BAB XX: THE IMPERFECT LOVERS

61 12 0
                                    

Kokonoi Hajime adalah bayi yang lahir dengan berkah Dewi Fortuna. Kaya sedari lahir, membuat pria itu kesulitan memahami penderitaan orang lain. Baginya yang sejak kecil segala sesuatunya selalu dituruti, maka keberadaan Mei Nakamura adalah sebuah anomali yang bagai noda tinta di atas kertas.

Mei bukanlah berasal dari kalangan keluarga berada. Tapi juga tidak miskin. Dia hanyalah seorang gadis SD berambut hitam yang secara kebetulan punya koneksi dengan keluarganya Kokonoi. Makanya gadis bermarga Nakamura itu bisa satu sekolah dengan si Hajime.

“Mei, rambut kamu lepek banget. Nggak keramas?” Koko yang saat itu masih kecil memainkan ujung rambut teman gadisnya sambil duduk-duduk di bangku taman sekolah.

Mei tersenyum. Dia tahu kalau pertanyaan semacam ini pada akhirnya akan terlontar juga dari mulut si anak kaya. Padahal Kokonoi tidak tahu saja kalau Mei tidak bisa keramas karena ayahnya yang melarang.

Anak tolol yang tidak berguna lebih baik kotor-kotoran saja! Itu kata sang ayah, setelah tangannya yang menggenggam bat kayu mengayun ke punggung anaknya.

Keras, hingga sisakan memar kebiruan di balik kaus yang Mei kenakan.

“Gak mau. Males, hehehe,” celoteh Mei sambil tersenyum lebar. Ia berusaha sebisa mungkin halau ingatan tentang kejadian kemarin malam.

Tak ada apa-apa yang menarik. Bagi Mei, ini hanya kisah seorang ayah yang kesulitan tunjukkan afeksi kasih sayang pada anaknya. Dan sebagai gantinya, caci maki dan kekerasa fisik lah yang keluar.

Koko cemberut. “Kamu itu seperti anak laki-laki saja. Coba kamu tiru Kak Akane deh.”

DEG. Lagi-lagi nama itu yang disebut. Mei mual. Dia tidak suka tiap kali dirinya dibandingkan dengan sosok Akane Seishu yang bak Cinderella dari dalam dongeng.

“Kak Akane itu cantik, tinggi, baik, eum ... sopan ... eum....” Koko rupanya tidak sadar kalau sedari tadi senyuman Mei sudah luntur tak bersisa. Bocah cilik itu terus saja celotehkan kebolehan-kebolehan yang Akane koleksi.

Mei itu bukannya tidak suka Akane. Justru dia kagum dengan gadis yang kulitnya cantik seputih susu tersebut. Namun keberadaan Akane Seishu secara perlahan gerogoti rasa percaya dirinya Mei. Menurut Mei, Akane yang berambut pirang itu adalah Cinderella sedangkan Mei cuma penyihir menara.

Gadis kecil itu selalu terkungkung akan imajinasinya sendiri tentang bayang-bayang Akane.

“Udah selesai bicaranya?”

Koko menoleh, sedikit berjengit begitu tatap netra Mei yang suram dan menusuk.

🌺

Mei sudah SMP sekarang. Gadis itu berdiri tak jauh dari gedung sekolah hanya untuk mendapati Kokonoi yang sibuk dekati Akane Seishu. Hati gadis itu diam-diam mencelus sakit hingga timbulkan perasaan sesak di rongga dada.

Rupanya pemandangan seperti ini tak juga bisa membuat Mei terbiasa. Terlebih ketika ia sadari akan perasaan cintanya untuk Hajime Kokonoi. Seandainya saja bisa, gadis itu ingin berlari menerjang lalu teriakan dengan lantang apa yang dirasa.

Namun, siapa Mei Nakamura itu?

Dia cuma teman masa kecilnya Kokonoi. Titik.

“Mei.” Seorang lelaki jangkung halau sinar senja dengan tubuhnya. Ia memandang lurus ke depan, cukup lama hingga akhirnya beralih melirik Mei.

“Sampai kapan mau ngeliatin mereka terus?”

“Siapa juga yang ngeliatin mereka? Aku cuma ... diem aja, kok.” Mei bicara asal, harap lelaki di sampingnya—Inui Seishu—akan pahami.

Inui menghela napas panjang. “Kenapa ya perempuan itu selalu aja mengejar sesuatu yang jelas-jelas bukan ditakdirkan untuknya?”

Mei menoleh begitu mendengar Inui bicara begitu. Ia angkat sebelah alisnya, tanda penasaran.

“Padahal di dekat dia, ada seseorang yang selalu dengan sabar menanti,” kata Seishu, “orang yang bener-bener sayang dan cinta sama dia.”

Mei tidak bodoh. Dia tahu kalau kata-kata yang Inui ucapkan tersebut ditujukan untuknya. Tapi sejak kapan? Sejak kapan Inui Seishu yang katanya tampan satu sekolahan ini menaruh hati padanya?

“Kenapa Mei?” tanya Inui, namun kali ini sambil layangkan tatapan putus asa, kesal, sedih, pokoknya semua bercampur jadi satu.

“Kenapa kamu ... gak pernah anggap kalau perasaanku ke kamu itu nyata?”

Mei bungkam, tidak bisa menjawab.

🌺

PLAK!

Tamparan keras yang suaranya melambung hingga penuhi seluruh ruangan mengakhiri semua kilas balik yang muncul di dalam kepala Mei.

Sementara itu, Kokonoi masih berdiri terpaku sambil perlahan sebelah tangannya mengusap pipi yang kena tampar. Pria itu kaget bukan main ketika tunangannya menerjang masuk ke dalam bar. Ditambah, gadis itu malah memergokinya.

“Inupi selama ini benar,” ucap Mei dengan  nada suara yang bergetar, membuat Koko mengigit bibir.

Inupi ... lagi-lagi disebut.

“Kamu ... aku ... kita gak pernah cocok, Koko.” Kini, pertahanan gadis itu pun hancur, sisakan sungai air mata yang merembes turuni pipi. “Harusnya hari itu, aku dengerin aja apa kata Inupi.”

“Ck, Mei...” Koko berusaha merengkuh gadis itu, tapi ditolak dengan tepisan kasar.

“Aku tahu kalau selama ini kamu tuh gak pernah sekalipun move on dari Kak Akane. Kamu gak pernah anggap aku, Ko.”

Koko muak. Dia tahu kalau dirinya salah, tapi hal itu tak menghalangi pria tersebut untuk tarik lengan Mei dan rengkuhnya ke dalam dekapan.

“Kamu barusan ngomong apa? Aku sayang kamu, Mei.”

Namun, Mei menggeleng. “Bohong, Ko. Aku gak percaya,” tutup Mei lalu mendorong tunangannya hingga pelukan mereka terlepas.

Setelahnya gadis itu melepas benda bulat yang selama ini selalu hiasi jari manisnya. Lantas ia lempar cincin itu ke lantai, buat batu berlian di atasnya terlepas dan hancur berkeping-keping. Sama halnya seperti keadaan hati Mei dan Koko saat ini.

Eve dan Himari seketika tiba di ruangan. Dua gadis itu heran begitu Mei pergi lewati mereka sambil menangis.

“Eeeeh?” gumam mereka kompak.

Kemudian, tanpa aba-aba lengan Eve langsung ditarik oleh Kakucho. Tentu saja gadis itu jadi kaget sendiri.

“Ko, setelah ini kamu harus minta maaf sama Mei dan Eve. Khususnya Keluarga Sano,” kata Kakucho begitu tubuh jangkungnya bersebelahan dengan Kokonoi. Sementara itu lawan bicaranya hanya diam dengan pandangan kosong, lantas ia punguti kepingan berlian yang barusan menghantam lantai.

“Eve, kamu harus kuat,” kata Kakucho lagi sebelum pada akhirnya tarik presensi Eve menuju lift lantai dua.

Setelahnya, tak ada yang bersuara lagi. Buat Himari jadi canggung sendiri.

Sebenarnya ada apa ini?

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang