32.

36.3K 1.1K 72
                                    


Gavin memutuskan untuk kembali ke rumah Danisa. Semalaman ia berada di teras rumah Danisa.

Tatapannya terus menatap hasil visum itu.  Sedang pikirannya sudah tak karuan, tak bisa berpikir jernih.

Dirinya masih dilanda kebingungan yang teramat sangat. Bagaimana bisa Gendis?

Jadi perempuan yang ia tiduri waktu itu adalah Gendis?

Tapi apa yang terjadi saat itu? Gavin benar-benar tak ingat.

Klek...

Danisa membuka pintu rumahnya dan kaget mendapati Gavin berada si sana dengan kondisi yang sudah cukup acak-acakan.

"Mau ngapain kamu kesini?"

"Kak....tolong jelasin. Gavin nggak tau apa yang terjadi. Gavin bener-bener nggak ingat! Waktu itu Gavin sadar kalau Elisa ngasih sesuatu yang aneh di minuman Gavin, Gavin juga sadar kalau waktu itu Gavin udah ngajak seorang cewek buat ditiduri, tapi sumpah Kak, Gavin nggak inget!" kini Gavin tampak sudah frustasi.

"Kak...jelasin...please ..."

Danisa menutup matanya sesaat, mengumpulkan segenap kesabaran yang ia miliki.

"Sepertinya kamu mengkonsumsi GHB. Obat perangsang yang bikin pengkonsumsi nya mengalami euphoria yang berlebihan, kemudian dia nggak akan ingat apa aja yang udah dia lakukan. Dan mungkin di kasus kamu, bentuk euphoria kamu itu rough sex."

Gavin tidak memungkiri, terutama saat melakukan sex dengan Gendis, Gavin akan semakin excited jika ia melakukannya dengan kasar.

"Jadi ... Aku yang bikin Gendis babak belur kayak gitu? Apa aja yang udah aku lakuin kak? Aku nggak inget...." Gavin tampak benar-benar frustasi, diacaknya rambutnya beberapa kali.

"Kamu baca aja sendiri hasil visum nya, kamu bayangin aja apa yang kira-kira kamu lakukan ke Gendis." Danisa masih agak ketus pada Gavin.

"Dan bayinya?"

"Bisa dibaca kan? Gugur. Bayinya mati."

"Itu beneran anakku?"

Danisa malas untuk menjawab.

"Itu anakku ya Kak?" Gavin mengulang pertanyaannya.

"Sebelumnya kakak mau tanya. Kamu udah buka hati kamu? Kamu udah nggak menipu diri kamu sendiri dengan terus-terusan mensugesti kalau Gendis bukan perempuan baik-baik?"

Gavin hanya diam.

"Kalau kamu udah buka hati kamu sendiri. Kamu pasti tau jawabannya tanpa kakak yang jawab."

Gavin masih diam. Jauh di dalam hatinya, ia sudah tau jawabannya.

"Gendis.... Gendis dimana sekarang?"

Danisa terdiam kemudian mengambil nafas panjang.

"Dengan kondisi seperti itu, menurut kamu apa Gendis bisa bertahan?"

Jantung Gavin sontak seperti terhenti. Seluruh tubuhnya terasa dingin, hingga tak ia sadari tubuhnya bergetar.

"Kak....jangan becanda!"

"Kak...?"

"Kakak nggak becanda Gavin! Gendis nggak bisa bertahan! Gendis udah nggak ada!!" Danisa mulai meninggikan suaranya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Nggak, nggak mungkin kak!" Gavin menunduk dan mengacak rambutnya frustasi.

"Kak...."

"Kak...aku harus gimana? Aku.... Aku pembunuh kak....aku harus gimana?" 

Danisa tak menyangka Gavin akan sefrustasi ini.

"Kamu tenang aja. Nggak akan ada yang nuntut kamu. Dengan bodohnya, sampe akhir Gendis bilang dia cinta kamu! Dia bilang dia cinta kamu! Kamu?! Kamu nggak pantes dapet cintanya dia Vin! Gendis kok bego banget...."

Cinta? Gendis mencintainya? Kenapa?

Gavin akhirnya tak kuasa untuk menahan tangisnya lagi.

"Kak... Aku emang udah jahat banget sama Gendis. Tapi aku nggak bermaksud bikin Gendis kayak gitu, apalagi sampe bikin dia mati kayak gini! Kak...aku nyesel, aku ... Aku mau minta maaf sama dia."

"Telat!"

"Ya aku tau kak! Setidaknya tunjunkin makam Gendis sama anak aku kak,  aku mau ...."

"Nggak akan! Kamu cukup sampe disini aja. Gendis udah tenang. Dosa kamu, perasaan bersalah kamu, rasa sesal kamu, biar kamu  bawa sepanjang hidup kamu!"

Danisa tak tahan lagi, ia tinggalkan Gendis sendirian. Sedangkan Gavin tetap terpuruk dengan rasa sesal dan perasaan bersalahnya.

Hingga saat kembali ke apartemennya, Gavin tetap dengan kondisi kacau. Ditatapnya berulang kali foto-foto visum Gendis. Dan ia baca berulang-ulang hasil visum itu.

Perasaan bersalah Gavin makin tinggi. Bukan...bukan yang seperti ini yang diinginkan Gavin. Bukan menjadi pembunuh.

"Gue jadi pembunuh dua orang sekaligus. Anak gue sendiri sama orang yang sebenarnya gue peduliin, orang yang sebenarnya gue suka....gue pembunuh ..." Sambil menatap kosong foto USG anaknya, Gavin berkata lirih.

Kemudian Gavin bangkit. Berjalan menuju kamarnya, membuka bagian lemarinya yang masih terisi baju-baju Gendis.

Gavin meraih satu buah kaos yang sering dipakai Gendis.

"Masih ada bau lo Dis... Dis gue minta maaf... Kalo lo bisa denger gue.  Gue minta maaf Dis....gue gak ada maksud....hiks..hiks..." dengan berderai air mata Gavin menciumi baju Gendis seakan-akan itu adalah sosok Gendis yang sebenarnya.

Ini kedua kalinya Gavin menangis hebat. Pertama saat ia kehilangan ibunya. Kedua adalah saat ini.

Gavin kini tak tahu apa yang harus ia lakukan. Pikirannya benar-benar kacau. Dirinya benar-benar merasa frustasi.

**

"Kakak sudah ngelakuin apa yang kamu minta."

"Makasih Kak."

"Kakak nggak nyangka reaksi Gavin bakal kayak gitu. Dia bener-bener frustasi."

Mendengar Danisa mengatakan bahwa Gavin sangat frustasi, Gendis merasa goyah.

Tidak, hati Gendis harus kuat. Gendis sudah bertekad untuk benar-benar menghilang. Dia ingin memulai kehidupan yang baru, bersama buah hatinya.

Walaupun Gendis dengan bodohnya masih sangat mencintai Gavin. Tapi untuk hidup bersama Gavin, ia ragu. Gavin, tak memiliki perasaan yang sama dengan Gendis.

"Kak... Jagain Gavin ya. Bikin dia jadi cowok yang lebih baik. Siapa tahu, dia kapok nggak mau mainin perempuan lagi." Gendis tersenyum tulus.

Danisa memeluk Gendis erat sambil mengelus rambut belakangnya.

"Kamu baik-baik di Ambarawa. Record kesehatan kamu udah kakak kirim ke temen kakak yang nanti menangani kamu di sana."

"Iya Kak. Makasih. Makasih atas semua yang udah kakak lakukan buat aku."

"Makasih juga buat kamu. Makasih udah hadir di hidup Gavin...."

Sebuah perpisahan yang cukup menyedihkan.

Entah bagaimana nanti hidupnya akan berlanjut. Tapi Gendis sudah tak sabar menyambutnya.

Gavin....mungkin Tuhan hanya mempertemukan mereka sesaat dan penuh dengan rasa sakit.  Namun Gendis tak menyesalinya. Gendis menemukan apa yang ia anggap itu cinta. Dan karena cintanya, Gendis pun kini menerima anugerah terindah.

"Ayo Dis, kita berangkat sekarang."

"Ayo Om..."

"Bye Kak Danisa...."

Selamat tinggal Jakarta....

*****

The end





Etapi bo'ong

FAULTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang