42.

24.9K 848 18
                                    


"Gendis, stroller yang ini ya?"

"Car seat butuh juga ya? Biar kamu gak capek gendong Genta terus."

"Uhm....bak mandi juga ya?"

"Gendongan ini juga dong, aku pingin banget nyoba gendongan kaya gini."

"Ini juga ya Dis, apa ini namanya? Oh, bouncer."

Begitu seterusnya Gavin terus nyerocos memilih barang-barang yang akan dibelinya untuk Genta.

Di sisi lain Gendis hanya meringis melihat tingkah Gavin. Jiwa ibu-ibunya pun keluar.

"Nggak Gavin, ngapain beli itu sih belum butuh juga!"

"Ya ampun Gavin ini mahal, yang lain aja kenapa sih!"

"Ih, Genta udah punya ngapain beli lagi sih?"

Dan serentetan omelan lainnya yang datang dari bibir Gendis.

Tentunya Gavin tak menggubris Gendis, ia tetap membelikan Genta berbagai macam barang. Memang kenapa pikirnya? Toh papa Genta ini kaya kan?

Alhasil Gendis mendiamkan Gavin sejak keluar dari toko perlengkapan bayi itu.

"Gendis...."

Gendis tak menggubris Gavin.

"Mama Genta....."

Masih tak digubris.

"Sayang...."

Gendis sedikit terperanjak dengan panggilan Gavin. Pipinya merona cukup kemerahan, namun ia mencoba menyembunyikannya dari Gavin.

"Udahan marahnya ya...."

Gendis tak menjawab, ia malah memalingkan wajahnya  dari hadapan Gavin.

Tak berapa lama, Gavin menghentikan mobilnya di depan sebuah tempat.

"Ngapain kita kesini?"

"Belanja lah.... Kulkasnya kosong kan? Bukannya kamu sendiri yang bilang mendingan masak sendiri aja daripada beli terus?"

"Ya kan bisa belanja di pasar Gaviiiin......" Gendis terlihat bertambah kesal.

"Kamu lagi mens ya? Marah mulu dari tadi..."

Gendis tetap tak menggubris.

"Gendiiiiiiis....hey....liat sini dong..." Dengan lembut Gavin menyentuh pipi Gendis.

Ini pertama kalinya Gavin dan Gendis bersentuhan dengan intim sejak bertemu kembali.

Jujur Gavin sangat sangat ingin menyentuh Gendis, love language nya physical touch.

Gendis yang disentuh demikian merasakan darahnya berdesir, ia gugup seketika.

"A a ..ayo keluar. Aku mau cepet-cepet belanja." Gendis dengan terburu-buru keluar dari mobil, membuka pintu penumpang untuk mengambil Genta.

Gavin hanya tersenyum kecil melihat tingkah gugup Gendis. Segera ia pun turut keluar menyiapkan gendongan untuk Genta.

"Aku yang gendong ya....biar kamu nggak ribet belanjanya." ucap Gavin sambil meraih Genta.

Sesaat kemudian mereka masuk ke dalam swalayan itu.

Gendis yang tadi sudah cukup gugup, kini bertambah gugup karena Gavin meraih  tangan Gendis. Menggenggamnya erat seakan takut kehilangan Gendis.

Sungguh, melihat keluarga kecil ini benar-benar membuat iri. Terlihat begitu serasi dan harmonis.

**

"Gavin! Gaviiiiiin!!!!"

Teriakan Gendis sontak membuat Gavin dan teman-temannya yang kini sedang berkumpul di teras, kaget dan agak panik.

Gavin segera menuju kamar Gendis.

"Kenapa Dis?" Gavin khawatir melihat raut Gendis yang sangat panik saat ini.

"Genta Vin! Genta!" Gendis menangis terisak.

Mendengar anaknya disebut Gavin otomatis ikutan panik.

"Kenapa?"

"Badan Genta tiba-tiba panas Vin, aku ukur pake termogun tadi panasnya nyampe 40, trus tadi anaknya kayak kaget kaget gitu pas tidur.... Gimana ini .... Aku takut Vin..." Gendis masih menangis.

Teman-teman Gavin kini juga berada di aekitar mereka berdua.

"Kita bawa ke rumah sakit aja ya?" usul Rio.

Tanpa berfikir lagi Gavin langsung membawa Genta dalam gendongannya. Jujur ia tak tahu harus apa. Dirinya tak punya bekal sama sekali dalam merawat bayi.

Gendis tetap menangis. Sandi dan Novan mencoba menenangkannya, tapi Gendis tetap saja menangis dan panik.

Mobil dilajukan Rio menuju rumah sakit terdekat. Genta masih dalam gendongan Gavin. Sebenarnya Gavin panik, tapi ia mencoba untuk tetap tenang.

Sesekali dilihatnya Gendis yang duduk di sampingnya, Gendis masih saja menangis.

Sesampainya di rumah sakit Gavin segera membawa Genta ke UGD. Membiarkan dokter menangani Genta.

"Harus diinfus ini Pak. Adek bayi nya kekurangan cairan."

"ASI apa sufor?"

"ASI dokter...."Gendis menjawab dengan sesenggukan.

"Diare nggak Bu?"

"Iya dokter...dari kemaren pup nya cair. Terus dia mimiknya emang gak kayak biasanya dok..." Gendis masih saja menangis.

"Baik kalau begitu kami infus ya. Adek bayi kena diare."

Gavin hanya mengiyakan ucapan dokter tadi. Di sampingnya Gendis masih sesenggukan.

Gendis makin menangis melihat Genta yang dimasuki jarum untuk infus. Ia tak tega melihat anaknya yang masih kecil dipasang alat seperti itu.

Setelah menunggu beberapa lama, mereka kini sudah di dalam kamar rawat inap.

"Kok kamu nggak bilang kalau Genta pup nya cair, nggak mau mimik?"

Dengan tetap sesenggukan Gendis menjawab, "Aku nggak tau kalau itu bahaya Vin....selama ini ada mbok Mar yang bantu aku. Aku nggak tau Vin...jangan marahi aku Vin...aku nggak tau..."

Tiba-tiba saja tangisan Gendis makin menjadi. Wajahnya memucat, dan nafasnya tersengal-sengal.

"Aku nggak nyalahin kamu kok..."

"Iya aku yang salah Vin...aku bodoh banget jadi ibu..." Gendis makin histeris.

Gavin bagai dejavu melohat kondisi Gendis yang demikian.

Pannic attack!

Seperti awal perjumpaan mereka dulu.

Dengan segera, gabin meraih tubuh Gendis. Memeluknya erat, mengelus punggungnya perlahan.

Elusan tangan Gavin beralih menuju wajah Gendis. Ditatapnya Gendis dengan penuh cinta, kemudian ia cium bibir Gendis yang saat ini masih gemetaran karena rasa panik.

Perlahan....setiap sentuhan yang Gavin berikan memberikan efek menenangkan bagi Gendis.

Ternyata Gendis masih sama, masih membutuhkan sentuhan Gavin untuk menenangkannya.

Setelah cukup tenang, Gavin kembali menenggelamkan tubuh Gendis yang kini lemas dalam pelukannya.

Tak berapa lama, sesenggukan Gendis tak terdengar lagi. Gendis sudah tenang dan tertidur.

Gavin pun menidurkan Gendis di ranjang ekstra dalam ruangan itu. Mengelusnya beberapa kali dan memberikan kecupan di dahi Gendis.

Perhatian Gavin kemudian beralih pada Genta. Sebenarnya hatinya sakit melihat darah dagingnya terlihat begitu tak berdaya. Dengan selang infus yang dipasang di tangan kecilnya.

Melihat dua orang yang begitu dicintainya kini dalam kondisi yang tak baik, Gavin bertekad ia akan terus melindungi mereka apapun nanti kondisinya.

*****

FAULTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang