BAB XIV: THE SILENT DEATH

73 11 3
                                    

Keempat manusia itu berjalan tergesa menuju lantai lima, tempat di mana ruang rawat inap Izana berada. Baik Eve maupun Mikey yang raganya belum pulih bahkan tak sempat ambil kursi roda untuk bawa mereka ke sana. Kedua saudara itu paniknya bukan main.

Terlebih Mikey, pria itu ingin pastikan semua dengan mata kepalanya sendiri. Dia tidak terima jika sosok kakaknya yang bajingan dan tukang marah itu mati begitu saja tanpa tinggalkan kata.

Begitu sampai di depan ruang nomor 136, Mikey langsung membuka pintunya dengan kasar. Dan, yang selanjutnya terlihat adalah tubuh Izana yang terbaring di atas brankar berselimutkan kain putih hingga ke wajah.

Sementara itu, di sisi-sisinya, berdiri para suster dan seorang dokter dengan raut wajah penuh iba.

“G-g-gak, gak mungkin!” Mikey menerobos masuk. Ia sikut lengan perawat dan dokter yang menghalangi jalan.

Kemudian, dengan tangan bergetar, ia singkap kain yang tutupi kakaknya. Bibir Manjirou gemetaran, sama halnya dengan lutut pria itu yang seolah kehilangan nyawanya. Pria itu tak terima, pokoknya tidak terima.

Apalagi ketika ia sadar bahwa mungkin saja, penyebab kematian sang kakak adalah dirinya. Hati Mikey sangat sakit, pemuda itu dilanda perih yang bagai ombak menyerbu karang. Pertahanan lelaki itu pun hancur, singkirkan ego yang ia bangun.

“Izana...?” Mikey pegangi sisi-sisi brankar agar ia bisa berdiri. “Oi, k-kenapa kau tidur saja?”

Raga Izana yang sudah kaku tersebut tentu tak dapat menjawab. Hening. Ia telah memulai tidur panjangnya.

“Izana ... enggak, maksudku, Kakak.... Kakak, cepatlah bangun, Kak....”

Eve, Baji dan Himari yang menyaksikan peristiwa tersebut hanya bisa mematung. Belum pernah mereka melihat sosok Mikey yang serapuh ini. Bahkan Himari Yua langsung tutup mulutnya dengan kedua tangan, berusaha tahan isakan yang berebut minta keluar.

Kini Mikey pegangi lengan Izana. Ia sedikit goyangkan lengan kakaknya itu. “Kak Izana! Hei, bangun. Ini sama sekali gak lucu, Idiot! Bilang saja ini cuma salah satu rencanamu agar aku kelihatan memalukan, bukan?”

“Kak, cukup! Kumohon ... ayo bangun....”

“Kalau kamu mau aku minta maaf caranya gak harus kayak gini!!”

“Aku minta maaf, oke? Apa kamu dengar, Kak?! Aku minta maaf! Jadi cepat bangun dan buka matamu, Kak...!”

Dokter yang sedari tadi berjaga untuk Izana langsung tepuk bahu Mikey lembut. Pria berkaca mata itu berucap hati-hati, “Tuan Sano, kami sangat menyesal. Tapi sudah tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Mendiang Sano Izana kini sudah tiada.”

Mendengar kata-kata itu, Mikey langsung layangkan tatapan mengerikan ke arah sang dokter. Ia pun cengkram tangan pria itu yang masih menempel di bahunya.

“L-lepas ... i-ini sakit, Tuan,” lirih si Dokter memohon.

“JANGAN SEENAKNYA! TAHU APA KAU SOAL KAKAKKU! DIA ITU MASIH HIDUP, BANGSAT!”

“MIKEY!” Himari merangsek masuk ke ruangan lalu peluk kekasihnya sambil menahan tangis. “Cukup, Mikey! Cukup! Hentikan semuanya! Kau hanya akan sakiti dirimu sendiri!”

Mikey seketika lepaskan cengkramannya dari si dokter. Tubuh lelaki itu perlahan melemas. Netra gelapnya pandangi presensi Izana yang tampak tertidur lelap dengan pandangan kosong. Lelaki itu gagal temukan dirinya sendiri untuk saat ini.

Bahkan, ia gagal tangkap suara-suara di semesta. Tuhan seolah telah menarik seluruh indra pemuda itu hingga dirinya tak bisa rasakan apa pun. Mikey diam seperti patung, seakan-akan dia ikut mati bersama Izana.

Eve tidak kuat. Ia pun sembunyikan wajahnya di dada Baji lalu menangis kencang. Sedangkan Baji langsung memeluk gadis itu sambil belai rambutnya yang panjang.

“Aku datang!” Tiba-tiba Shinichiro muncul di ambang pintu. Wajahnya pucat, sepertinya ia langsung datang dari kantor begitu dapat panggilan dari rumah sakit.

Kemudian lelaki jangkung tersebut tuntun sang kakek yang ternyata datang bersamanya. Mereka memandangi Izana dalam diam. Masing-masing dari mereka kini sangat hancur hatinya. Dan tidak ada kata di dunia ini yang mampu definisikan perihnya.

Semua terjadi begitu cepat. Tidak ada yang dapat menduganya. Yang tersisa dari kematian Izana hanyalah penyesalan dan kehampaan bagi manusia di sekelilingnya.

Di tengah suasana yang terasa kosong itu, Chifuyu datang dengan napas ngos-ngosan. Ia ikut khawatir juga ketika diberitahu oleh perawat yang lewat ke mana perginya Eve. Namun, begitu ia sampai, dirinya malah melihat sang gadis berpelukan dengan Keisuke Baji.

Urat-urat kemarahan seketika tercetak di pelipis pria itu. Jika saja di depannya tidak ada suasana duka, ia pastikan Baji sudah habis di tangannya.

“Chifuyu, hiks....” Eve yang masih larut dalam tangis, seketika menghambur ke pelukan pria itu. Di sana, Eve menangis semakin kencang, seolah Chifuyu adalah tempat ternyamannya untuk berkeluh kesah.

“Gak apa-apa.... Eve, sabar ya,” bisik Chifuyu lembut sambil belai rambut sang kekasih dengan sayang. Lantas pemuda berambut pirang itu alihkan tatapan pada Baji.

Kini mereka berdua saling pandang dengan sorot mata dingin. Seolah-olah sedang menabuh genderang perang ke satu sama lain. Untuk sesaat, kedua lelaki itu lupa kalau di ruangan tersebut baru saja ada yang meninggal.

🌼

Pojok Author: Besok Tacenda libur update dulu karena aku mau nabung BAB lagi 🤫

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang