BAB VIII: THE KING

84 16 1
                                    

Shinichiro tapaki anak tangga satu per satu untuk sampai ke ruang tamu. Lelaki itu perhatikan presensi manusia yang ada di sana, rupanya masih lengkap, minus kehadiran Emma dan Mikey. Kemudian ia pun berdeham dan sandarkan bahu di ambang pintu.

“Kak?” cicit Eve. Ia pasang tatapan heran ke arah Shinichiro. Bisa-bisanya pria itu kembali tanpa membawa Mikey.

Semoga saja bukan pertanda buruk. Ya, semoga saja kalau mengingat tabiat Mikey yang suka seenaknya sendiri. Gadis itu sendiri pun tak kuasa kalau harus tukar posisi dengan Shinichiro.

Shinichiro lantas ukir senyum di wajahnya yang teduh. “Semuanya aman kok. Mikey cuma capek,” katanya.

Bang Omi pun langsung melongo tidak percaya. Sebenarnya dia agak ragu kalau Mikey akan turuti perjanjian ini, tapi realita rupanya tak sesuai jalan pikir pria itu. Kemudian ia pun tertawa. “Hahaha, sudah kuduga. Dia cuma cari perhatian. Dasar anak muda.”

Senju pun langsung bangkit dari sandarannya—bahu Eve—dan ikut ukirkan senyum. “Itu berarti Mikey memang cuma cinta sama Senju, kan? Iya, kan?” katanya kelewat girang.

Menanggapi pertanyaan itu, si sulung Sano hanya mengangguk. Dan, tentu saja pemandangan itu undang kekhawatiran di benak Eve.

Kok bisa? Padahal jelas-jelas tadi Mikey kelihatan serius, batinnya heran. Sebenarnya kakak sulungnya itu punya trik spesial apa sehingga sukses buat Mikey selalu patuh?

***

Himari duduk di sebuah kafe outdoor dekat kampus. Ia sesap aroma kopi yang dibelikan Eve untuknya beberapa saat lalu. Siapa sangka gadis berambut hijau itu masuk kampus keesokan harinya. Hancurkan niat Eve dan Mikey untuk kunjungi Himari meski nyatanya hari ini si lelaki berambut pirang itu membolos.

“Eve, terima kasih ya,” kata Himari, “kamu masih peduli meskipun aku udah gak punya hubungan apa-apa lagi dengan Mikey.”

Ayaka Sano yang sedari tadi sibuk mengunyah nasi goreng pun menoleh. “Hush! Jangan berpikir seperti itu. Dari awal kita kan memang berteman.”

Si gadis berambut hijau gelap tenggak salivanya. Memang dia selalu terbiasa seperti ini. Terjebak dalam perasaan tidak enak yang ia ciptakan sendiri. Himari pikir, Eve maupun Mikey adalah entitas yang sama-sama tak boleh ia sentuh seenak jidat.

Bukannya ia takut apalagi tak nyaman. Kalau boleh jujur ia selalu ingin ada di dekat Keluarga Sano, kecuali Izana yang baginya menakutkan.

“Jangan terlalu banyak mikir, Himari. Kamu temanku,” ujar Eve yang seolah bisa tangkap perasaan Himari.

“Um, Eve, tapi ... kamu ini kan pewaris perusahaan. Perusahaan Sano, loh, perusahaan terbesar di Jepang yang langganan masuk Majalah Forbes. Dengan kata lain, kamu yang di masa depan akan jadi orang penting.” Himari mulai utarakan isi benaknya. “Aku ini, baik di masa sekarang atau masa depan ... tidak akan jadi siapa-siapa.”

Eve tertegun. Hatinya tertohok mendengar tuturan temannya.

“Aku gak pantas ada di dekat kamu kayak gini,” lanjut Himari.

Eve pun mengembuskan napas lelah. Seketika ia hilang minat dengan nasi goreng yang ada di piring. Entah kenapa, semua orang yang ada di sekitar gadis itu selalu permasalahkan status sosial.

“Kamu mirip sama Kak Izana,” celetuk Eve yang undang sentakan kaget dari Himari. “Entah itu kamu atau Kak Izana, kalian selalu permasalahkan status sosial.”

“Memangnya apa salahnya kalau jadi ‘diri sendiri’?”

Merasa diceramahi, Himari hanya bisa tundukkan kepala dalam diam. Mungkin Eve ada benarnya. Sebelumnya gadis berambut hijau gelap itu tak pernah sekalipun pikirkan hal baik tentang dirinya sendiri.

Himari tak pernah berpikir bahwa semesta menginginkan kehadirannya. Dan kalaupun memang semesta tak ingin, maka Himari tak berniat perjuangkan eksistensinya.

“Himari!” Sebuah tangan kokoh tiba-tiba genggam telapak Himari. Tentu saja kedua penghuni meja itu langsung layangkan tatapan kaget. Mikey duduk di sebrang mereka, dengan wajah yang penuh perban dan plester.

“Aku gak mau putus, Himari! Aku cinta kamu sampai selamanya.” Mikey pandangi gadis yang ia puja dengan netra berkaca-kaca. Lantas ia raih sendok di tangan Eve dan suapkan nasi goreng ke mulutnya.

Dasar, sempat-sempatnya ia lakukan itu.
“Mikey?” cicit Himari.

“Himari, ayo pacaran lagi denganku. Aku gak peduli dengan Senju atau hal-hal bodoh lainnya tentang pertunangan. Selama aku bisa bareng sama kamu, aku bakal lakukan apapun,” kata Mikey sungguh-sungguh. “Aku bakal pikirin jalan agar kita tetap bersama, oke?”

“Tapi Mikey, nanti Senju bagaimana?” tanya Himari.

Mikey embuskan napas kasar. “Aku gak terima penolakan. Suka dan duka, kamu harus jalanin semua bareng aku.”

Himari pun mau tak mau mengangguk setuju. Tak ada yang bisa ia bantah kala Mikey telah berkehendak. Mikey adalah raja dan Himari biasa anggap semua permintaan lelaki itu hal wajar.

Sementara itu Eve melotot kaget. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikir dua manusia itu. Padahal baru kemarin Shinichiro bilang bahwa Mikey setuju dengan pertunangannya. Bagaimana nasibnya ke depan, entahlah, gadis itu terlalu lelah memikirkannya.

“Mikey!”

Ketiganya menoleh. Tak jauh dari kursi mereka, ada Izana yang berdiri dengan tatapan tajam. Itu pertanda buruk.

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang