TENANG, tenang, tenang.
Reiya seharusnya mengambil giliran mengemudi. Hanya saja, setelah kenekatannya kepada Ares tadi, dia tak yakin. Pembicaraan mereka belum selesai dan Reiya malas menambah masalah lagi. Kesalahannya yang satu itu saja sudah cukup.
Tenang, tenang, tenang, rapal Reiya lagi, tangannya memutar bandul rose quartz barangkali hingga telapaknya kebas. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Bukankah jika dia tak menyetir kali ini, dia akan diprotes karena tidak adil dan Ares bisa memakai itu untuk melawannya? Reiya mempertimbangkan itu sembari menaruh tas jinjingannya, sedangkan Kellan membantunya memasukkan koper ke bagasi. Cheska ikut menata bawaan mereka. Ares berdiam agak jauh, tangannya menggenggam kunci mobil.
Ketika Ares berjalan menuju pintu kursi pengemudi, badan Reiya sigap menghalanginya.
"Giliran aku," tukasnya, satu tangannya menadah.
Ares mematung. Jelas sekali mereka masih bersitegang—tatapan tajamnya tak juga berubah. Kunci mobil itu pun masih di genggamannya. Reiya mempertahakan pandangan, menggerakkan telapak tangannya yang terbuka, memintanya lagi.
Tenang, tenang, tenang.
"Kata Kellan, kita bicarain lagi di mobil," tambah Reiya.
Mereka masih bersitatap saat pintu kursi belakang dibuka dan Kellan mengambil duduk di sana. Cheska membuka pintu kursi penumpang dengan lebih pelan lantas masuk. Dan Ares tetap di tempatnya, tak bergerak. Sial! Sudah jelas Kellan mendukung Reiya mengambil alih kemudi, tetapi Ares malah pura-pura tidak tahu. Seandainya Reiya bisa kembali satu jam sebelumnya, dia tak akan dalam situasi adu urat ini. Namun, daripada menyesal, Reiya lebih suka mencoba mengubah situasi sekarang.
Kemudian, Ares melempar kunci mobilnya.
Jika Ares mengira dia memberi Reiya kesulitan, dia salah besar. Kunci itu mendarat pas di tangan Reiya dalam sekali tangkap dan postur sempurna. Latihan softball selama kuliah ternyata berguna pada momen ini. Sesudahnya, dia mendengar bunyi pintu Ares ditutup. Reiya masuk dan menyalakan mesin, memanaskannya sebentar, lantas berangkat.
Mobil ini sekarang berbau seperti hujan yang terperangkap lama.
Reiya menurunkan suhu pendingin ruangan. Hei, mengapa tidak sekalian buka jendela saja? Sedikit udara segar pasti baik untuk darah yang mendidih. Dia masih kesal—tentu saja Reiya masih kesal. Perkaranya dengan Ares belum usai dan masih banyak yang ingin dia utarakan. Siapa sebetulnya Ares bagi keluarganya? Mengapa mereka menginginkannya pulang? Apa karena ini bukan kali pertama dia kabur? Ares tak mau menjawab itu semua dan justru menuduhnya mengincar harta warisan Jagad Respati. Padahal, setelah insiden Brunello Cucinelli, Reiya melunak, memberanikan dirinya membuka percakapan, hingga menanyakan tentang alergi dan membelikan Tolak Angin meski ternyata Ares menutupi soal asma juga.
Dan di atas semua itu, Reiya benci mengapa, ketika yang paling diinginkannya hanya konfrontasi, hatinya justru memperhatikan ujung rambut Ares yang bertemu alis halus di atas mata coklatnya, bibirnya yang pucat merah muda, kulit wajahnya yang tan dan entah bagaimana bisa tanpa cela, serta rahangnya yang pas, tak terlalu tegas juga tak begitu lembut, menyeimbangkan dagunya yang terdapat bekas cukur?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Mentari
General Fiction「"Alam sudah memberi kita banyak hal sejak jutaan tahun lalu. Alam selalu menyediakan, tapi apa yang manusia perbuat pada alam?"」 Setelah tujuh tahun menghilang, seorang aktivis lingkungan ternama dikabarkan mewasiatkan sebuah pondok miliknya kepada...