30.

38.6K 1K 40
                                    

Gavin terbangun tengah malam dengan kepala yang cukup pusing dan tubuh telanjang.

Tentu Gavin saat ini kebingungan.

Melihat sekitarnya berantakan. Namun tak melihat seorang pun di kamarnya.

Jelas Gavin telah melakukan hubungan seks, tapi dengan siapa Gavin tak ingat.

Gavin mencoba mengingat kembali apa yang terjadi.

Tadi sore, ia ingat Elisa memberikan sesuatu yang Gavin rasa adalah perangsang.

Gavin ingat mengajak seorang perempuan dari sekolahnya.

Apakah Elisa?

Tidak, Gavin ingat sempat menyuruh Sandi untuk menahan Elisa. Lalu siapa?

Tak mungkin Gendis kan? Gendis selalu pulang bersama teman-temannya.

Gavin melihat ke arah kasurnya. Darah?

Gavin berasumsi perempuan itu masih perawan.

Sial! Gue tidur sama siapa?!

Gavin panik seketika, tak bisa mengingat siapa yang diajaknya tidur. Hanya kilasan-kilasan ingatan yang ia ingat.

Ia ingat gadis itu menangis histeris.

Gavin jangan!

Namun sosok gadis itu samar-samar di ingatan Gavin.

Sialan Elisa! Gue harus ngasih dia pelajaran!

**

"Gendis masih belum bisa dihubungi?" Tanya Febi pada Diandra.

"Belum"

"Apartemennya?" tanya Sheryl selanjutnya.

"Gak ada orang."

"Kemana tuh anak... Sampai hari ujian pun dia nggak ada kabarnya."

Semua menatap bangku kosong tempat Gendis seharusnya duduk.

Tak terkecuali Gavin.

Sempat Rio mencegatnya, untuk kemudian bertanya keberadaan Gendis. Tapi Gavin yang memang merasa tak tahu menahu tidak bisa menjawab apa-apa.

Mengenai Elisa, Gavin sudah memutuskannya. Memberikan ancaman tak akan meluluskan Elisa jika ia terus mengusik Gavin.

Sedangkan perempuan yang ia tiduri, Gavin sudah tak ambil pusing. Kalau perempuan itu menginginkan tanggungjawab Gavin, tentunya ia akan muncul di hadapan Gavin.

Kembali ke Gendis, Gavin juga bertanya-tanya, kemana sebenarnya Gendis. Tapi untuk apa ia tahu. Gendis tak berarti apa-apa di hidup Gavin kan? Ataukah memang Gendis berarti?

**

Di ruangan bernuansa putih dan hijau muda itu, Gendis hanya diam berbaring. Menatap kosong langit-langit kamarnya. Hanya itu yang Gendis lakukan beberapa hari ini.

Handphone sengaja ia matikan, menghindari pertanyaan dari teman-temannya atau bahkan mungkin Gavin yang kini mencarinya. Mungkinkah?

Tangannya sesekali mengusap perutnya yang rata. Kemudian akan kembali menangis sesenggukan.

Klek

"Gendis..." Danisa memasuki kamar Gendis, diikuti Bayu, om Gendis.

"Kamu nangis lagi?" Bayu mengusap puncak kepala Gendis kemudian memeluknya  penuh kasih.

"Yang sabar...." ucap Bayu kemudian.

"Kakak periksa dulu ya." Danisa mulai memeriksa kondisi Gendis.

Luka-luka memar Gendis, sebagian mulai pulih. Hidungnya yang retak sudah dioperasi  dan tinggal menunggu pemulihan.

Sedangkan janinnya..... Bagaimana menurut kalian?

Sayangnya, satu kantong janin pecah. Sehingga Gendis harus melakukan kuretase.

Janin yang lainnya.... Masih belum bisa dipastikan bagaimana nasibnya nanti. Saat ini Danisa dan tim dokternya masih terus mengobservasi kondisi Gendis dan janin yang tersisa di rahimnya.

Lalu, bagaimana Gendis saat mengetahui hal itu?

Tentu saja Gendis shock berat. Tapi Danisa dan Bayu selalu menemani Gendis, mengingatkan Gendis untuk terus bertahan demi janinnya yang masih tersisa.

"Kakak mau lihat kondisi janin Gendis dulu ya..." Danisa mulai melakukan USG pada rahim Gendis.

"Gendis denger itu? Itu detak jantung bayi Gendis... Syukurlah dia sehat Gendis...detak jantungnya bagus."

Sekejap roman wajah Gendis mulai berbinar. Namun tiba-tiba Gendis sedih, "Dia pasti kesepian ditinggal saudaranya...kasihan ya Kak anak aku, dia pasti sedih banget...." Gendis mulai menangis lagi.

"Gendis.... Kamu nggak boleh berfikir kayak gitu. Kalau kamu terus-terusan sedih, bayi kamu juga ikutan sedih. Gendis harus kuat, demi bayi Gendis yang ini. Pasti saudaranya juga sedih, kalau tau mamanya terus-terusan sedih kayak gini." Danisa mencoba menenangkan.

Sedang Bayu sudah tak mampu berkata-kata, melihat kondisi keponakannya seperti itu, sejak awal dia merasa terluka.

Saat malam kejadian itu, Bayu yang berada di apartemen Gendis resah karena Gendis tak kunjung pulang.

Ditelpon nya handphone Gendis berkali-kali namun tak kunjung diangkat. Hingga kemudian Danisa yang baru keluar dari ruang operasi melihat begitu banyaknya missed call dari Bayu. Danisa pun memutuskan untuk menelepon Bayu dan memintanya untuk ke kliniknya.

Bayu shock melihat kondisi keponakannya. Ia geram,  berniat melaporkan kejadian ini ke polisi.

Namun saat Gendis siuman, niat Bayu terpaksa harus dilupakan. Gendis meminta baik Bayu maupun Danisa untuk tak melaporkan kejadian itu. Bahkan untuk sekedar menceritakan tentang kejadian ini pada orang lain, Gendis tak menginginkannya.

"Maafin aku Kak Danisa, Om Bayu, kakak benar.... Mungkin sekarang memang mental dan emosiku belum stabil. Aku nggak seharusnya terus berfikiran semenyedihkan itu."

"Aku harus kuat, aku harus sehat demi dia...." ucap Gendis sambil mengelus perutnya.

"Kakak bangga sama kamu Gendis.... Yuk sekarang senyum dulu. Biar bayi kamu juga nanti banyak senyum."

Gendis pun tersenyum, sambil terus memperhatikan monitor.

"Kak ... Kira-kira kapan aku bisa keluar dari sini?"

"Kalau perkembangan kondisi kamu dan bayi kamu bagus, kamu boleh keluar dari sini. Paling cepet 2 minggu, paling lama 1 bulan lagi kamu baru bisa keluar." terang Danisa.

"Om nggak mungkin kan nungguin aku terus? Om kan harus balik ke Solo."

"Nggak papa Dis. Om temani kamu disini sampe kamu bener-bener sembuh."

"Nggak, om balik aja. Aku mau minta tolong sama Om. Jual rumah ayah yang di kota Semarang. Pindahin Mbok Mar sama Pak Min ke villa ayah yang di Ambarawa."

"Setelah keluar dari sini, aku mau langsung ke Ambarawa. Ibu nggak tau villa itu. Kalau aku masih  tinggal di Semarang, aku takut Ibu atau bahkan..... Gavin akan nyari aku disana suatu saat nanti."

"Gendis serius mau tinggal di Ambarawa? Setau Om, villanya cukup terpencil."

"Nggak papa Om. Justru istu yang mungkin aku butuhin."

"Oke, kalau memang itu keinginan kamu. Om akan mengurus semuanya. Dan, mbak Danisa. Saya titip Gendis dulu selama nanti saya pergi."

"Nggak usah khawatir... Gendis udah seperti adek aku sendiri. Aku akan ngerawat dia sampai bener-bener pulih."

"Terimakasih mbak!"

"Oh iya Kak! Hasil visum aku...udah keluar kan?"

*****

FAULTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang