26 | Ares

19 6 0
                                    

MUSIK berputar tanpa henti dalam kepala Ares

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MUSIK berputar tanpa henti dalam kepala Ares. Mills – Hollow, The Hollow Man – Silence, St. Lundi – Heavy Words, bergema hingga bait liriknya menimpa lirik lain, menimpa lagu lain. Suara dan bunyi selain itu dianggapnya noisesemata dengung dalam lingkup ruang. Sesudah Kellan, Cheska, dan Reiya membagi pengalamannya dan terhenti, mobil kembali berjalan dalam sunyi. Tanpa daftar putar. Tanpa kuis. Hanya musik di kepalanya.

Menurut peta, mereka tinggal berjarak lima belas menit dari tujuan. Perbatasan Kota Batu telah dilewati seiring matahari yang kian merendah. Sial. Tengkoraknya seperti diisi batu dan Ares tetap saja tak bisa mengeluarkan air mata. Apa yang salah dengan tubuhnya? Apa jiwanya kadung rusak sampai-sampai meluapkan duka saja tidak bisa? Lewat pantulan di jendela, wajahnya masih lecet meski sakitnya sudah tak seberapa. Dia tak berani menengok Kellan. Dia sangat, sangat menyesali perbuatannya tak lama dari pertengkaran tadi, tetapi dia tak yakin permintaan maafnya akan mengubah sesuatu. Kepada Reiya saja dia tak diacuhkan.

Mobil menepi lagi. Ini kali kedua setelah Reiya bertanya pada tukang ojek pangkalan belokan mana yang harus diambil. Sejak masuk Malang, Kellan mengambil alih kemudi, dan selepas Pasar Batu, beberapa kali mereka berhenti hanya untuk memastikan arah yang benar. Berbagai plang penginapan yang menyerbu pandangan semakin menyulitkan. Semoga saja ini yang terakhir mereka berhenti dan tidak tersesat.

"Ya, betul," ujar Reiya setelah keluar dan bertanya ke satu warung. "Ikutin di Maps aja."

"Nggak ada jalan tikus lagi?" Cheska memastikan.

Reiya menggeleng. "Jalannya lebar, kok. Pokoknya patokannya gapura hijau."

Kellan memajukan mobil dan melanjutkan lajunya.

Mendekati rumah Pak Kurniawan, detak nadi Ares menghitung mundur. Jika perkiraannya benar, Papi sudah mendarat dan sekarang sedang diantar mobil sewaan. Apa Om Donny menyangka ini akan terjadi sebelum menulis wasiat? Apa beliau ingin Ares menemui ketakutannya sendiri? Mengapa pula dia harus ada di surat itu? Akan lebih mudah jika dia abaikan, tetapi saat ini dia tak bisa tidak berpikir. Dan jika dia tidak berpikir tentang Om Donny, Papi-lah yang akan menginvasi pikirannya.

Kellan mematikan mesin. Lampu jalan menyala pertanda magrib menjelang. Ares kira mereka akan bertanya arah lagi, tetapi Kellan sudah membuka semua kunci pintu mobil. Di kursi penumpang, Cheska melongo. Reiya di sampingnya juga menatap lama ke luar jendela.

Pada sisi kanan, rumah Pak Kurniawan berdiri memanjang, berwarna putih tulang dengan aksen kayu gelap pada kosennya. Ukiran khas rumah tradisional Jawa Timur terpatri di tiang, birai, dan bubung atap. Jalan setapak menuju pintu depannya disusun dari bebatuan, dibubuhi semak-semak rapi dan rerumputan halus. Pagarnya rendah, dibuat dari barisan bambu yang dicat putih pula. Dalam cahaya senja dan kandelir di kasau teras yang baru diterangkan, bangunan itu seakan sedang memamerkan pesonanya.

"Cuma ini rumah warna putih habis gapura hijau tadi," simpul Kellan.

Cheska bergumam, "Jujur, saya nggak nyangka bakal semewah ini."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menanti MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang