21 | Ares

14 7 0
                                    

TEMPAT lengang ini menyisakan hiruk-pikuk mudik pada tenda-tenda kosong, tiang-tiangnya sedikit miring berkat waktu dan angin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TEMPAT lengang ini menyisakan hiruk-pikuk mudik pada tenda-tenda kosong, tiang-tiangnya sedikit miring berkat waktu dan angin. Umbul-umbul bertulis merek obat, minuman berenergi, hingga otomotif melambai-lambai dalam warna dagang mereka. Bangunan semipermanen dari baja ringan memanjang di satu sisi daerah ini, menjanjikan musala, kamar mandi, dan rumah makan, tetapi hanya gelap dan kehampaan yang terlihat dari luar.

Ares memarkir di tengah parkiran rest area darurat, menjauh dari truk-truk besar. Kedua tangannya masih menggenggam kemudi. Sebetulnya dia bisa menganggap perintah Reiya bercanda dan menolaknyaandai dia tak mengambil mobil ini, melempar kalung Reiya, dan mendapat telepon Bu Neni. Terus mengelak juga jelas pilihan yang bodoh. Namun, dia tak pernah siap menghadapi Papi. Tidak akan pernah. Untuk itu lari selalu terasa lebih mudah.

Reiya menyandarkan ponsel Ares ke tempat tisu di dasbor, kemudian memiringkannya sedikit dan menggesernya ke kanan. Profil Ares memantul di layarnya yang gelap. Bukan hanya teleponReiya seolah menyarankannya membuat panggilan video lewat gerakan itu. For fuck's sake. Ares menggertakkan gigi lantas mengeratkan pegangannya pada setir.

"Dulu, mama dan papaku sempat mau cerai." Reiya berkata.

Tangan Ares mengendur, badannya menegak.

"Mereka udah di tahap ngumpulin anak-anaknya dan tanya pilih ikut siapa. Kakakku teriak dia nggak bakal jawab. Aku cuma bisa diam. Adikku bahkan sampai panggil aku-kamu ke aku, bukan gue-lo kayak biasanya, karena dia kira itu gara-gara dia nggak bisa jadi anak baik." Reiya terkekeh, meski nadanya pedih. "Walaupun nggak jadi pisah, kadang aku suka kepikiran hari itu, waktu kami bertiga dipanggil. Aku harap dulu aku tahu mau bilang apa."

"Kenapa lo cerita itu?" sahut Ares.

Reiya menatapnya. "Karena aku ngerti susahnya ngomong sama orang tua."

Ares membalas pandangan Reiya sebelum menjeling ke arah ponselnya lagi. Kata-kata Reiya tadi terasa seakan Reiya berutang rahasia padanya, seakan dia baru saja mendengar hal yang tak seharusnya dia ketahui. Dia ingin menyudahi suasana kurang nyaman ini, tetapi satu-satunya jalan hanya dengan menghubungi Papi.

Sampai Reiya berujar lagi, "Ayo kita main tanya-jawab."

Apa dia sedang melawak? "Lo nggak"

"Nggak. Aku serius. Aku tanya sesuatu, kamu jawab. Kamu tanya sesuatu, aku jawab. Simple. Boleh tentang apa aja, nggak ada batasan."

Mungkin, justru Ares yang berutang pada Reiya setelah dia menyakitinya. Momen ini pasti sengaja Reiya buat agar dia segera melunasinya. "Lo dulu."

"Siapa Naida?"

What a joke. Reiya, seorang lulusan universitas teratas Indonesia, tak bisa menghubungkan hal sesederhana itu? Ares mendecih sebagai jawaban.

Reiya menangkapnya. Dia mengedikkan dagu. "Giliran kamu."

Menanti MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang