BAB XXXI: THE CLIENT

38 7 7
                                    

Lampu neon yang menggantung di sepanjang lorong menyebarkan cahaya remang yang memantul di permukaan surai ungu gelap milik Mei Nakamura. Cahaya putih itu kini membiarkan helaian panjangnya berkilau bagai permukaan laut musim panas.

Sebenarnya ia sudah berjanji kepada semesta dan diri sendiri bahwa sekalipun ia tak ingin lagi melihat atau mendengar nama Hajime Kokonoi. Namun, mimpi-mimpi buruk selalu datang menghantui. Mimpi sialan yang makin hari, justru makin buat Mei sadar bahwa ia mencintai Kokonoi dan tidak bisa tinggalkan lelaki itu begitu saja.

“Koko.” Mei baru saja duduk di sebuah kursi lipat begitu pintu di balik bilik kaca terbuka. Memperlihatkan sosok jangkung Kokonoi yang tersenyum miring.

“Masih mau melihat aku rupanya,” kata Koko, “kukira kamu sudah mencampakkan aku.”

Mei inginnya mengatakan berjuta kalimat rindu. Mei inginnya meraung-raung, menangisi nasib yang dialami kekasihnya. Namun, gadis itu masih setengahnya percaya kalau manusia di depan belum bisa melupakan sosok Akane dari masa lalu.

Lantas, rasa gengsi itu menumpuk. Air mata yang harusnya meluncur turun kini digantikan dengan dengkusan jijik.

“Ko, hari ini aku ingin sekali mengamuk di depanmu. Tapi aku sadar kalau waktunya gak akan cukup,” ujar Mei sambil angkat sebelah kaki, simbol rasa angkuh.

“Ho ... sudah berani kamu angkuh di depan aku?”

“Ck. Langsung saja. Siapa yang menyuruhmu melakukan ini semua?”

Netra Koko seketika melebar. Ia tak percaya kalau kelasihnya menanyakan hal tersebut. Hal yang sudah mustahil untuk dipercayai oleh polisi. Bibir lelaki itu pun lantas tersenyum miring. “Kamu percaya dengan cerita itu? Kamu percaya kalau ada yang menyuruhku?”

Mei memutar bola mata malas. Hatinya makin saja teriris begitu ia tak sengaja tangkap binar harapan dari netra gelap milik Koko. Meski nyatanya lelaki di depan sama-sama memasang wajah angkuh, tapi ia tak bisa membohongi Mei.

Mei yang sedari kecil selalu perhatikan Koko secara diam-diam, tidak mugkin kalau sampai tidak bisa mengenali gerak-gerik dan isi hati si lelaki.

“Katakan saja semua yang kamu tahu, Kokonoi,” ujar Mei, memaksa. “Mencari masalah dengan Keluarga Sano sama saja dengan bunuh diri. Mereka punya relasi dan kekuatan di dalam kursi pemerintahan tanpa harus main sentuh dengan dunia politik.”

“Seorang Kokonoi Hajime yang aku tahu, tidak mungkin akan melakukan hal segila itu, hanya demi uang tak seberapa yang didapatkannya dari media dan kabar miring murahan.”

Koko makin melebarkan senyumnya.

“Pasti ada sesuatu yang menjadi ganjaran atas perbuatan nekatmu itu, bukan?” tukas Mei.

“Hm, gimana ya...? Meskipun dia memberiku uang satu milyar, klienku sama sekali tidak menyatakan identitasnya tuh,” ucap Koko dengan nada main-main. Jelas, dia tahu sesuatu.

“Jangan main-main, Koko,” ujar Mei kesal. Gadis itu merengut, dengan bibir tertekuk. Bagi Koko, Mei malah terlihat menggemaskan alih-alih seram.

“Ah, malas. Coba kau bayar aku. Pasti akan kuberitahu teori yang aku tahu,” ujar Koko sembari menunjukkan ekspresi tak tertarik.

Mei mulai gusar. Ia tak bisa tahan letupan emosinya lagi. Maka, gadis itu segera berdiri sambil menghentakkan kaki ke lantai. Ia tak mau lagi bicara dengan Koko untuk saat ini. Namun, begitu tangannya menyentuh kenop pintu, si lelaki bersuara.

“Kayaknya lucu juga sih, kalau nyatanya ... orang yang merencanakan semua cerita busuk ini justru berada di dalam Keluarga Sano itu sendiri.”

Mei mendadak membeku di tempat. Ia berhenti lalu sedikit menoleh. “Hah?”

Si lelaki bersurai hitam makin tersenyum. “Mei, seperti apa katamu, main-main dengan Keluarga Sano sama saja dengan bunuh diri. Jadi wajar saja kalau tak ada yang berani mencari masalah dengan mereka. Tapi...."

Mei akhirnya berbalik, menghadap si tunangan. “Tapi?”

“Tapi aku penasaran, bagaimana ya kalau pelakunya adalah anggota mereka sendiri? Apakah ... dia akan jadi sama takutnya dengan orang lain?”


🌼


Eve dan Himari kini berdiri di depan pintu ruang rawat belogo VVIP. Logo tersebut dicetak dengan warna emas yang mengkilap di pinggir kanan. Siapa pun yang menempati ruang tersebut, pastilah orang yang amat terpandang.

Kedua gadis itu lantas mengembuskan napas berat. Himari jadi terbawa perasaan setelah mendengar apa yang diceritakan sahabatnya. Pastilah Eve sangat terpukul. Cukup masuk akal juga kenapa gadis itu jadi merasa bersalah sekaligus serba salah.

“Aku ... aku gak yakin bisa masuk....” Eve mundur dua langkah begitu tangannya sudah menyentuh permukaan pintu.

Lantas, Himari menggenggam kedua tangan si gadis bersurai ungu gelap dengan lembut. Di sana, ia rasakan hawa dingin yang merambat masuk ke dalam kulit. Eve tampak ketakutan.

“Eve, kamu tidak salah. Dan kalau pun memang salah, sekarang masih ada waktu untuk memperbaikinya,” ujar Himari. “Aku rasa ... kamu harus hadapi dia sekarang.”

Eve menggeleng cepat. “Aku ... gimana ya?”

Himari makin mempererat genggamannya. Mencoba salurkan rasa hangat dari hati. “Sudah berapa hari kamu tidak menjenguknya?”


“Lima hari sejak dia bangun,” jawab Eve yang langsung undang helaan napas dari sahabatnya.

“Dia pasti sangat ingin bertemu denganmu. Masuklah. Aku akan menunggumu.” Itu kata Himari. Ya, gadis itu tak berniat untuk temani sahabatnya. Walau bagaimanapun, Eve harus bisa hadapi ini tanpa Himari.

Satu embusan napas panjang keluar dari bibir Eve. Gadis itu sudah memutuskan untuk menjadi berani. Ia kini tengah berusaha mati-matian kubur segala perasaan inferior di dalam diri demi bisa hadapi masalahnya.

Namun, belum sempat membuka pintu seorang suster tiba-tiba keluar dari dalam ruangan sambil membawa nampan besi berisi bubur, sayur dan daging. Makanan-makanan itu tampak dingin dan belum disentuh sama sekali.

Jika saja Eve tidak cepat menghindar, mugkin tubuh mereka akan bertabrakan. Gadis itu mencuri pandang ke makanan di atas nampan.

“Maaf, tapi kenapa makanannya dibawa kembali?” Eve bertanya.

Suster tersebut lantas melirik ke arah eksistensi dua pengunjung tersebut lantas mengembuskan napas lelah. “Pasien tidak mau makan, paling banyak hanya dua suapan. Aku baru saja menukar sarapan dan makan siangnya.”

Eve dan Himari kemudian saling pandang.
“Sudah coba dibujuk?” tanya Himari.

Suster itu mengangguk. “Tentu saja, tapi memang dasar orangnya keras kepala. Aku bahkan tidak tahu kenapa dia menolak untuk makan. Padahal dokter bilang kondisinya sudah mulai stabil. Tapi ... jika dia tidak mau makan terus, kondisinya bisa jadi buruk.”

“Ah, terima kasih.” Eve membungkuk lalu langsung masuk ke dalam ruangan.

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang