BAB XXXV: FLY AWAY

31 10 3
                                    

Dulu, dulu sekali, Chifuyu dikenal sebagai anak yang paling penakut di antara teman-teman sebayanya. Bahkan pernah suatu hari Chifuyu kecil menangis sepanjang malam karena takut mendengar suara petir.

Padahal pada saat itu, ia tengah tidur di sebuah kamar luas bersama teman-temannya yang lain-Eve, Mikey dan Emma. Namun, fokus bocah kecil itu tak mau diatur. Telinganya tetap menangkap suara menggelegar petir dan otaknya menerjemahkan hal tersebut sebagai suara monster.

"Cipuy, belum tidur?" Eve turun dari kasurnya sambil mengucek mata dan sesekali menguap. Chifuyu menggeleng. Dia masih menangis terisak sambil duduk meringkuk.

Kemudian, sekali lagi petir terdengar, buat si bocah berambut pirang menutup telinga dengan wajah pucat. Jantungnya terasa berlompatan. Ia harap ibunya ada di sini, memeluk dan menenangkannya seperti dulu.

GREP. Tangan Ayaka bergerak, membawa tubuh kecil yang gemetaran itu agar berbaring ke atas kasur. "Cup, cup, cup, Cipuy tidurlah. Nanti biar aku yang marahin petirnya," kata gadis itu.

"Benelan?" cicit si bocah laki-laki penuh harap.

"Iya, makanya Cipuy tidur dulu," jawab Ayaka yang langsung dihadiahi pelukan erat dari kawannya.
Chifuyu kecil berlindung di balik tubuh Ayaka dari serangan petir yang menyambar-nyambar di luar mansion. Ia pun menyandarkan kepalanya di ceruk leher Eve sambil berharap pagi segera menjemput.

Yah, tapi itu dulu. Sekarang di sinilah lelaki itu sekarang. Berdiri di ruang tunggu bandara bersama kawan-kawan kecilnya. Berdiri bersama mereka, mengingatkan Chifuyu dengan adegan sewaktu mereka menginap bersama dulu.

Saat itu Emma dan Eve yang memaksa Chifuyu dan Mikey adakan acara menginap. Katanya mereka mau tunjukkan sulap tulisan lilin. Lelaki itu pun terkekeh, tak habis pikir.

Sementara itu, Emma duduk di sisi lain sambil terus-terusan melihat jam yang melingkar di tangan. Lima menit lagi waktu keberangkatannya akan segera tiba. Eve menangkap kegugupan itu lalu segera mengusap punggung tangan saudarinya.

"Emma, tenanglah. Semua pasti akan baik-baik saja," kata si gadis bersurai ungu gelap. "Ini impianmu, ingat?"

Senyum pun terbit di bibir Emma. Meski tidak mengusir keseluruhan rasa gugup, tapi hanya dengan melihat Eve, dia tahu kalau semua akan berjalan lancar.

Yah, itu untuk Emma. Dia sendiri tidak tahu apakah saudarinya yang tinggal di Jepang akan baik-baik saja. Minimal, bertahan hidup sampai dia kembali. Kematian Keisuke Baji dua minggu lalu pun masih belum bisa menghilang dari ingatan. Tentu Emma jadi tambah paranoid. Berbeda dengan Eve yang tidak tahu apa-apa.

Mikey yang sedari tadi diam pun iseng, menyambar tiket yang sedari tadi digenggam Emma. "Nomor penerbangan JP-034587. Baiklah, aku akan ingat."

Emma segera menyambar tiket itu kembali. Seolah, ia tak ingin benda itu hilang jika sampai jatuh ke tangan yang salah. "Hahaha, mau apa sampai diingat segala?"

Bibir lelaki itu pun mengerucut. "Tentu saja untuk mengingat hari bersejarah ini. Kau dan aku akan terpisah mulai dari sekarang, kan?"

Tak lama kemudian, Shinichiro tampak berlari dari arah lain. Sepertinya dia baru sampai ke bandara setelah susah payah menyelesaikan dokumen-dokumen perusahaan di kantornya. "Untung saja aku gak terlambat."

"Kakak!" Emma langsung memeluk Shinichiro. Pelukan hangat terakhir sebelum dia benar-benar pergi meninggalkan tanah Jepang. Si sulung Sano mengelus puncak kepala adiknya sebagai balasan.

"Jadi kapan pesawatnya da-"

Belum sempat kalimat itu bertemu titik, tiba-tiba saja pengumuman keberangkatan untung penerbangan menuju Polandia diumumkan. Pesawat dengan nomor penerbangan JP-034587 tampak sudah siap untuk mengantarkan para penumpangnya menuju tempat tujuan.

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang