BAB XVI: THE SECRET

72 13 8
                                    

Emma bolak-balik di ruang keluarga dengan gelisah. Gadis itu terus menggigiti ujung kukunya hingga lecet. Sedari tadi jantungnya berdebar kencang, tunggu tiga saudaranya pulang ke rumah. Keadaan mansion yang terlampau luas dan sunyi buat napasnya seperti dicekik.

BRAK! Tiba-tiba gadis itu lempar sebuah guci kecil yang hadir di jangkauan pandangnya. Guci malang itu kini harus terima nasib, berubah menjadi potongan beling yang tak berarti.

Perlahan, Emma pun duduk berjongkok sambil menjambaki rambutnya sendiri. Bukan kematian Izana yang ia tangisi, tapi perihal lain. Ada sesuatu yang lebih gelap tengah menunggu.

“Bisa-bisanya ... bisa-bisanya....” Emma bergumam penuh emosi di tengah dadanya yang bergemuruh.

“Orang itu ... bisa-bisanya ... tidak ikut diseret....”

TAP TAP TAP!

Suara langkah kaki berlapis sepatu terdengar menggema ke langit-langit. Barulah saat itu Emma perbaiki posisinya dan memerintah seorang pelayan untuk bersihkan kekacauan di sana. Ia tak mau ada yang mencurigainya.

Shinichiro datang sambil merangkul Mikey. Lantas ia ambil posisi duduk di sofa ruang keluarga, bersebelahan dengan Emma. Dari raut wajah dua kakaknya, gadis itu tahu kalau mereka sangat terpukul.

“Capek,” keluh Shinichiro.

“Mau aku ambilkan air, Kak?” tanya Emma hati-hati yang langsung dihadiahi gelengan dari yang ditanya.

“Enggak perlu. Kakak hanya ingin istirahat ditemani kalian.” Shinichiro rentangkan tangan dan rangkul dua presensi yang lebih muda darinya itu. “Kita jadi cuma berempat, deh....”

Mendengar kalimat itu, Emma dan Mikey pun langsung menenggak saliva dalam diam. Berempat, huh? Bagaimana jika nantinya akan ada salah satu di antara mereka yang ikut menyusul Izana? Kira-kira siapa saja yang akan bertahan dengan kepolosannya sampai akhir?

Baik Mikey maupun Emma mulai disusupi perasaan takut. Dua saudara berambut pirang itu sadar, ada pembunuh di antara mereka.

Tak lama kemudian Eve memasuki ruangan. Matanya sembab, kelihatan sekali kalau gadis itu habis menangis. Kondisi tersebut undang tatapan iba dari si Sulung Sano.

“Eve, sini. Gabung sama kita,” katanya.

Lantas Eve berjalan cepat dan ambil posisi duduk di sebelah Emma. Tentu saja Emma yang melihat keadaan saudarinya jadi sedikit merasa iba. Kemudian ia pun rangkul pundak Eve dan biarkan gadis itu bersender ke bahunya.

“Jangan nangis, Eve. Masih ada kami kok,” kata Emma lirih, “kamu juga masih punya aku. Aku akan selalu ada buat kamu.”

Eve menarik napas dalam lalu tersenyum. “Terima kasih banyak, Emma, Kak Shin, Mikey. Kalian hartaku satu-satunya.”

Mikey dan Shinichiro membelalak sesaat, tapi sedetik kemudian tersenyum tipis. Mereka begitu menyayangi Eve karena mendiang orang tua gadis itu telah banyak membantu Keluarga Sano sejak lama.

“Iya,” balas Emma, mewakili yang lain. Diam-diam, hatinya pun berdenyut perih. Emma merasa bersalah.

“Emma, ngomong-ngomong kenapa kamu yakin sekali kalau Kak Izana itu ... em, dicelakai?” tanya Eve di tengah-tengah suasana hening. Gadis itu tidak bisa hentikan rasa penasarannya.

Sebab gadis itu kaget sekali ketika pagi ini, dua orang polisi datang ke pemakaman hingga akhirnya menginterogasi mereka yang macam-macam. Terlebih ketika tahu kalau penyebab kematian Izana adalah karena kehabisan napas alih-alih syok bekas pertarungan.

Emma langsung mengigit bibir. Ia rutuki kesalahannya yang langsung mengaku kalau dirinya lah sang pelapor. Pasti orang-orang akan curiga. Kenapa Emma bisa berpikir kalau Izana dibunuh sampai nekat melaporkannya ke polisi?

“Ini cuma asumsi,” jawab Emma cepat lalu saling pandang dengan Mikey, tinggalkan berjuta pertanyaan di dalam pikiran Eve dan Shinichiro.

Ada yang mereka berdua sembunyikan.

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang