BAB XXXIII: THE WOLF CAGE

30 9 2
                                    

Jalanan siang itu rupanya tidak terlalu padat sehingga memungkinkan mobil yang dikendarai Mikey sampai lebih cepat di halaman parkir rumah sakit. Lelaki bermarga Sano itu pun turun dari mobil sambil berusaha mengenyahkan pikiran-pikirannya yang kusut.

“Lepaskan!” pekik seseorang, “kalau tidak, aku akan teriak!”

Itu suara Himari. Sontak saja Mikey langsung celingukan, berusaha mencari sumber suara. Dan, di sinilah ia sekarang. Melihat sekelompok orang berpakaian hitam tengah mengerubungi Himari. Tubuh mereka yang besar membuat kelima orang tersebut jadi terlihat seperti patung batu.

Mikey pun dengan segenap tenaga yang ia punya langsung berlari menerjang salah satu dari mereka. Tak butuh waktu lama, suara berdebam keras pun terdengar.

Himari yang hampir menghirup obat bius pun sukses lolos dari jeratan. Gadis itu langsung berlari ke belakang si pujaan hati dengan raut wajah ketakutan.

“Himari, tetap berada di belakangku,” perintah Mikey tanpa sedikit pun melonggarkan tatapannya ke orang-orang di depan.

Selanjutnya, si lelaki tak banyak bicara lagi. Ia langsung menerjang keempat musuh yang tersisa. Manjirou meringis di dalam hati. Ia tahu betul suruhan siapa orang-orang ini.

Orang-orang ini adalah orang yang sama, dengan orang-orang berjas yang menghajarnya tempo lalu. Di hari ketika ia dan Eve berniat menjenguk Himari yang sedang sakit sehabis pengumuman pertunangan Mikey.

Untung saja Mikey pandai berbohong. Ia sukses kelabui saudarinya itu bahwa Mikey baru saja menghajar beberapa orang yang sedang usik ketenangan Bonten. Padahal, orang-orang itu bukanlah berasal dari geng manapun.

BUAG! BUAG! BUAG!

Mikey memukul, menendang lalu menghindar. Kadang ia pun terkena pukulan, yang sebabkan wajahnya koleksi memar kebiruan. Dulu ia tak melawan dan biarkan diri kena hajar. Namun kali ini, ia putuskan untuk melawan balik.

Satu orang terakhir pun tumbang dengan gigi copot dan hidung berdarah. Mikey mengusap sudut bibir lalu meludah ke samping di tengah napas yang memburu.

Kemudian, Himari hampiri lelaki itu dengan tatapan khawatir. Ia tahu kalau setelah ini, si pemuda akan salahkan Himari akibat tak bisa menjaga diri dengan baik. “Mikey, m-maafkan aku....”

Lelaki itu menggeleng. “Tidak, ini bukan salahmu.”
Himari mematung. Di detik itu juga ia menyadari kalau kekasihnya telah banyak berubah. Memang sih, selama dua minggu ini si Sano Manjirou jadi lebih jarang mencari ribut dengan geng di kota. Ia juga jadi jarang marah-marah dan bersikap kekanakan.

Yah, gadis itu jadi khawatir. Sebenarnya Mikey sudah jadi tambah dewasa atau ... dia sedang banyak beban pikiran?

Mikey tiba-tiba genggam erat tangan kekasihnya sambil tersenyum. “Ayo, aku antar kau pulang. Pasti kaget banget ya?”

“I-iya sih. Aku kaget banget,” jawab Himari meragu. Mikey yang biasanya pasti akan bersikap egois, memaksa Himari untuk terus bersamanya tanpa peduli kondisi hati gadis tersebut.

Namun, Himari tak mau ambil pusing untuk sekarang. Padahal tanpa si gadis tahu, Mikey saat ini sudah berniat untuk masuk ke kandang sang serigala dan biarkan dirinya dimangsa.


🌼


Di atas hamparan karpet beledu mahal berwarna merah itu, kaki Emma melangkah. Si gadis berdarah Sano mengetuk permukaan pintu kamar kakaknya. Ia berkali-kali menenggak saliva penuh rasa gugup.

Setelah tiga kali mengetuk, pintu jati cokelat itu pun terbuka. Memperlihatkan sosok jangkung Shinichiro yang tersenyum lembut ke arah adiknya. “Ada apa, Emma?”

“Em, ini, Kak. Aku ingin meminta izin Kakak untuk terbang ke Warsawa minggu depan.” Tangan Emma terulur, menyerahkan secarik kertas ke hadapan si Sulung Sano.

Lantas kertas itu pun berpindah tangan. Shinichiro mengamati tiap bait tulisan tersebut lekat-lekat. Lelaki itu tahu betul apa maksud adiknya untuk terbang ke sana. Sejak dirinya masuk ke dalam Kerajaan Sano, Emma telah jatuh cinta dengan piano sejak pertama kali gadis itu diperkenalkan dengan si alat musik.

Emma adalah berlian. Tentu perlu diasah dengan baik. Oleh karena itu, Shinichiro pun mengangguk. “Sudah minta izin dari Kakek?”

“Telepon dan pesanku tidak dibalas. Pasti dia sibuk dengan urusan bisnis di Inggris sih,” jawab Emma jujur.

“Ya sudah. Pergilah, Emma. Kakak akan bantu hubungi Kakek. Kalau soal penerbangannya, itu biar Kakak yang urus,” ujar Shinichiro sembari layangkan usapan lembut di pucuk kepala Emma.

Senyum pun terbit di wajah si gadis bersurai pirang. Ia tidak menyangka kalau usahanya untuk pergi dari neraka bernama mansion akan jadi semudah ini.

------

Author's Note!

Maaf ya kalau chapter kali ini terkesan garing. Tapi kalau kamu teliti, ada hint besar di dalam judul dan alur cerita di bab ini Wkwkwkwk [tertawa seperti orgil]

Bonus:

Bonus:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang