BAB XXVI: THE MURDERER

48 11 6
                                    

Eve duduk di bangku kantin kampus paling sudut. Siang itu, ia ditemani Baji Keisuke. Sejak Baji tahu kalau skripsi Eve menghilang dari laptop, pria itu jadi lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Sekuat tenaga, dengan ilmu yang dipelajarinya di bangku kuliah, ia berusaha mengembalikan file-file gadis itu satu per satu.

Terlepas dari seperti apa perasaannya, Baji benar-benar memiliki niat tulus untuk membantu Ayaka.

Mungkin inilah hari yang baru bagi gadis itu. Mau atau tidak, dia harus bisa menerimanya dengan lapang. Terlebih, ada kabar kalau Himari keracunan makanan dan hingga hari ini masih mendekam di rumah sakit.

Baji lantas menopang dagu sambil perhatikan wajah Ayaka dari dekat. Awalnya hanya iseng, tapi lama-lama dia jadi terpesona juga. Cantik, pikirnya.

“Mau ngomong sesuatu?” tanya Eve menebak, yang langsung buat si lelaki berambut hitam itu gelagapan.

“Oh itu! Mikey sama Himari gimana?” tanya Baji asal-asalan. Kentara sekali kalau dia salah tingkah karena baru saja tertangkap basah.

Gadis di sebelahnya pun terkekeh. Lalu sambil mengaduk-aduk parfait-nya yang sudah mencair, ia menjawab, “Mikey masih mau jagain Himari di rumah sakit. Himari katanya udah siuman dan siap pulang lusa.”

“Syukurlah kalau begitu,” kata Baji menjeda, ia mencuri-curi pandang ke arah Eve dengan jantung yang berdentum cepat, “em, malam ini ada acara nggak?”

Eve lantas menoleh ke lelaki di sampingnya. Memang sih, sedikitnya Eve sadar kok, kalau teman SMP-nya itu menaruh hati. Namun, gadis itu tidak pernah tanggapi Baji dengan serius. Sebab Baji sendiri memang tukang bercanda dan tampaknya jauh dari kata meyakinkan.

Namun, bagaimana dengan sekarang?

“Enggak ada,” jawab Ayaka, “kenapa memangnya?”

Baji mengigit bibir bawahnya sejenak sambil mainkan sendok bekas nasi goreng di tangan. “Di Shibuya ada tempat permainan baru, loh. Mau ke sana bareng?”

Goblok, Baji Keisuke! Bukannya kamu niat ajak dia kencan? Kenapa malah ajak dia ke tempat permainan?! Memangnya kalian anak SMP?! batin Baji menjerit-jerit. “K-kalau kamu nggak mau sih, ya—“

“Mau, kok,” kata Eve memotong ucapan Baji. “Udah lama kita gak main, kan?”

Oh, Tuhan ... batin Baji. Jika boleh hiperbola, saat ini ia merasa menjadi laki-laki paling beruntung di dunia.



Di sebelah area kampus, terdapat gedung mewah yang menjulang tinggi. Gedung yang hampir sebagian besarnya didominasi oleh kaca tebal itu adalah properti khusus milik Geng Bonten. Kumpulan anak konglomerat yang kebetulan menjalin persahabatan.

Kakucho duduk di salah satu sofa, berhadapan dengan Kokonoi. Dua pria itu masih saling diam sejak beberapa saat lalu datang ke tempat itu. Di bangunan tersebut, cuma ada mereka berdua.

Kakucho masih marah, tapi sayang dia tidak bisa menunjukkannya. Sebab lelaki di depannya itu memegang kunci kebangkrutan yayasan ibunya. Jika saja Kokonoi tidak meminjamkan uang dengan bunga berlimpah, pasti yayasan ibu Kakucho bisa bebas dari jeratan si pria gila uang itu.

“Kamu marah?”

Itu Koko. Dia duduk bersender sambil memasang senyuman miring.

Jelas! Namun, Kakucho menjawab, “Enggak. Itu urusan kamu.”

Si pria pemilik netra dwiwarna pun menghela napas panjang. Selama ini, dia pikir, hanya Koko seoranglah yang isi kepalanya tidak beres. Namun, siapa sangka ternyata masih ada orang lain lagi. Setidaknya, ini dilihat dari sudut pandang Kakucho sendiri.

Hari itu, ketika ia pergi ke ruangan Shinchiro, Kakucho membeberkan semua yang diketahuinya. Mulai dari Kokonoi yang membayar media untuk menyoroti kasus pertengkaran Keluarga Sano hingga usut tuntas nyawa Izana Sano.

Iya, itu semua adalah perbuatan Kokonoi. Dia banyak meraup uang dari situ. Dan buruknya, Kakucho sendiri terlibat sebab dia punya hutang.

Namun, setelah mendengar pengakuan Kakucho yang merupakan kaki tangan seorang Kokonoi sekaligus malaikat pencabut nyawa adiknya, Shinichiro hanya diam. Lelaki pemilik sorot netra teduh itu hanya menyesap kopinya sambil duduk tenang.

Aneh, batin Kakucho.

“Anu, Kokonoi?”

“Apa?”

“Kenapa kamu membunuh Izana?”

Bibir Kokonoi membuka sedikit, ia sendiri juga bingung. “Kenapa kamu ingin tahu? Apa karena dia sahabatmu?”

Kakucho mengangguk. “Mungkin.”

“Itu karena—“

BRAK!! Daun pintu kembar yang menjadi akses keluar masuk ruangan itu seketika didobrak paksa meskipun nyatanya tidak terkunci. Sanzu dengan raut wajah acak-acakan berdiri di sana sambil angkat sebilah katana.

“S-Sanzu...?” gumam Kokonoi kaget.

“BANGSAT, KAMU KOKONOI!” bentak pria berambut merah muda itu murka. “Bos Mikey berikan kamu segalanya, terus ini balasan kamu?!”

Kakucho menenggak salivanya. Dia tahu betul seperti apa karakter si Sanzu ini. Selain sebagai seseorang yang gila judi, Sanzu juga sadis dan merupakan anjing setianya Sano Manjirou. Pria itu akan lakukan apapun asal buat Mikey bahagia.

Bahkan, jika jawabannya adalah menghilangkan nyawa orang lain.

“MAJU KAMU, KOKONOI!” bentak Sanzu lagi. “NYAWA KAK IZANA, HARUS KAMU BAYAR KAN?!”

“Dengar dulu, Sanzu. Ini gak seperti apa yang kamu kira!” Kokonoi mulai berdiri dari sofa. Alih-alih mundur, dia malah maju dekati Sanzu. “Aku tidak akan berbuat sesuatu jika tidak mendapat keuntungan yang sepadan!”

“Eh...?” Sesuatu di dalam benak Kakucho seketika berdenting. “Koko...?”

“BANYAK BACOT!” Sanzu, pada akhirnya sudah gelap mata. Di hari itu, ia menebaskan katana kesayangannya ke dada bidang Kokonoi hingga lantai di ruangan itu berubah warna menjadi merah.

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang