38.

27.9K 789 12
                                    

"Dis....."

Gavin menemukan Gendis duduk sendirian di taman hotel. Air mata Gendis masih terlihat mengalir membasahi pipinya.

"Maaf... Aku nggak seharusnya bentak kamu kayak gitu..." Gavin yang masih menggendong Genta duduk di dekat Gendis.

"Aku emosi Dis... Nggak terima aku, kamu sama Genta dikatain kayak gitu."

"Tapi kamu bener.... Semua salahku. Aku yang bikin kamu kayak gini ... Maaf Dis...maafin aku."

Gendis sedari tadi tak mau menatap Gavin. Pandangannya lurus ke depan, dengan tangis sesenggukannya.

Gavin menghela nafas panjang, karena Gendis tak kunjung menggubrisnya. Ia ikut terdiam, sambil sesekali melihat ke arah Gendis dan mengelus Genta yang masih digendongnya.

"Eeoo...eo...ooo..oo" Genta tak berhenti mengoceh sambil mengangkat-angkat tangannya.

"Kenapa anak papa? Mau main ya? Iyaa? Hem? Sayangnya papa...." Gavin seakan mengajak Genta berbicara.

Gendis yang dari tadi hanya diam, mau tak mau perhatiannya teralihkan pada Genta. Perlahan Gendis tersenyum tipis melihat interaksi ayah dan anak itu.

"Ih, mama senyum... Liat nak, mamanya senyum. Cantik banget kan mama Genta? Apa? Kayak bidadari? Iya, Genta pinter anaknya mama bidadari ya nak?"

"Papanya iblis..." ketus Gendis.

"Eh, kok? Dis, kok ngomong gitu di depan anak? Nggak boleh loh!" protes Gavin.

"Kenyataan kok..." Gendis masih ketus.

"Iyain deh... Asal kamu nggak marah lagi. Udah ya marahnya? Masuk yuk! Kasian Genta kedinginan ntar... Ya?"

"Oke. Tapi aku masih marah." jawab Gendis dengan wajah yang masih kesal dan sembab.

"Oke... Nggak masalah. Marahnya dilanjutin nanti aja di dalam. Yuk, masuk."

Gavin dan Gendis berjalan beriringan, memasuki bangunan hotel menuju kamar Gendis. Tak ada kata yang terucap dari mulut keduanya.

Saat mereka berdua berada di lobi, menunggu lift untuk turun, seseorang memanggil Gendis.

"Gendis!"

"Om Bayu.... Kok om kesini?" Gendis merasa terkejut dengan kemunculan Bayu. Pasalnya saat ini seharusnya lelaki muda itu  masih harus berada di ruang resepsi.

Gavin menatap pria yang kini masih terbalut jas pengantin, merasa jika ia pernah melihatnya di suatu tempat.

"Om nyariin kamu. Tadi ada yang bilang kalau Bu Dhe Marni bikin ribut sama kamu. Kamu nggak papa Dis?"

"Udahlah om...gak usah dibesarin. Aku nggak papa."

"Nggak papa gimana Dis?! Kamu dihina-hina kayak gitu. Genta juga!" protes Gavin.

Bayu menatap Gavin heran. Memang dulu Bayu sudah tahu bahwa Gavin lah yang menyebabkan Gendis cidera dan juga Gavin lah ayah dari Genta. Tapi Bayu tak tahu sama sekali seperti apa wajah Gavin.

"Kamu siapa?" tanya Bayu heran pada pria yang menyela pembicaraannya dengan Gendis.

"Siapa ini Dis?"

Gendis menghela nafas.

"Gavin om."

"Papanya Genta."

"Apa?!" kaget, heran, tak bisa membaca situasi saat ini, begitulah yang kira-kira Bayu rasakan. Dan entah mengapa Bayu meradang saat tau lelaki itu adalah Gavin.

"Umm .... Om balik ke tempat resepsi dulu! Kasian tante. Udah, besok aja kita ngobrolnya ya om... Om, please..."

Gendis paham jika emosi Bayu seakan siap meledak saat tau laki-laki yang bersamanya adalah Gavin. Jadi Gendis sebisa mungkin membawa Bayu menjauh dari Gavin untuk saat ini.

"Siapa tadi?" Giliran Gavin yang meminta penjelasan.

"Om aku... Adek ayahku yang hari ini nikah. Kan liat tadi pake jas pengantin." jawab Gendis datar.

"Wait.... Dulu dia pernah ke Jakarta?" Gavin bertanya karena serasa pernah melihatnya dulu.

"Iya, nengok aku."

"God damned!" Gavin ingat, dia cowok yang waktu itu masuk ke apartemen Gendis.

"Gavin! Jangan ngumpat di depan Genta!"

"Eh! Maaf... keceplosan Dis!"

Dalam hati Gavin mengumpat, bisa-bisanya dulu dia cemburu pada pria yang ternyata om kandung Gendis. Sampai-sampai mengira Gendis sudah benar-benar menjadi wanita murahan.

"So.... Om kamu... Dia tau tentang kita?" Gavin tak yakin ia ingin mengetahui jawaban pertanyaannya atau tidak.

"Iya! Banget. Om tau banget. Cuma satu yang om nggak tau. Wajah kamu, juga siapa kamu. Maksud aku, kalau kamu anak dari suaminya ibu." nada bicara Gendis makin sinis. Kini mereka berada di depan pintu kamar Gendis, menunggu Mbok Mar membuka pintu.

"Apa om kamu tau apa aja yang udah aku lakuin ke kamu?" Gavin takut-takut menanyakannya, sambil menyerahkan Genta kepada Gendis.

"Tau! Tauuuuu banget. Om yang nungguin aku selama aku di rumah sakit. Om yang tau gimana aku waktu kehilangan kembaran Genta. Om juga tau gimana aku hampir mati...." Gendis yang sejak tadi emosinya sedang naik, kini terasa makin emosional.

Gavin kini hanya diam, menatap pintu kamar Gendis yang mulai menutup.

**

"Kenapa lo bos? Kusut amat tu muka." ucap Sandi saat Gavin memasuki kamar.

"Emang resepsi nikahannya udah selesai? Cepet banget..."

"Oooh....gue tau kenapa muka lo kusut. Pasti lo nggak bisa masuk gara-gara lo nggak punya undangan! Lagian lo ngapain si bos bilang mau ngikutin si Gendis segala. Sok sokan mau jagain Gendis. Dih..!"

Sandi terus nyerocos mencibir Gavin, mumpung bisa menistakan Gavin pikirnya.

"Bacot!" umpat Gavin datar.

"Abis lo si bos! Mukanya kusut banget, kenapa sih?"

Gavin diam merebahkan dirinya di sofa.

"Gue ketemu om nya Gendis."

Sandi merespon heran, "Om? Yang nikah sekarang ini?"

"Iya."

"Terus? Kenapa om nya Gendis?"

Gavin mengacak rambutnya.

"Gue rasa dia nggak suka gue. Bakal susah kayaknya kalau gue mau nikahin Gendis."

"Nikaaah?" Sandi cukup terkejut dengan pernyataan Gavin.

"Iyalah! Gue mau nikahin Gendis. Gue udah cukup ngerasain kesiksanya hidup gue tanpa kehadiran Gendis. Gue udah sadar banget kalo gue cinta dia. Gue nggak pingin kehilangan Gendis lagi!"

"Gue pingin hidup sama Gendis, sama Genta."

"Tapi sekarang gue takut....gue takut om nya Gendis bakal ngehalangin gue. Keliatan banget tadi kalo dia nggak suka gue."

"Apalagi dia yang tau gimana perjuangan Gendis dulu buat tetap hidup. Gue bisa ngerasain kalo dia dendam sama gue, karena gue yang udah bikin Gendis hampir mati."

"Gue bingung San! Gue takut!"

Sandi menyimak keluh kesah yang Gavin utarakan sedari tadi. Kemudian memberikan applause pada Gavin sambil menggelengkan kepalanya.

"Seorang Gavin bisa takut.... Wow...emejing banget! Harus gue kasih applause." sindir Sandi.

"Tai lu!"

"Ya kan sekarang gue udah sadar San! Walau gue belum sepenuhnya jadi orang bener, seenggaknya gue pengen usaha."

"Gue sadar banget, dulu gue cuma nganggap Gendis itu objek. Gue nggak memanusiakan Gendis. Gue nggak peduli apa aja efek atas aksi gue ke Gendis."

"Dan kayaknya, efeknya bakal gue rasain sekarang...."

*****

FAULTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang