Emma duduk di atas kursi penumpang berlapis kain lembut dengan warna biru langit. Gadis itu menghela napas lega, mengeluarkan segala beban di dalam dada yang bersarang sejak ia tahu hidup keluarganya tak baik-baik saja.
Lantas, kepalanya bersender pada jendela sedangkan benaknya berkelana jauh. Kejadian demi kejadian yang menimpa berseliweran hilir mudik bagai sebuah kaset rusak. Sebenarnya ia tak ingin memikirkannya.
Namun, apa boleh buat. Pemikiran itu terus saja muncul meski Emma tak meminta. Emma tak bisa lupa, dan tak akan pernah bisa lupa dengan hari di mana ketika ia menemukan bercak darah di lorong mansion.
Tubuh Emma pun bergidik ngeri membayangkan itu. Kepala si gadis bermarga Sano mulai berdenyut sakit, tapi sayang ingatan-ingatan tentang mansion terus mengganggu. Seolah seseorang tengah berusaha menjejalkan memori sialan tersebut ke dalam kepalanya.
Pada hari itu, Emma yang menemukan cairan merah kental di atas lantai kayu jati tergugah rasa penasarannya. Gadis itu tak lantas percaya kalau cairan yang jatuh dari kepalan tangan Shinichiro adalah darah.
Namun, begitu ujung telunjuknya menyentuh si cairan merah hingga aromanya tercium masuk ke dalam hidung ... barulah Emma yakin.
Cairan itu benar-benar darah.
"Hoeek!" Emma mual. Seketika kakinya mendadak lemas, bahkan untuk berdiri saja ia harus bersender ke dinding di belakang. Ia tak kuasa menahan rasa jijik dan pusing yang mendera.
Tapi tak habis sampai di situ rasa penasarannya. Si gadis berambut pirang ikal pun langsung celingukan. Ia memastikan tak ada siapa-siapa di sekitar lalu putuskan niat untuk masuk ke dalam kamar kakaknya.
Meski tangan gemetar, tapi nyali tidak goyah. Benak gadis itu seratus persen coba halau berbagai macam pikiran buruk tentang si sulung. Selama ini, senyum dan kasih sayang Shinichiro lah yang jadi tonggak berdirinya Emma.
Selama ini, Shinichiro lah yang menyalurkan afeksi pada Emma. Apakah kakaknya itu baru saja terluka? Emma khawatir sekali.
Kriet. Kenop berhasil terputar, membuat daun pintu yang selama ini menjadi penghalang pandangan terbuka. Emma berjalan masuk ke dalam lalu menutup kembali pintu di belakang sehening mungkin.
Ia pun mulai mematung di sana. Normal. Di dalam ruangan itu hanya ada meja kerja, lemari, kasur juga beberapa rak buku bisnis yang Emma tak mau baca koleksinya.
Lantas kaki jenjang gadis itu bergerak sebab masih dikuasai penasaran. Matanya mengedar ke seluruh ruang. Rupanya kakaknya ini adalah tipe yang suka bersih untuk seukuran anak laki-laki.
"Huh, gak ada yang menarik." Emma yang bosan dan setengah kesal langsung menghentakkan kakinya ke atas karpet. Alhasil, muncul suara kayu jati yang terasa janggal di bawahnya.
Emma memiringkan kepala, bingung. Lantas ia lakukan hentakan itu sekali lagi.
BUK!
Lagi.
BUK!
Lagi.
BUK!
Cukup. Emma sudah lama tinggal di mansion yang lantainya didominasi kayu jati tersebut. Tapi, lantai kayu jati yang melapisi kamar kakaknya terasa agak lain. Iya, maksudnya berbeda.
"Kayu jati tak akan mengeluarkan suara berdebum seperti itu," gumam Emma sambil menggaruk kepala, "seolah ... ada sebuah lubang atau pintu rahasia di balik karpet ini."
Bahu gadis itu pun terangkat. Kemudian ia merunduk dan menyibak karpet berbulu di bawah kaki hingga netra emasnya menemukan sebuah pintu geser segi empat yang menyatu dengan lantai. Emma lantas menelan saliva lalu beranikan diri masuk ke ruangan di balik pintu.
🌼
"Nona." Terdengar suara memanggil. "Halo, Nona?"
"Ah!" Emma tiba-tiba sadar dari lamunannya. Kini di lorong pesawat, berdiri seorang pramugari yang tengah mendorong sebuah troli berisi berbagai kudapan manis.
"Mau kudapan?" tawar si pramugari ramah, meski nyatanya dari tadi Emma terus mengabaikan wanita itu.
"Mungkin satu saja," jawab Emma lalu mulai memilih sebuah cokelat batangan berbungkus kertas silver. Setelah si pramugari pergi, barulah angan Emma kembali melayang.
Apa semua akan baik-baik saja? Apa setelah ini tak akan ada lagi yang mati? Lalu misal lingkaran setan ini telah berhenti, apakah ia dan Mikey masih bisa hidup normal seolah tak pernah ada yang terjadi?
"Mikey ... dia jadinya bagaimana ya?" Bibir Emma melengkung ke bawah. Ingatannya tiba-tiba memutar memori pada saat si pemuda berambut pirang tampil menyedihkan di depan matanya.
Babak belur, dan tampak hampir mati.
Satu embusan napas panjang Emma keluarkan. Tak apa. Ia yakin semua akan baik-baik saja. Lagipula ia sudah menaruh pesan rahasia yang hanya dia dan Eve tahu cara membacanya. Emma menaruh pesan itu di dalam laci kamar saudarinya.
Semoga pesan itu ditemukan.
Emma pun pada akhirnya menyerah. Ia sungguh mengantuk. Mungkin saja raga dan otaknya lelah paska diperintah untuk bertarung dengan keadaan.
Lantas, begitu netra cantik itu terpejam, pesawat pun meledak.
---------
Author's Note:
Hehe... 🤓
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda | Tokyo Revengers
Fanfiction//CW! suicide thought, harsh word, 15+ Tacenda adalah hal-hal yang lebih baik dibiarkan tidak terungkap. Ini tentang Keluarga Sano yang hidup bergelimang harta dan penuh kepalsuan. Saling membohongi satu sama lain demi ciptakan alur cerita yang dise...