BAB XVIII: THE BRAVE GIRL

50 11 8
                                    

"Skripsiku hilang!" pekik Eve begitu selesai menelusuri ratusan folder di laptop pribadinya yang bagai labirin. "Shit! Kok bisa sih?"

Sore itu Mei dan Himari berkunjung ke mansion Keluarga Sano. Niat awal mereka untuk mengerjakan tugas sekaligus menemani Eve yang mau melanjutkan skripsinya. Namun, apa-apaan ini?

Sebagai orang luar yang diberi kesempatan emas untuk masuk ke dalam Keluarga Sano, Eve merasa bertanggungjawab atas citranya. Gadis itu harus melakukan segala hal agar ia bisa sejajar dengan saudara-saudara tirinya. Tentu hal ini tidak mudah.

Mikey, Emma, Shinichiro ... bagi seorang Ayaka, mereka adalah sosok-sosok yang sulit untuk disejajari. Entah itu dari segi kepintaran atau bakat. Makanya selama ini Eve selalu berjuang keras dan tanpa sadar malah melampaui saudara-saudaranya.

Eve tidak tahu harus bagaimana lagi jika skripsinya benar-benar tidak bisa ditemukan. Dia tidak sanggup kalau harus memandang wajah-wajah saudaranya. "Bagaimana ini...?"

Dahi Mei berkerut, ia pun menggeser laptop Eve tanpa seizin si empunya dan mulai ikut mencari. Sementara itu Himari yang belum akrab dengan si gadis bermarga Nakamura hanya bisa terdiam canggung sambil mengintip dari balik layar laptop.

"Beneran gak ada," gumam Mei dengan nada suara panik. "Eve, kamu udah ngerjain sampai bab berapa?"

Eve mendadak gemetaran. Ada peluh-peluh dingin yang bercucuran di pelipis. Pupil gadis itu pun mengecil, seiring dengan ratusan skenario yang masuk ke dalam otaknya. Ayaka Sano itu perfeksionis, ia tidak akan mau menolerir kesalahan seperti ini.

"Aku lagi proses nulis bagian isi." Eve mulai rasakan seluruh badannya membeku. "Aku ... aku gak bisa. Aku gak mau nulis ulang semuanya dari awal."

Himari yang sedari tadi diam seketika merasa bersalah. Gadis berambut hijau gelap itu merutuki dirinya sendiri. Kenapa Himari begitu tidak berguna di saat sahabatnya menderita begini?

"Ada yang ngerti IT?" cicit Himari pelan. Ia sangat gugup. Bahkan dia seratus persen yakin tak akan ada yang dengar suaranya. Namun, Mei langsung menoleh dengan kelopak netra yang melebar.

"Koko!" cetusnya, "Dia memang anak jurusan bisnis, tapi setidaknya Koko lumayan mengerti masalah-masalah yang seperti ini."

"Serius? Mei, aku boleh minta bantuannya Koko?" tanya Eve dengan raut wajah memohon. Kornea gadis itu memerah, menahan tangis.

Mei pun mengangguk lalu merogoh ponsel dari dalam tas selempang kulit hewan berlogo Gucci. Gadis itu berusaha menelepon tunangannya. Semoga saja mood lelaki itu sedang bagus sehingga mau dimintai tolong.

Percobaan pertama, gagal.

"Aneh. Tumben sekali dia tidak mengangkat teleponku," ucap Mei lalu mencoba lagi.

Percobaan kedua, ketiga, keempat bahkan sampai kelima pun gagal. Mei makin heran, perasaan khawatir mulai rayapi hatinya. Ada apa dengan Hajime Kokonoi hingga begitu sulit dihubungi seperti ini?

"Gimana, Mei?" tanya Eve penuh harap.

Mei pun mengembuskan napas kasar. Hanya ada satu alasan pasti di mana tunangannya itu berada sekarang. Keluarga Hajime adalah keluarga elit yang terdiri dari para pebisnis sejati. Dan hal tersebut juga berlaku untuk seorang Kokonoi.

Di usianya yang masih muda, lelaki pemilik sorot mata tajam itu punya berbagai jenis bisnis. Mulai dari kuliner, kesehatan sampai hiburan. Nakamura Mei sungguh beruntung bisa dapatkan hati pria seperti ini, kata orang-orang.

Padahal ada alasan kenapa Mei ada di genggamannya Kokonoi. Alasan yang tidak ingin Mei akui.

"Koko pasti sedang berada di salah satu bar miliknya. Ayo kita ke sana, aku tahu di mana tempatnya." Mei langsung membereskan modul-modul dan laptopnya dari atas meja.


Eve pun mengangguk serius lalu mulai mengemasi laptopnya ke dalam totebag.

"Em, bar...?" Himari mendadak kaku. Seumur hidupnya ia tak pernah datangi tempat-tempat yang begituan. Namun, ia tetap harus ikut karena tidak enak jika harus pulang dan abai.

Mei pun tersenyum lebar ke arah gadis manis itu. "Tenang saja, gak akan ada yang berani macam-macam sama kita."

"Oh, baiklah. Aku percaya padamu, Mei," kata Himari yang diam-diam meragu.

"Ah iya ... terima kasih, Himari," ujar Mei di tengah-tengah aktivitasnya membereskan barang bawaan. Tentu saja hal tersebut undang sentakan kaget di bahu orang yang disebut.

"Kalau kamu tidak bertanya, aku pasti gak akan ingat kalau Koko mungkin bisa membantu kita."


Eve pun melirik ke arah Himari. "Benar juga. Terima kasih ya, Himari."

Himari terdiam mematung. Hatinya yang dingin mulai dirayapi perasaan hangat. Gadis itu pun perlahan mengukir senyum. Ia bangga dengan dirinya hari ini. Ternyata, berhubungan dengan orang kaya itu ... tidak terlalu buruk juga.

"Terima kasih kembali, Mei, Eve."

Segera, setelah mereka selesai berkemas gadis-gadis itu langsung pergi tinggalkan ruang keluarga dan berjalan menelusuri lorong mansion. Eve yang berjalan paling akhir tiba-tiba berhenti. Ia mengernyit begitu dapati brosur perlombaan piano bergengsi-International Frederick Chopin Piano-di bawah kakinya.

Eve lantas membolak-balik brosur itu. Kenapa bisa ada di sini? Punya Emma? batinnya heran.

Apakah barusan ada yang menguping?

🌺

Sementara itu di kediaman mewah Keluarga Akashi, seorang gadis cantik berambut sebahu tengah layangkan tatapan kosong ke jendela mozaik. Sudah berhari-hari ia mengurung diri di dalam istananya sendiri. Entah kenapa, segala hal tentang Jepang mengingatkannya dengan Mikey.

"Senju, sampai kapan kamu mau bersedih terus?" Laya bersandar di ambang pintu kamar dengan raut wajah datar.

"Aku gak bisa terima kalau dikalahkan dengan gadis kampung macam si Yua itu," timpal Senju lalu tenggak segelas kecil alkohol dari atas meja.

Laya berdecak malas. Keluarga Akashi ini memang terdiri dari orang-orang yang tukang overthinking dan terobsesi pada sesuatu. Dia sendiri heran kenapa hatinya bisa tertambat pada sosok Haruchiyo Akashi yang koleksi perangai gila.

"Kalau kamu memang benar-benar mencintai Manjirou, kamu harus perjuangkan. Bukannya malah meratapi nasib begini," kata Laya sembari angkat kedua tangan. "Di sini aku netral, ya. Aku gak membela siapa pun."

Lagipula siapa pun yang akan menikah dengan si Sano itu tidak akan ada hubungannya denganku, pikir si gadis berambut merah cuek.

Senju terdiam sesaat. Matanya kini menyorot pada cairan bening yang ada di dalam gelas. Berjuang? Apa dirinya masih memiliki kesempatan untuk itu? Satu-satunya cara yang dapat ia pikirkan hanyalah menyingkirkan Himari dari sisi Mikey.

Namun semua tampak mustahil bagi Senju. Bertahun-tahun sudah ia tinggalkan Mikey hingga biarkan pria itu jatuh cinta dengan gadis lain. Senju bodoh.

"Argh, persetan!" sahut Senju geram. Ia termakan dengan pikiran buruknya sendiri.

"Mau ke mana?" tanya Laya begitu melihat saudari iparnya bangkit dan ambil kunci mobil.

Senju terkekeh miris lalu menjawab, "Mau ketemu sama Koko. Ada pesta untuk yang patah hati katanya."

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang