu diletakkan di atas dan di bawahnya, jadilah jendela!" ujar Cikgu Papa sambil menggambar apa yang baru saja dijelaskannya tadi. Ya, memang terbentuk sebuah jendela. Sontak seluruh kelas mulai menggerutu, mengatakan ini adalah pertanyaan menjebak, pertanyaan yang tidak nyambung, dan lain-lain.

"Haiya, kami kira itu betul-betul soal penjumlahan," ucap Ying menghela napas lelah.

"Rupanya bukan," lanjut Yaya ikut menghela napas lelah, lelah menghadapi gurunya yang sedikit abnormal.

"Baiklah! Sesuai kesepakatan tadi, yang salah akan duduk di bangku yang Cikgu pilihkan. Solar, ayo maju!" seru Cikgu Papa sambil menunjuk Solar.

Solar menghela napas lelah. Membereskan barang-barangnya, sambil melirik ke arah Duri yang tersenyum manis kepadanya.

"Nanti Duri akan sering-sering main ke bangkunya Solar."

Solar mengangguk kecil, kemudian berdiri dan maju ke depan kelas dengan wajah tertunduk. Sedikit gugup, lalu mulai mengangkat wajahnya, menatap teman-teman barunya.

"Nak Solar, kamu duduk di bangku yang ditempati Jamal. Jamal, angkat tangannya!"

(Na-chan : maaf, Nah-chan gak tahu mau ngasih namanya siapa TwT)

Seorang anak lelaki berkulit sawo matang dan bertubuh pendek, mengangkat tangannya. Tersenyum, tetapi hanya dibalas wajah datar oleh Solar.

Anak bernama Jamal itu kemudian mengemasi barang-barangnya, berdiri lalu berjalan ke bangku yang ditempati Solar tadi bersama Duri.

Kemudian, Solar berjalan pelan ke bangku barunya. Tidak bisa Solar katakan bangku ini nyaman. Letaknya berada di tengah kelas, itu berarti tempat strategis yang ramai dilalui. Bangku ini juga berada di barisan nomer tiga dari depan. Cukup sulit melihat ke arah papan tulis dari bangku belakang. Apalagi, mata Solar minus.

Solar lalu duduk di bangku barunya, sambil mendengarkan celotehan gurunya yang memberikan pertanyaan dengan jawaban abnormal lainnya. Solar malas menjawabnya, takut masuk ke lubang yang sama lagi.

Anak sebangku barunya hanya diam, ikut mendengarkan celotehan gurunya.

Satu persatu anak yang terjebak dengan pertanyaan (dibaca : tebak-tebakan) dari Cikgu Papa mulai pindah ke bangku baru yang dipilihkan oleh Cikgu Papa. Kemudian anak yang tidak bisa menjawabnya, termasuk anak sebangku Solar, berdiri dan melakukan hal yang sama dengan yang anak yang terjebak pertanyaan tadi.

Solar hanya diam, menunggu teman sebangkunya datang. Berharap Duri akan ditempatkan sebangku dengannya, karena tadi Duri sama sekali tidak menjawab soal dari Cikgu Papa.

Buk!

Penasaran, Solar melirik ke sumber suara. Tampak sebuah tas berwarna biru diletakkan di atas mejanya. Tidak, ini bukan tas Duri. Tas duri berwarna hitam dan hijau. Lantas, siapa pemilik tas ini?

Kemudian Solar mulai mengangkat wajahnya, mencari tahu siapa pemilik tas biru ini. Sontak, wajah Solar berubah pucat. Terkejut. Sama sekali tidak membayangkan bahwa ia akan duduk dengan dia.

Dia hanya memasang wajah datar setengah mengantuk. Lalu, menarik kursi di samping Solar dan duduk. Kemudian meletakkan kepalanya di atas tasnya. Tidur, sepertinya.

Ya, dia adalah si triplek biru.










To Be Continued ...

Alhamdulillah, selesai! Muehehehe ...
Terimakasih sudah membaca hingga chapter empat ini. Jangan lupa untuk klik tombol vote dibawah, ya! Biar Na-chan semakin semangat menulisnya.

Okey, see you!
-13 April 2022-

Now We're Friends [BoBoiBoy Elemental] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang