BAB XXV: THE SNOW WHITE

54 11 9
                                    

Chifuyu berjalan terlunta-lunta di pinggir jalan dengan wajah memar dan darah kering mengucur dari hidung dan pelipis. Entah sudah sejak kapan ia menghabiskan waktunya di jalanan hingga bocah-bocah sekitar situ mengatainya gembel atau sekadar melirik kasihan.

Orang-orang pasti berpikir kalau Chifuyu habis dikeroyok masa atau dibegal. Namun, nyatanya tak satu pun dari luka memar bekas kena hajar itu terasa sakit. Sebab, bagi Chifuyu Matsuno, luka di hatinya jauh lebih terasa sakit.

Kini kaki jenjangnya yang gemetaran sudah tak kuasa angkat beban tubuhnya lagi. Lelaki itu jatuh bersimpuh di sudut gang pertokoan yang gelap lalu ia mulai menangis sesenggukan. Bibirnya tak henti mengigil, membisikkan nama Sano Ayaka puluhan, atau mungkin bahkan ratusan kali.

Memang, sejatuh cinta itu Chifuyu dibuatnya. Meski Chifuyu tidak bisa meninggalkan keseluruhan sifat buruknya, tapi jika itu untuk Ayaka, maka Chifuyu seperti seolah lahir kembali. Dia seakan jadi orang baru.

Orang baru yang lahir dan dibesarkan hanya untuk mencintai Ayaka Sano seorang.


☀️


Himari kini duduk di depan sebuah gazebo yang menghadap danau. Ia diberi pakaian dan perhiasan bagus serta parfum berorama wangi untuk lengkapi penampilannya.

Para maid di sana lah yang mendandani gadis itu. Tentu saja mereka melakukannya di bawah arahan Sano Manjirou. Pemuda itu bilang, ia ingin berduaan dengan Himari. Merayakan pembatalan pertunangan yang selama ini halangi hubungan mereka.

Himari gugup. Sebenarnya ia juga tidak enak, sebab beberapa saat lalu Senju dan dua kakaknya masih ada di mansion. Begitu Mikey meminta kepala maid untuk mendandani Himari dengan barang-barang mewah, tentu Senju langsung layangkan tatapan permusuhan.

“Senju.” Pada saat itu Eve berucap dengan nada suara dalam yang membuat Himari bergidik. “Pulanglah, kami tidak menginginkanmu lagi.”

Mikey langsung tatap saudarinya dengan mata berbinar. Padahal terlepas dari hubungan pertunangan Mikey-Senju, Eve marah karena gadis bermarga Akashi itu telah rebut kekasih hatinya meski itu tidak sengaja.

“Oei, kenapa melamun?” Mikey berdiri di samping Himari sambil pasang senyuman cerah.

Senyuman teduh yang mirip seperti kakaknya, tapi bagi Himari, senyuman yang satu ini sangat manis. Melebihi rasa manis dari gula-gula dan madu manapun.

“Eh, enggak, kok,” balas Himari gugup. Ia menyingkirkan anak rambutnya ke belakang telinga. Dan, itu terlihat sungguh manis di mata Mikey.

Kemudian, pemuda bersurai pirang itu duduk di depan Himari. Kini mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja berlapis kain lembut yang dinaungi oleh berbagai kue, daging dan buah.

Mikey sudah melarang orang-orang datang ke gazebo halaman belakang. Pokoknya di tempat itu hanya boleh ada dirinya dan Himari.

“Kamu cantik,” kata si pemuda, ia ulurkan jemarinya demi sentuh wajah mungil sang gadis pujaan.

Himari tersipu. Kulitnya yang putih mulai berubah warna menjadi kemerahan. Yah, meski Himari merasa tidak enak karena Senju, tapi dia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau momen-momen romantis dengan Mikey membuatnya seolah terbang ke langit ke tujuh.

Hati tidak bisa dibohongi.

“M-Mikey, em, apa gak apa-apa kita kayak gini sementara Eve dan Chifuyu ... em, terus Senju....” Himari malah menceracau tidak jelas. Rasa syukur di dalam dirinya minta divalidasi. Bahkan hanya untuk sekadar bersyukur pun Himari takut.

Gadis itu berharap semesta akan bilang, iya, tidak apa-apa. Kamu berhak bahagia meski caranya kayak gini, Himari.

Kedua alis Mikey turun. Ia tidak suka ada pembicaraan mengenai orang lain di saat dirinya hanya ingin berduaan dengan Himari. “Seratus persen aku gak akan terima Senju. Juga ... soal Chifuyu, itu biar Eve yang memutuskannya sendiri.”

“Bukannya tadi kamu menghajar Chifuyu?” cicit Himari.

Mikey terkekeh. “Dia pantes dapetin itu, kan? Enak aja, buat adikku nangis. Yang boleh buat Eve nangis itu cuma aku, hahaha.”

“Kalau aku gimana?” tanya Himari.

Senyum teduh terbit di bibir Manjirou, hentikan tawanya yang terdengar usil barusan. “Aku gak akan buat kamu menangis, Himari.”

“Aku bakal, bahagiain kamu selamanya.”

Himari mendadak tersentak, ia jadi bersemangat setelah yakin kisah cintanya akan lancar setelah ini. “Kalau begitu! Aku akan membuat Mikey bahagia selamanya juga!”

“Saat ini, meski wajahnya Mikey babak belur, Mikey tetap kelihatan ganteng di mataku! Eh—“ Himari buru-buru tutupi mulutnya.

Astaga, alih-alih mengatakan sesuatu yang romantis, gadis itu malah keluarkan apa yang di dalam pikirannya tanpa filter.

Namun Mikey tidak tersinggung, pemuda itu justru tertawa renyah. Dia jadi ingat masa-masa sebelum dia mengenal Himari. “Padahal, dulu kamu bilang aku jelek kayak preman terminal.”

“Y-ya habisnya, kamu suka berantem gak tahu tempat. Terus ... terus ... suka bilang ke teman-teman di sekolah kalau kamu ingin jadi raja preman!” bela Himari bersungut-sungut.

“Betul, sih,” ucap Manjirou menjeda, “tapi kalau sekarang ... aku cuma ingin jadi rajanya Himari.”

Wajah Himari sukses berubah merah menyala. Ia malu setengah mati. Ditambah jantungnya yang berdebar makin kencang, buat sesak di dada menjadi-jadi.

DEG! DEG! DEG! DEG!

Untuk menetralisir efek dari debaran jantungnya, Himari langsung ambil sebuah apel yang sudah tersaji di dalam mangkuk bagiannya. Iya, berbagai makanan yang ada di atas meja itu telah diatur sedemikian rupa agar Mikey dan Himari tidak rebutan makanan.

Para maid tentu saja sudah tahu tabiat tuan mudanya yang sangat perhitungan soal makanan, terlebih kudapan manis.

“Aku seganteng itu, ya?” rayu Mikey sambil menaik turunkan alisnya.

“Ah, berisik! Aku mau makan!” balas Himari lalu segera menguyah apel yang ada di genggaman dan menelannya hingga ke dasar kerongkongan.

Mikey pun ikut mengambil apel dari mangkuk bagiannya sendiri dan menguyahnya. Ia memakan buah segar itu sambil menopang dagu, mengamati wajah kekasihnya yang masih memerah.

Imut, pikirnya.

Sedetik kemudian, awan dan petir seolah selimuti diri Mikey. Dunia lelaki itu roboh bersamaan dengan jatuhnya cairan merah kental dari bibir Himari. Kedua insan itu membeku sesaat, saling pandang, sebelum pada akhirnya tubuh Himari ambruk dan kehilangan kesadaran.


“HIMARI!!”

Tentunya, ada bayaran yang harus mereka bayar karena telah menari di atas rasa sakitnya orang lain, itu menurut semesta.

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang