BAB XXXIX: THE OLDER BROTHER

52 9 6
                                    

Suara gedebuk yang asalnya dari gudang menggema hingga ke dapur. Lalu suara berat itu disusul oleh suara-suara pukulan yang membabi buta. Darah pun pada akhirnya mau tak mau tercecer di sepanjang lantai semen berwarna abu.

Pada malam itu sebuah bat mengayun tepat ke tubuh Shinichiro Sano. Menciptakan jerit tangis kesakitan juga memar-memar yang berdenyar ngilu. Pelakunya tak lain dan tak bukan adalah Makoto Sano, ayah kandungnya sendiri.

Siang sebelumnya, sang anak tak sengaja menjatuhkan minuman dari atas meja. Dan kebetulan saat itu ada tamu yang hadir. Buat perhatian seluruh ruang tertuju ke arahnya, kepada bocah kecil berambut hitam yang masih berumur 10 tahun.

Sebagian besar penghuni ruang tamu tentu maklumi kelakuannya, tapi tidak dengan Makoto. Sebelum ini, lelaki berambut terang itu telah dibuat geram begitu melihat nilai-nilai sekolah anaknya yang anjlok.

Beberapa kali juga ia telah dihubungi oleh wali kelas Shinichiro, mengatakan bahwa anak itu agak sulit diajari. Sebab sang anak lelaki lebih suka tidur atau bolos bersama anak kelas sebelah.

Maka, meledaklah amarah si pria berambut terang. Ia seret anaknya ke gudang lalu mulai menyiksanya.

Namun bukan kali ini saja Shinichiro mendapatkan siksa dari sang ayah. Hari-hari sebelumnya pun ia sering diperlakukan seperti ini. Sayang, malam ini mungkin adalah yang paling parah. Meski Makoto pada nyatanya adalah orang yang suka bermain-main dan hidup sesuka hati, tapi harga diri tetap nomor satu.

Dia selalu berpikir kalau orang-orang di luar sana sedang menanti untuk menjatuhkan keluarganya. Entah itu lewat gosip atau fakta. Oleh karena itu, kesalahan kecil seperti menjatuhkan gelas di hadapan para tamu tak bisa ditolerir.

"Ayah, ampuni aku!" jerit Shinichiro kecil sesenggukan.

Makoto menurut lalu buang bat ke sembarang arah. "Awas kalau sekali lagi kau berani buat kesalahan lagi! Harusnya kamu tahu kalau martabat keluarga kita itu di atas segalanya. Jadi jangan buat ulah."

Shinichiro pun mengangguk di dalam rasa sakitnya. "I-iya, Ayah."

"Shinichiro!" Sang istri, Sakurako Sano menghambur ke dalam gudang dan peluk anaknya erat setelah sedari tadi ia menangis karena tak bisa berbuat apa-apa.

"Mama!!" Shinichiro membalas pelukan ibunya lantas merasakan ada sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya.

Ia pun berpikir sejenak, tanpa peduli dengan raungan ibunya yang makin menjadi. Shinichiro pikir perut ibunya yang semakin membesar itu pasti sangat menyulitkan kehidupan Sakurako. Kadang ia berpikir, kenapa sih ayah dan ibunya tak membunuh adik di dalam perut?

Bukankah kehadiran bayi di dalam keluarga ini hanya akan jadi beban saja?

Dua minggu setelah kejadian itu, Sakurako melahirkan seorang bayi laki-laki manis yang cengeng. Shinichiro tentu tak akan pernah lupa dengan tanggalnya. Dua puluh Agustus menjadi hari pertemuan pertama dirinya dan Manjirou kecil.

"Ayah, kenapa kalian melahirkan Manjirou?" tanya Shinichiro sembari netranya fokus memandangi bayi kecil di dalam gendongan Sakurako yang terlelap.

Makoto berdecih, mungkin agak risih juga dengan pertanyaan polos anaknya. "Kalau nantinya kamu tidak berguna untuk kemajuan keluarga kita, maka Manjirou yang akan menggantikanmu."

DEG. Jantung si bocah lelaki mendadak sakit. Ia berangsur-angsur mundur sambil memasang mata nanar. Mungkin Makoto memang kejam, tapi baru kali ini Shinichiro betul-betul merasakan sakit hati.

Dan ... pada saat itu, Shinichiro mulai menyimpan perasaan gelap yang tak bisa ia artikan sendiri untuk Manjirou.

Makanya, di hari Makoto mati di depan ayah dan anak-anaknya, Shinichiro diam-diam menyeringai penuh kepuasan. Pupil gelapnya bergetar sangking girangnya. Tapi tentu ia harus menghormati perasaan duka yang dirasakan kakeknya. Jadi ia cuma diam sambil bertukar pandang dengan gadis cilik yang ayahnya entah pungut dari mana.

Mulai hari ini bocah itu bertekad akan membuat Keluarga Sano menjadi keluarga pebisnis paling sempurna se-Jepang sesuai dengan tuntutan Makoto. Ia tidak bermaksud menjadi anak baik penurut yang memaafkan segala perbuatan si pria hanya karena ia adalah ayahnya.

Shinichiro hanya ingin membuktikan kalau ia bisa melakukan usaha besar itu meski tanpa kekerasan yang biasa Makoto tunjukkan kepadanya. Ia ingin buktikan kepada semesta kalau ayahnya salah. Ia ingin Makoto masuk neraka paling panas dan dapat hukuman seberat-beratnya.

Perlahan netra hitam itu pun melirik ke arah adik lelakinya, Manjirou. Kali ini perasaan gelap yang sempat dirasakannya kembali hadir. Shinichiro memandang adiknya penuh dendam. Dendam yang harusnya ia lampiaskan pada ayahnya, malah terlempar ke Manjirou yang tidak tahu apa-apa.


🌸


BUK!! BUK!! BUK!!

Mikey sudah tidak bergerak. Malah, memang sedari awal ia tidak melawan begitu kakak kesayangannya seret ia masuk ke sebuah ruang gelap di bawah karpet. Ruangan itu panjang dan luas, tapi alih-alih mewah dan elegan seperti mansion, ruangan itu justru terlihat dibuat asal.

Dindingnya dibuat dari semen kasar, sehingga ujung-ujung tajamnya yang kecil sukses lukai kulit Mikey begitu Shinichiro layangkan pukulan dan tendangan. Lantainya pun hanya berupa tanah cokelat gelap yang berlumut. Jika tak hati-hati mungkin ia akan terpeleset.

Di atas tanah itulah darah Manjirou berceceran bagai hewan yang selesai dijagal. Sang pelaku penyiksaan tampaknya tak berniat untuk membersihkan bekas-bekas darah itu. Biarlah mereka merembes dan menyatu dengan tanah.

Hari pertama penyiksaan dilakukan ketika Mikey berumur 14 tahun. Awalnya hanya berupa hukum kurung sebab si Manjirou memang suka buat ulah dengan geng-gengannnya. Namun, hukuman tersebut makin lama makin bertambah parah.

Bahkan Shinichiro pernah menyayat dada adiknya dengan pisau kecil di ruang itu. Tentu Mikey tak bisa melawan karena ia telah ditanamkan berbagai pikiran yang buatnya yakin bahwa dirinya adalah beban Keluarga Sano.

Mikey bodoh. Mikey tidak berguna. Mikey pembuat onar. Mikey tak pantas lahir dari rahim mama.

Dan, untuk menghapus semua keyakinan itu datanglah Shinichiro. Lelaki berambut hitam itu bilang bahwa ia akan dengan senang hati mendisiplinkan Mikey. Makanya si Manjirou selalu hormat dan tak melawan ketika kakaknya memukulinya.

Entah itu dengan tangannya sendiri atau lewat bodyguard yang ia pesan.

Contohnya pada waktu itu, Mikey dipukuli oleh bodyguard suruhan kakaknya karena sempat menolak pertunangan dengan Senju. Untung saja Eve kira lelaki itu baru saja berantem dengan geng sebelah seperti biasa.

Jadi ... Eve akan aman. Untuk waktu itu.

"Ah, sial," gerutu Mikey sembari bersender ke dinding kasar. Kedua tangannya dirantai ke atas sehingga dia tak bisa bergerak bebas. Sudah berhari-hari dia dikurung di ruang itu setelah sebelumnya disiksa.

Tap. Tap. Tap.

Suara langkah kaki yang menuruni tangga terdengar menggema ke dalam telinga. Bayangan seseorang yang tercipta akibat pantulan cahaya lentera yang dipajang per satu meter di dinding.

"SHINICHIRO, SIALAN! AKU TAK AKAN TERTIPU LAGI!!" teriak Mikey seperti kesetanan. "DENGAR, YA! KALAU KAU APA-APAKAN HIMARI-"

Kalimat itu mendadak terhenti di sana. Sebab di depan tiang-tiang besi yang menyangga sel penjara, Ayaka Sano berdiri dengan wajah lebam dan rambut acak-acakan.

Iya, Ayaka temukan ruang di bawah karpet.

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang