Blog

121 20 5
                                    

JAGAD RESPATI

Dari alam yang akan kembali ke alam

Home | About | Blog | Contact

19 September 2017

MENDAKI PUNCAK GUNUNG NAGA

Seandainya sepanjang tahun di Eropa hanya ada musim gugur a la Pegunungan Alpen, maka saya tak akan ragu untuk pindah ke sana. Rasanya ingin membekukan waktu saja setibanya saya di kereta menuju Lucerne, satu jam perjalanan dari Zurich. Pemandangan pepohonan jingga kemerahan bersanding dengan beningnya sungai, hijaunya padang-padang rumput dan birunya langit yang melatari puncak sang naga, Gunung Pilatus.

Ini kali kedua saya bertandang ke Pilatus dan magisnya masih mendirikan bulu kuduk saya. Di Lucerne, saya disambut Klas, teman yang sama yang membimbing saya mendaki Pilatus sekitar tiga tahun lalu. Saya bersyukur mengenalnya karena kebanyakan paket wisata yang ditawarkan begitu beragam dan mudah, sampai saya curiga pasti ada keindahan rahasia yang disembunyikan. Beruntung, Klas adalah orang yang tepat untuk mengenalkan itu semua.

Dari rumahnya, kami menuju stasiun Lucerne untuk menaiki trem menuju Kriens, kaki sang gunung naga. Di dalam trem, saya mencoba berbasa-basi dengan Klas.

"Bagaimana rasanya tinggal di dalam dongeng?" tanya saya.

Klas tertawa. Kini janggut pirangnya lebih pendek dari yang saya lihat terakhir kami bertemu. "Dongeng apa dulu? Kuharap bukan Si Tudung Merah atau Hansel dan Gretel."

Tentunya saya tidak asal bicara soal negeri dongeng, karena sepanjang jalan bahkan sejak lepas dari Zurich, rumah-rumah berdinding batu dengan cerobong asap dan bangunan tinggi beratap runcing membawa saya pada halaman-halaman indah di buku cerita dari masa kecil.

Kami sampai di halte pemberhentian, lantas berjalan kaki kurang lebih lima belas menit untuk sampai ke gondola. Di sini saya bertemu dua teman Klas yang sudah biasa memandu turis yang lebih menyukai solo adventure, sehingga kami bisa membeli tiket transportasi yang tepat. Setelah menaiki panoramic gondola-dan lagi-lagi dibuat takjub dengan warna-warni musim gugur-saya dan Klas melanjutkan perjalanan dengan menaiki aerial cableway yang besar, lega, serta ramah penyandang disabilitas hingga kami akhirnya tiba di stasiun Fräkmüntegg.

SEPERTI BUFFET ALAM

Saya sempat tergoda untuk berhenti di Fräkmüntegg guna mencoba berbagai wahana outdoor seperti baumzelt atau tenda pohon serta seilpark atau istilahnya outbond di Indonesia. Bagaimanapun, anak kecil di dalam diri saya selalu berseru antusias melihat permainan rintangan seperti itu. Namun, waktu yang saya perlukan untuk mendaki sampai ke puncak tidak sedikit, sehingga saya dan Klas segera mempersiapkan diri.

Angin dingin yang bersahabat menyapu pipi saya. Meskipun sudah memakai pakaian berlapis-lapis, tak bisa dipungkiri saya juga orang tropis. Maka dari itu saya memilih musim ini untuk berkunjung, karena dinginnya masih bisa dinikmati. Sambil menyusuri trail dengan puncak bersalju di depan mata, pohon pinus yang tumbuh di sana-sini menambah sensasi mendaki yang tidak saya temukan di tempat lain, terlebih di negeri kita tercinta. Itulah seni dari menjelajah; setiap tempat memiliki pesona tersendiri. Saya dan Klas tidak banyak bicara saat mendaki karena itu yang biasa saya lakukan ketika mendaki di mana pun, dan mungkin karena Klas juga menyadari sebelumnya saya baru bisa diajak ngobrol ketika telah tiba. Karena kalau sudah di atas sana, saya baru bisa merasa lega.

Beberapa wisatawan memilih menaiki aerial cableway langsung ke puncak. Meskipun saya kalah cepat dengan mereka, tapi saya dan Klas sampai juga. Ada tiga puncak yang kami datangi, yaitu Tomhilson, Esel, dan Oberhaupt. Di antara puncak-puncak itu, kami beristirahat sejenak di rumah makan kabin kayu hangat sambil menyesap cokelat panas Swiss yang tersohor. Ah, satu alasan lagi mengapa teknologi terkini harus segera menemukan cara lebih canggih untuk menyimpan ruang dan waktu.

Dari semua asal-usul Pilatus, saya memang paling suka dengan julukannya yaitu Dragon Mountain. Rasanya naga mana pun akan betah menempati salah satu celah gunung, karena kami yang manusia saja tak habis pikir melihat suguhan mata yang tiada batas ini. Apalagi jika naga itu bisa pula makan lewat pandangan, selain mungkin menyantap sapi berlonceng khas Swiss atau burung Alpine chough yang mendiami puncak gunung ini. Seperti buffet alam, naga itu bisa memilih hendak melahap pemandangan gunung berbatu, lapisan es di puncak-puncak Alpen yang membentengi Italia, atau warna-warni hutan dari hijau hingga keemasan. Kenyanglah ia sudah.

SENJA YANG PERLAHAN TURUN

Klas mentertawakan ide saya soal naga yang memakan pemandangan. Dia lebih percaya versi nama Pilatus dari Bahasa Latin pileatus yang artinya bertopi, menunjukkan Gunung Pilatus yang bertopikan awan. Ada satu versi lagi yang lebih menyeramkan, yaitu legenda Pontius Pilate, Gubernur Roma yang jasadnya dibuang di danau kecil dekat kaki gunung ini. Namun, sejauh yang Klas ceritakan, dia tidak pernah melihat penampakan hantu sang gubernur.

"Bukannya tidak pernah, tapi belum," goda saya. "Kapan-kapan ajak saya ke Danau Lucerne juga ya, siapa tahu kita berpapasan dengannya."

Klas tertawa kencang sekali. "Jagad, kamu jangan sok pemberani. Sudah, ikuti saya saja."

Untuk kembali ke Lucerne dari puncak, kami menaiki (atau lebih tepatnya menuruni?) cogwheel, kereta bergerigi. Warnanya merah manyala, bentuknya seperti lego berundak. Uniknya, sang masinis menempati kursi paling atas. Melipir di sisi gunung, kereta yang mendapat gelar the world's steepest cogwheel railway ini dilihat-lihat menantang adrenalin juga. Namun, senja yang perlahan turun di antara gunung-gunung batu kemudian meleleh ke sungai membuat siapa pun melupakan kegusarannya. Paduan panorama, udara, dan suasananya membuat saya tidak ingin hari ini cepat berakhir.

Sayangnya, Klas harus pulang dan saya harus kembali ke hotel. Sebelum berpisah, Klas mengajak saya membeli chestnut bakar terlebih dulu. Lengkap sudah pengalaman mengesankan musim gugur Alpen saya. Ditutup dengan aroma chestnut bakar, perjalanan mendaki saya kali ini jadi semakin terasa utuh, hangat, dan tidak terlupakan.

Selagi meninggalkan Lucerne, pendapat saya tetap sama dengan saat berangkat. Meski setelahnya saya merasakan kantuk yang amat sangat sekaligus butuh minyak pijat, hati saya puas. Saya kadung jatuh cinta pada suasana ini, tidak hanya tempat dan kesempatan menjelajah yang ditawarkannya. Jika memungkinkan, saya rela terjebak dalam masa musim gugur khas Alpen layaknya figurine dalam hiasan bola salju, selamanya.

Author: Jagad Respati

jagadrespati.net
© 2017 All rights reserved

net© 2017 All rights reserved

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menanti MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang