4 | Ares

95 21 4
                                    

SENYUM Ares mengembang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SENYUM Ares mengembang. Ignis 2018-nya selesai dicuci bersih pagi ini. Mobil itu satu dari sedikit miliknya yang Ares jaga baik, hargai, sayangi. Dia menyukai bahwa mobil itu bertipe hatchback. Juga tampilannya yang sporty. Juga kursinya yang sesuai tinggi badannya, suspensinya yang tidak mudah anjlok, ketahanan bahan bakarnya, velg hitam mengilatnya.

Dia juga tahu mobilnya bukan Porsche-nya Mars atau Alphard-nya Bunda atau bahkan Pajero pemberian Papi yang Ares tolak ketika dia kelas sembilan. Namun, peduli setan. Justru karena itulah Ares memilihnya. Tidak peduli warnanya yang jingga terlalu mencolok untuk sebuah mobil kecil atau desain belakangnya yang rata sering Mars hina mobil bokong tepos. Mobil ini miliknya. Keinginannya. Ada karena keputusannya sendiri.

Ares mengacungkan jempol untuk Pak Wahyu yang masih menggulung selang. Pak Wahyu balas tersenyum, giginya yang rompal terlihat walau langit baru menjelang fajar. Setelah melirik mobilnya sekali lagi, dia masuk, melewati ruang cuci, game room, dan taman tropis yang mengarah pada kolam renang dan BBQ spot, kemudian berjalan naik ke kamarnya.

Di kasurnya, Bu Neni duduk sembari melipat celana jin hitam. Kepalanya menoleh saat Ares memasuki ruangan. Tas ransel besar Ares terbuka lebar, memperlihatkan tumpukan pakaian di dalamnya yang telah disusun rapi.

"Udah Bu, nggak usah banyak-banyak," kata Ares ketika mendekat. "Cuma perlu dua potong baju-celana sama minyak kayu putih doang, kok. Udah aku siapin sendiri."

"Memangnya dua potong cukup buat tiga hari bolak-balik?" Kerutan di kening Bu Neni ikut naik kala alisnya mengangkat. "Lagian kalau Nak Ares bawa kayu putih tapi bajunya tipis-tipis, ya sama saja toh? Bakal kedinginan juga."

"Nggak tipis ah, Bu. Aku pakai tiap hari nyaman-nyaman aja."

Bu Neni mendelik tak percaya. "Ya iya lah nggak tipis, wong Bekasi panas. Nih, Ibu udah tukar baju yang hitam lengan panjang tadi sama sweter kuning kunyit yang ini, ya." Diangkatnya baju yang ada di tumpukan teratas. "Ibu juga tambahin celana jin. Jin kan, anget. Buat bepergian juga tahan banting."

"Tetap aja bakal dingin kalau kena air. Berat, lagi."

"Tapi Nak Ares, kan, mau pergi naik mobil, bukan mau arung jeram. Ya, toh?"

Ares mengulas senyum, berterima kasih. Dia ingat salah satu teman SMP-nya pernah terlibat hubungan tak sehat dengan pacarnya yang jauh lebih tua, diduga akibat kehilangan sosok ayah. Ada lagi saat SMA, teman sekelas yang berbalik pada minuman keras hingga direhabilitasi karena merasa tidak punya tempat berpulang. Ares punya Bu Neni dan Pak Wahyu dari kecil. Dia merasa sangat, sangat beruntung.

"Kira-kira Bunda balik jam berapa, Bu?" Kata 'Bunda' menyisakan sepat di lidah Ares, seolah dia peduli, padahal sudah lama masa bodoh. Namun, dia harus memastikan perkiraannya tepat. Semua harus sesuai rencana.

"Mungkin sore ini. Biasanya Nyonya ikut jadwal temannya di sana. Toh, terbang ke sini dari Singapur juga gampang dan cepat."

Ares menimbang-nimbang. "Berarti berangkatnya setengah jam lagi kali, ya? Biar aman."

Menanti MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang