SELAYANG kabut menyapa Cheska lewat jendela pagi ini.
Dia menarik napas lagi, meyakinkan diri bahwa yang dia saksikan nyata, bahwa udara yang tengah mengisi paru-parunya dan melintasi sela-sela jemarinya merupakan gumpalan awan yang turun. Segar tak terkira. Seketika dia rindu jendela kamarnya, tanaman-tanaman Kakek, suara Ibu yang memanggil untuk sarapan disusul wangi nasi kuning. Secangkir teh manis hangat menemaninya di meja makan, melegakan kerongkongannya. Sebuah rutinitas yang tak pernah gagal membangun hari-harinya.
Cheska meraih ponsel, kemudian menelepon Ibu.
"Pagi-pagi banget, Ches," sapa Ibu. "Udah mandi? Udah sarapan?"
"Belum, Bu. Baru buka jendela. Bandung masih dingin, ternyata."
"Tapi bawa jaket, kan? Jangan bilang cuma bawa satu."
Cheska meringis. "Iya, Bu. Yang hijau nggak jadi dibawa, tebal banget soalnya."
Ibu ber-ck, dan Cheska duga, pasti sambil menggeleng. "Ya, sudah. Gimana teman-teman kamu yang lain? Mereka baik-baik?"
"Baik, kok. Sejauh ini oke-oke aja. Reiya feminin, pintar lagi. Kellan pengalaman bertualangnya banyak, suka naik gunung gitu. Dan, hm, rapi. Paling cuma sama Ares yang belum ngobrol banyak, tapi anaknya asyik, sih. Kakek lagi apa sekarang?"
"Lagi sarapan. Habis ini baru ke kebun. Kemarin malam jam dua-an, Kakek sempat ngeluh sakit pinggang. Tapi habis minum obat katanya udah mendingan."
Minggu lalu, Kakek sempat nyeri gigi. Makanannya diganti menjadi minim bumbu, lebih lembut, serta dipotong kecil-kecil. Setelah tiga hari plus obat, baru Kakek dapat menyantap seperti biasa. Obat—kompensasi dari usianya—telah turut menopang gaya hidup Kakek yang sudah sehat dan seimbang sejak beberapa tahun silam. Ternyata memang ada hal yang tak terelakkan seberapa pun kita berusaha.
Akan tetapi, Kakek menanggapinya dengan indah. Panjatkan syukur saja, Cheska. Syukur akan menambah rezeki kita. Daripada resah tak beralasan, ya kan?
"Tolong pesenin ke Kakek, Bu, jangan angkat anakan pohon yang berat lagi." Cemas mewarnai nada suara Cheska. "Minta tolong aja kalau mau ditanam."
"Udah Ibu bilangin dari kemarin, Ches. Biasa, Kakek cuma jawab iya-iya aja." Ibu berkata. "Tapi nanti Ibu sampaikan salam kamu. Hari ini kalian berangkat lagi, kan?"
"Ya. Paling menjelang siang ini mau jalan."
Ibu berpesan lembut, "Hati-hati, ya. Kalau dingin, langsung pakai jaket. Sana, mandi dulu. Nggak kerasa loh, waktu itu. Lebih baik menunggu daripada ditunggu."
Sesudah bertukar salam, Cheska menutup telepon, lalu memandangi pucuk-pucuk cemara di kejauhan yang bersimpul kabut. Lekuk gunung yang kehijauan melatarinya. Bandung tak ubahnya kota tempat tinggalnya dengan sedikit rasa liburan, petualangan, awal jelajah destinasi dari bab kehidupan yang tak pernah disangka. Dan hanya sedikit di luar lingkaran nyamannya, sehingga dia masih bisa menengok ke belakang untuk mengingat pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Mentari
General Fiction「"Alam sudah memberi kita banyak hal sejak jutaan tahun lalu. Alam selalu menyediakan, tapi apa yang manusia perbuat pada alam?"」 Setelah tujuh tahun menghilang, seorang aktivis lingkungan ternama dikabarkan mewasiatkan sebuah pondok miliknya kepada...