| Chapter 8

106K 8.7K 96
                                    

Yuhuu..

Apa kabar readers Gabriel?

Spil outfit kalian kalo jalan-jalan dong!

-00-
Jadi lebih lelah mana? Kaki yang terus berjalan, atau hati yang terus berharap?
-00-

-00-Jadi lebih lelah mana? Kaki yang terus berjalan, atau hati yang terus berharap?-00-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Nak, ada yang sakit?” tanya seorang wanita paruh baya khawatir.

Gabriel meringis, membuka helm lalu menyugar rambutnya ke belakang. Ia menoleh kepada seorang wanita yang bertanya barusan dan menggeleng “Nggak papa, Bu,” jawabnya pelan.

Wanita itu menghela nafas lega diikuti anggukan. “Ya sudah, saya pamit duluan ya, Nak.”

Gabriel hanya mengangguk karena bibirnya yang sedikit robek membuatnya kesulitan berbicara.
Wanita paruh baya tersebut sudah pergi, dan Gabriel langsung mendirikan motornya perlahan-lahan karena beberapa bagian pada tubuhnya nyeri dan terluka. Ia kembali melanjutkan perjalanan sembari menahan rasa sakit.

Ya, maut belum menjemputnya. Saat menyadari hal itu, reflek Gabriel memutar arah sehingga menabrak pembatas jalan, dan ia tidak sadarkan diri selama beberapa waktu sampai wanita tadi menunggunya.

-00-

Sesampainya di sebuah apartemen, Gabriel memarkirkan motor lalu memasuki lift menuju lantai dua. Jalannya tertatih karena tadi tertimpa body motornya.

Gabriel tiba di depan pintu, ia menyandarkan punggungnya pada dinding di sebelah pintu. Tangannya bergerak mengetuk pintu cokelat tua itu, menunggu seseorang membukakannya.

Gabriel memejamkan menengadah sembari memejamkan matanya. Tubuhnya seperti remuk dan membutuhkan kenyamanan.

“Siapa, sih?” tanya seorang gadis yang baru saja membuka pintu. Violina membola kaget.

“Eh, eh... lo kenapa?” tanya Violina panik saat Gabriel terjatuh di bahunya. Jika dilihat, mereka seperti sedang berpelukan.

Gabriel menghiraukan pertanyaan itu, “S-sakit...” lirihnya disertai ringisan perih.

Violina yang sudah terlanjur panik, segera menuntun Gabriel masuk lalu mendudukkannya di sofa. Violina bergegas mengambil kotak P3K di laci nakas, lalu membawa kotak tersebut kembali ke sofa di mana Gabriel berada.

“Lo habis ngapain kok sampe bisa gini?” tanya Violina sambil membuka kotak obat itu.

“Kecelakaan,” jawab Gabriel pelan.

Violina menghentikan pergerakan tangannya di pelipis Gabriel. Ia menatap cowok oyu penuh selidik, “Karna apa? Kebut-kebutan ya?” Gabriel mengangguk jujur sebagai jawaban.

Violina menuangkan beberapa tetes alkohol ke kapas, kemudian kembali melanjutkan mengobati luka Gabriel. Gabriel menahan teriakannya saat kapas yang dingin itu menyentuh lukanya.

Fear Of AbandonmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang