BAB LV: THE WOLF AND THE MOUSE

61 8 2
                                    

Pintu kembar raksasa yang selama ini menjadi pembatas antara Himari dan bagian dalam mansion pun terbuka. Netra merah muda gadis itu memandang ke seluruh ruang dan mendapati Shinichiro berdiri tegak dengan balutan jas berwarna hitam. Lelaki itu tersenyum teduh, buat Himari ikut tersenyum juga.

"Selamat datang, Himari-chan," sapa si lelaki.

"Ah, terima kasih sudah mengundangku, Kak Shin," balas Himari kikuk. Ia pun segera membalas uluran tangan si sulung Sano untuk menuntunnya masuk ke dalam..

Sebenarnya hati gadis itu sedang berkabung sejak pujaan hatinya dinyatakan hilang. Dia tak ada niat sedikit pun untuk menginjakkan kaki di dalam mansion sebab, gedung besar ini bawa memori-memori tentang Mikey.

Bagaimana mereka pertama kali bertemu, bagaimana Himari pada akhirnya jatuh cinta, dan bagaimana akhirnya mereka berdua mengikat janji untuk terus bersama di dalam suka maupun duka. Namun, semua itu mungkin hanya tinggal kenangan.

Himari sudah bantu pencarian polisi ke sana-sini, tapi ia tak juga bisa menemukan sosok Manjirou yang periang di mana pun. Jadi tak menutup kemungkinan kalau pemuda itu telah meregang nyawa di suatu tempat.

Dan Himari, benar-benar tak bisa menyingkirkan pemikiran itu dari dalam benak. Tangannya yang terasa dingin tiba-tiba disadari oleh Shinichiro. Lantas pemuda itu mengangkat sebelah alisnya heran.

"Tangan kamu dingin sekali. Apa kamu sakit, Himari?"

Satu gelengan kepala gadis itu tunjukkan, tanda bahwa dugaan si pria itu salah. Yah, meskipun pada nyatanya belakangan ini Himari derita insomnia karena terus kepikiran Mikey. "Enggak kok, Kak. Gak usah khawatir, aku baik-baik saja."

Kemudian Himari pun mengambil duduk di salah satu kursi di meja makan khusus tamu. Memang pada hari itu Shinichiro sengaja undang Himari untuk makan-makan sebagai ucapan terima kasih karena ia telah banyak membantu proses pencarian Manjirou. Itu yang si lelaki bilang di telepon.

Tidak seperti biasa, di mana menu makanan akan dihidangkan ke atas meja begitu tamu duduk, hari ini meja makan berbentuk persegi panjang itu telah dipenuhi makanan-makanan mewah. Himari tidak bisa bohong kalau cacing-cacing di perutnya tengah meronta.

Jadi, begitu dirinya dipersilakan makan oleh Shinichiro yang duduk di kursi sebrang, gadis itu langsung menyantap makanan tanpa ragu. Ruangan besar yang sepi itu kini hanya dipenuhi oleh suara garpu dan sendok yang saling bentur dengan pemukaan keramik piring.

Sunyi. Bahkan terlalu senyap bagi Himari Yua.

Ke mana perginya semua pelayan hari ini?

"Kak Shin," panggil Himari begitu dirinya selesai menenggak jus jeruk di meja. Buat Shinichiro mengangkat pandangan dan mengalihkan fokus.

"Ada apa?"

"Hari ini kayaknya mansion sepi banget ya, gak kayak biasanya."

Shinichiro pun membentuk huruf O di bibirnya lalu bersuara lagi, "Hari ini aku memang sengaja meliburkan sebagian besar pekerja. Mereka sudah bekerja keras, tentunya butuh hiburan, kan?"

Himari pun mengangguk paham dan kembali bertanya, "Eum, kalau Eve ada di mana, Kak? Aku ingin ngomong sama-"

BRAK.

Tiba-tiba, si pemuda berambut hitam menaruh gelas kaca ke atas permukaan meja dengan kasar. Tentu saja kelakuannya itu ciptakan suara keras yang buat jantung Himari melompat kaget. Kalau boleh jujur, gadis itu benar-benar syok.

Himari sama sekali tak pernah berpikir kalau Shinichiro yang biasanya tersenyum lembut itu bisa melakukan gerakan mendadak yang mengikis nyali. Bahkan, gadis itu sekarang tengah mencicit di dalam hati. Berkali-kali menyalahkan bibirnya yang terus lontarkan pertanyaan random hingga buat si sulung marah.

"M-maaf...."

"Enggak. Kamu gak salah apa-apa, Himari," potong Shinichiro sambil mengelap pisau kecil yang diambilnya dari keranjang buah dengan sapu tangan. "Gak ada yang perlu kamu pikirkan."

Netra merah muda milik Himari pun tanpa sadar perhatikan gerakan tangan si lawan bicara di sebrang meja dengan seksama. Entah mengapa, cara Shinichiro mengelap pisau tersebut membuat bulu tengkuk gadis itu menegak.

Kemudian, atmosfer aneh itu bertambah begitu Shinichiro melayangkan tatapan dalam ke depan. Seolah, raga jangkung itu bukan lagi jadi miliknya.

"Tacenda, itu adalah istilah yang aku sukai," kata Shinichiro di tengah-tengah acara mengelapnya, "sejak kecil aku selalu diajari seperti itu. Menerapkan Tacenda, karena dipaksa oleh Ayah."

"T-T-Tacenda itu apa?" tanya Himari, heran. Dia masih tidak menangkap apa yang akan dibicarakan si tuan rumah.

"Bukankah aku sudah bilang kalau Tacenda adalah sebuah istilah?" tekan lelaki itu, kali ini sambil menatap tajam ke arah Himari. Gerakannya pun terhenti sesaat. Namun, sedetik kemudian, ia kembali ukir senyum.

Bukannya tenang, Himari malah merinding. Tapi tubuhnya tak bisa bergerak dari kursi. Termasuk ketika Shinichiro berjalan mendekat lalu cengkram rahang gadis itu kuat-kuat. Lalu sebelah tangannya yang menggenggam pisau ia dekatkan ke pipi mulus Himari.

"Biar aku beritahu. Tacenda adalah sebuah kosa kata di dalam bahasa Inggris yang berarti hal-hal yang lebih baik tak diungkap." Shinichiro tersenyum lembut lalu lanjut berkata sambil goreskan ujung pisau di pipi Himari. "Menurutmu apa yang sebaiknya tak diungkap, Himari-chan?"

"K-K-Kak ... Shin...." Himari kini sukses membeku di tempat. Tangan dan kakinya makin sulit digerakkan bagai terjebak dalam sebuah balok es raksasa.

Perlahan, air matanya pun mengalir turun. Basahi permukaan rok yang Himari kenakan. Namun Shinichiro sama sekali tak terpengaruh. Ia malah memasang senyum miring setelahnya.

"Anak bodoh kayak kamu, memang seharusnya sejak awal gak ada di sini. Bahkan kamu gak bisa jawab pertanyaanku dan malah nangis kayak anak kecil," sindir Shinichiro, "bener-bener gak pantes buat Mikey."

BUAK!

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang