KELUARKAN aku dari sini, berengsek!
Reiya mengetap bibirnya. Belum pernah dia ingin mengutarakan sesuatu dan tidak bisa, bagaimanapun caranya, sebelum hari ini di kursi sialan ini. Cheska menelepon, tetapi Reiya tak sadar ponselnya bergetar walau tangannya menangkup di atas tas kecilnya. Usai matanya kering dan pening di kepalanya terbit, dia baru memeriksa ponsel dan meneleponnya balik.
"Halo?" getar bekas menangis tersisa di suaranya. Reiya menelan ludah. "Cheska?"
"Ini beneran Reiya, kan? Kamu kenapa? Kamu nggak apa-apa?" serbunya.
Ares mengambil paksa kalungku dan membuangnya. Leherku sakit. Aku tak tahu ini di mana. Aku bahkan tak yakin masih ingin mengikuti perjalanan ini. "Nggak pa-pa."
"Kamu habis nangis?" Cheska memekik histeris. "Jangan bohong, Reiya. Suara kamu serak. Kamu nggak terluka, kan? Mana Ares? Ngapain aja dia?"
Reiya melirik Ares sepintas sebelum kembali menatap pangkuannya. Tarik napas, buang, senyum. "Aku nggak pa-pa, sungguh. Aku udah nggak panik lagi. Ares, ya, lagi nyetir. Kamu gimana sama Kellan? Udah jalan, kan?"
"Tenang, kami aman. Eh, terus, itu mobil stalker yang kalian pakai jadinya gimana? Kalian mau nanti kita ketemuan dan pindah?"
"Aku belum tahu, tapi kita memang harus ketemu lagi. Sekarang udah sampai mana?"
"Sebentar. Udah di—oh—bentar lagi mau masuk tol. Kalian udah di tol?"
Reiya hanya mendapati jalanan umum dan bangunan biasa di sekitarnya. Gedung usaha, pepohonan, gerbang menuju perumahan. "Tol?"
Ares menyadarinya. Dia menyetir lebih lamban, tetapi tidak sampai berhenti. Reiya menahan gejolak di tenggorokannya—sudah membuat kekacauan, harus membuat mereka tersasar pula? Bagus sekali! Benar-benar sial. Persetan dengannya.
"Kami kayaknya kelewatan," ucap Reiya jujur.
"Oh, ya ampun!" seru Cheska. "Cepat putar balik! Bakal lebih lama kalau nggak lewat tol—"
"Nanti kalian harus lewat Salatiga dulu." Kellan menyahut. Cheska ternyata memasang mode pelantang. "Bisa tujuh sampai sembilan jam baru sampai."
"Oke," tutup Reiya. "Nanti aku hubungi lagi, ya. Kabari kami juga kalau ada apa-apa."
"Jangan lupa shareloc live!" Cheska berpesan.
Reiya mengiakan sebelum menyudahi panggilannya.
Sekarang hanya dia dan Ares lagi. Akan sangat melegakan jika yang dia butuhkan hanya memaki. Nyatanya, dia lebih kecewa pada dirinya sendiri. Mengapa dia tak bertindak cukup cepat dan cerdas dalam mempertahankan diri? Mengapa dia justru membiarkan Ares melewati batas personalnya? Menyentuh kalungnya, merebut barang yang sudah bertahun-tahun menjadi miliknya, menyakitinya. Dia sudah bersumpah akan berhenti mengizinkan orang lain—terutama orang yang disukainya—berbuat seenaknya, tetapi mana buktinya? Si pelaku bahkan bukan pacarnya. Hanya orang yang baru membuatnya tertarik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Mentari
General Fiction「"Alam sudah memberi kita banyak hal sejak jutaan tahun lalu. Alam selalu menyediakan, tapi apa yang manusia perbuat pada alam?"」 Setelah tujuh tahun menghilang, seorang aktivis lingkungan ternama dikabarkan mewasiatkan sebuah pondok miliknya kepada...