17 | Ares

14 6 0
                                    

JAN dan Winka sekilas layaknya pemuda serabutan dan ibu pekerja biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JAN dan Winka sekilas layaknya pemuda serabutan dan ibu pekerja biasa. Mata Winka sayu seakan senantiasa lelah dari menjaga anak, rambutnya sejajar rahang, dan perawakannya sedang. Jan bertubuh kurus serta condong ke depan seperti pohon tua, dan ada saja yang tak rapi dari penampilannyakaus yang tak sepenuhnya dimasukkan, ujung celana yang hanya digulung satu, sepatu baru yang talinya lolos sebelah.

Mereka terlihat sipil, umum, tak berbahaya.

Namun, Ares lebih tahu dari itu. Dan kini dia harus lebih cergas bertindak. Winka mungkin tak akan lagi repot menyeretnya seakan dia masih bocah, celana Ares tak akan sobek bekas perlawanan, juga tak akan ada gawai yang disita Jan, karena gerak-gerik mereka kali ini lebih lembut. Lebih tertata. Yang juga berarti lebih terencana.

"Ck, Papi ini kadang lucu juga."

Suara Bunda mengudara cukup nyaring hingga menolehkan beberapa kepala di sekitar sebelum Winka akhirnya menekan tombol stop. Kepala Ares mulai berdenyut pening. Jangan, jangan tertipu. Ini baru permulaan. Hanya kepala tegak yang mampu menandingi gertakan itu dan suara Papi saja tak akan menaklukannya. Itu hanya suarabuktinya, sampai sekarang Papi dan Bunda masih belum tahu dia di mana. Ditantangnya seringai Winka lewat tatapan saat Winka memasukkan ponselnya ke saku.

"Jelas, kan?" ujarnya. "Kami sengaja nggak jawab Pak Andreas dulu sebelum ketemu kamu. Oh, kamu jadi tambah jago loh, main petak umpetnya. Bisa tiba-tiba hilang di jalan tol! Saya salut. Untung kami nginep dan Jan tiba-tiba ganti jalur pagi ini, jadi ketemu, deh. Eh, udah ketemu penggantinya Naida, nih? Jadi, pelarian apa lagi, sekarang? Terhalang restu?"

Gigi Ares menggertak. Ha, Winka kira dia mampu mengancamnya dengan kata-kata itu? Tensi di bahunya merambah hingga telapak tangan, dan Ares sadar Reiya sedang menggenggam tangan itu, tetapi dia membiarkannya bahkan setelah nama Naida disebut. Otaknya terlalu sibuk memperhitungkan langkah berikutnya karena menghindari kontak dengan Papi, sekecil apa pun, sebisa mungkin, tetap diutamakan.

Sekelebat bayangan masa silam mengaburkan pandangannya, menaikkan pacu jantung. Sialan! Jika Jan dan Winka berhasil, Ares tahu siapa yang menunggunya di ruang tamu. Tangannya mengepal. Dia tak akan membiarkan itu terjadi lagi.

"So? Pulang?" tanya Winka.

"Kami nggak harus paksa kamu lagi, kan?" Jan menimpali.

"No." Ares menggeram. "Get the fuck out."

"Oooh, sopannya." Winka bersenandung. "Dengar, cecunguk. Kalau SPP anak gue nggak nunggak dua bulan, gue juga nggak bakal ambil kerjaan ini. Dan kalau gue nolak, bokap lo pasti bawa-bawa masalah itu buat jadi alasannya. Gue diminta begini karena ulah lo sendiri, tahu? Sekarang, nurut gue dan tinggalin cewek itu. Mobil lo bisa nyusul."

"Fuck off."

"Tambah gede tambah kurang ajar, ya? Perlu gue bongkar ke cewek lo kejahatan yang bikin gue di-hire Pak Andreas, supaya lo nggak ulangi kesalahan yang sama? Lo kira ini cuma gara-gara sikap rebel lo? Atau lo sadar juga?"

Menanti MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang