Emma hadiri pertemuan informal dua keluarga itu—Sano dan Akashi, sebagai formalitas. Meskipun bukan ia yang diwariskan perusahaan cabang, tapi setidaknya gadis itu sadar harus tunjukkan etika. Namun baru saja ia hendak nimbrung dalam obrolan, kakaknya mendadak katakan kalimat yang runtuhkan suasana siang itu.
“Aku gak bisa terima pertunangan ini.”
Mikey mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat. Tampak buku-buku jarinya memutih, seolah menahan sesuatu.
Emma hanya bisa bungkam. Ia saling pandang dengan Laya di sebrang meja. Sedangkan Eve diam dengan mulut setengah menganga. Ruangan itu hening.
“M-maksudnya gi-gimana, Mikey?” tanya Senju dengan suara bergetar.
Lantas yang ditanya tatap si penanya lamat-lamat. Ia kulum bibirnya sejenak. “Aku gak bisa teruskan ini. Maafkan aku, Senju. Ada hati yang harus aku jaga.”
“A—“ Emma urung berargumen kala kakak sulungnya, bangkit dari duduk.
“Mikey, ayo ikut aku sebentar,” kata Shinichiro. Lelaki jangkung itu berjalan dahului adiknya, keluar dari ruang tamu dan naiki undakan tangga menuju lantai atas. Mikey hanya bisa pasrah, pemuda itu ikuti langkah sang kakak hingga hilang ke balik tembok.
“Eve, tadi itu ... Mikey bercanda, kan? Mikey cintanya cuma sama Senju, kan?” Senju kini beralih ke arah Eve. Gadis itu genggam tangannya seolah minta pembenaran.
Tentu saja Eve hanya bisa diam. Dia tahu betapa kakaknya itu tergila-gila dengan Himari. Mana mungkin yang tadi itu hanya sebatas bualan belaka. Tapi bukan Sano Ayaka namanya kalau tidak pandai berbual.
“Ya, pasti cuma bohong. Mikey bilang seperti itu karena dia lelah sehabis berantem tadi,” kata Eve, bohong. “Betul kan, Sanzu? Tadi geng kalian habis berantem dengan geng sebelah, kan?”
Sanzu langsung kelabakan. Pasalnya sedari tadi si lelaki cerewet tukang roasting itu hanya diam. Dia memang akan berubah kepribadian kalau ada kakaknya. Sejurus kemudian ia saling pandang dengan Laya.
“Berantem? Berantem apaan?” Sanzu bertanya dengan nada sewot. Takut kena tempeleng Bang Omi.
Eve pun mengernyit bingung. “Itu tadi Mikey babak belur kan?”
Sekali lagi Laya dan Sanzu saling tatap. Kini si tunangan yang bicara. “Oh, mungkin Mikey berantem sendirian. Dia sama sekali gak memberi tahu kami apa-apa,” kata Laya menjelaskan yang undang tatapan bingung dari Eve.
Senju pun mulai jatuhkan bulir-bulir air mata. Ia menghambur ke dalam pelukan Eve dan menangis di sana. Lalu Eve elus lembut kepala teman masa kecilnya itu sambil bisikkan kata-kata penenang. Singkirkan canggung yang ada karena sudah bertahun-tahun tak bertemu.
Sementara itu Emma hanya bisa diam di ujung sofa. Sebenarnya ada rasa kagum yang terselip untuk saudari angkatnya tersebut. Tentang bagaimana Eve kuasai hingga tenangkan suasana dengan berani. Namun, kabut hitam yang selubungi hatinya gagal sampaikan itu ke dalam logika.
Emma bangkit berdiri. Ia muak dengan Eve dan segala bakatnya.
“Emma, mau ke mana?” tanya Bang Omi.
“Aku mau mengerjakan tugas, Kak,” kata Emma.
“Oh, iya. Kamu kan, sudah kuliah juga ya,” timpal Bang Omi sambil hisap rokoknya. Ia coba maklumi tingkah Mikey yang kekanakan.
“Kalau tidak salah, Eve sedang sibuk jadi asisten dosen sekaligus mengerjakan skripsi, kan?”
Eve yang tiba-tiba disebut langsung tersentak. Maka obrolan pun berlanjut, seolah tak ada apapun yang terjadi. Mereka lupakan masalah pertunangan begitu saja.
Terlebih presensi Emma yang masih berdiri di sisi sofa. Mereka abai dan tenggelam dalam konversasi.
Jengkel, gadis berambut pirang itu telusuri anak tangga sampai ke lantai dua. Sesekali ia pun tak sengaja tabrak bahu para maid maupun butler yang berlalu-lalang. Eve, dia itu cuma serangga. Anak miskin beruntung yang dapatkan kasih dari Kakek Sano. Itu menurut Emma.
Kemudian, ia jejaki kamar saudarinya, menyalakan laptop dan telusuri ratusan folder di dalamnya. Emma menggerutu. Rupanya isi file laptop milik Eve sangat rumit, sama seperti otak briliannya yang Emma gagal pahami.
Setelah lima belas menit mencari, ia pun temukan folder bertuliskan skripsi. Emma sudah gelap mata. Ia muak dengan Eve yang seolah rebut semua keberuntungan di semesta. Maka ia langsung tekan menu “delete” dengan perasaan puas.
Dengan begini, rantai keberuntungan Eve akan terputus.
Emma keluar kamar dengan senyum miring di wajah. Tak lupa ia matikan laptop dan taruh di tempatnya semula. Memangnya cuma Emma yang cacat? Memangnya cuma Emma yang tidak sempurna?
Enak saja. Semesta mau bermain-main sepertinya. Tak lama lagi, Eve pun akan terjatuh ke lubang yang sama dengannya.
“Emma, kamu habis ngapain?” Shinichiro muncul di belakang gadis itu, ciptakan sensasi merinding.
Gadis itu tidak mau mendapatkan penghakiman atas apa yang telah diperbuatnya. Toh, lagipula semesta sudah pilih kasih. Bagi Emma, di dunia ini hanya dirinya lah yang menderita.
“Aku tadi meminjam laptop Eve sebentar,” jawab Emma yang tak lantas berbalik, “aku mau mengerjakan tugas.”
“Oh, ya sudah.” Shinichiro bersuara lirih, lalu berjalan menjauh. Ciptakan bunyi langkah kaki yang menggema di sepanjang lorong.
Kemudian si gadis berambut pirang berbalik, dan temukan bercak darah di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda | Tokyo Revengers
Fanfiction//CW! suicide thought, harsh word, 15+ Tacenda adalah hal-hal yang lebih baik dibiarkan tidak terungkap. Ini tentang Keluarga Sano yang hidup bergelimang harta dan penuh kepalsuan. Saling membohongi satu sama lain demi ciptakan alur cerita yang dise...