Siang itu, matahari bersinar terik di langit cerah tanpa awan. Cahayanya yang terasa membakar kulit lantas memantul di permukaan mengkilap rerumputan teki. Tempat seorang bocah kecil bersurai pirang berlarian mengejar sebuah topi.
“Topi Cipuy! Topinya Cipuy kebawa angin, huaaa!” teriaknya.
Anak lelaki itu menangis. Dia merasa bersalah sebab topi itu adalah pemberian terakhir dari mendiang ibunya. Dan sebagai anak yang baik, ia jadi merasa bertanggung jawab untuk menjaga harta itu.
Jangan harap ia bisa meminta bantuan sang ayah. Karena hanya dengan sekilas melihat sorot mata dinginnya, Chifuyu tahu kalau pria itu tak sudi membantu. Kamu harus kuat dan berusaha sendiri sebagai laki-laki, itu kata ayahnya.
“Anginnya nakal, huaaa! Huhuhuhu.....”
Namun mau apa dikata, Chifuyu masih terlalu kecil. Yang saat ini bisa dilakukannya pun hanyalah menangis.
Topi jerami miliknya pun terbang makin tinggi. Sulit digapai oleh jemari Chifuyu yang mungil dan tampak agak gemuk.Menyerah, kaki-kaki mungilnya pun berhenti melaju. Chifuyu berjongkok sambil memeluk lutut.
Cipuy anak gak belguna. Cipuy udah buat Mama kecewa dan buat Papa seling main pukul sama Cipuy, batinnya. Cipuy gak pantes buat hid—
“Jangan nangis.”
Entah sejak kapan, berdiri di depannya, seorang bocah berambut ungu dengan netra emas yang berkilau bagai mahkota.
Chifuyu memandanginya cukup lama lalu menyadari kalau topi yang dikejar-kejarnya ada pada bocah itu.
“Nih,” kata si bocah sambil berikan topi di tangan, “tadi aku tangkep topinya di atas pohon, hehe.”
Senyuman Chifuyu pun merekah, membuat pipinya yang gembil mengembang bagai adonan kue bolu dalam pemanggang. Lantas ia mengambil topi kesayangannya dan mengenakan benda itu.
“Makasi, ya!" katanya semangat. “Nama aku Cipuy. Nama kamu siapa?”
Si bocah lantas ikut tersenyum cerah. Memperlihatkan giginya yang ompong karena digerogoti ulat permen. “Nama aku Ayaka. Tapi panggil Eve aja, ya. Soalnya kata Mikey biar sama kayak Emma!”
Persetan dengan apa kata bocah di depan, Chifuyu tak tahu menahu siapa itu Mikey dan Emma. Ada hal yang jauh lebih penting dari itu semua.
“K-kok nama kamu kayak pelempuan?” tanya Chifuyu polos.
Ayaka yang pada saat itu berambut pendek mirip anak laki-laki pun merenggut sebal. Tunjukkan pipinya yang menggembung gemas. “Aku perempuan tahu! Cipuy kok bolot sih?”
Chifuyu pun ikut merenggut sebal. “Panjangin dong lambutnya. Bial cantik kayak mamahnya Cipuy.”
“Emangnya aku gak cantik?”
Wajah si bocah berambut pirang seketika merona, tapi kepalanya menggeleng. Kontras sekali dengan debaran jantungnya yang kini menggila. “Eve halus panjangin lambut dulu, balu cantik.”
Eve tampak menimbang-nimbang sebentar lalu menjulurkan lidahnya. “Gak mau, ah! Kata Mikey gak keren!”
☀️
“Eve!”Chifuyu yang sudah beranjak remaja tak sengaja melihat sosok teman masa kecilnya di depan gerbang sekolah. Dia tahu betul kalau di kota ini, yang memiliki rambut ungu gelap dan netra emas hanyalah seorang Ayaka.
Pagi itu Eve datang menggunakan bus. Orang tuanya sibuk bekerja di rumah sakit jadi tidak bisa mengantar setiap hari.
“Hai, Cipuy!” Eve berlari dekati Chifuyu yang wajahnya mendadak bersemu merah.
Pemuda itu diam mematung di tempat seperti tiang lampu jalanan. Ia kini memandangi teman masa kecilnya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Debaran itu rupanya masih sama sebab Ayaka tumbuh menjadi remaja manis berambut panjang.
Siapa sangka saran Chifuyu kepada Eve sewaktu kecil justru malah jadi bumerang untuk Chifuyu sendiri. Jika pada hari ini jantungnya dibuat berdebum kencang tiap kali sosok si gadis berambut ungu gelap itu hadir, maka tolong salahkan saja sosok Chifuyu kecil.
Siapa suruh menyarankan si gadis tomboy untuk punya rambut panjang?
“Kok diem aja, Puy?” tanya Eve.
"Aku tadi melamun aja, kok."
Eve seketika tersenyum jahil. “Oh, apa jangan-jangan ... aku udah jadi cantik?”
Chifuyu makin bersemu merah ditanyai begitu. Namun, yang keluar dari bibirnya malah dusta. "Pft, kamu cantik? Kamu ya, kamu. Masih sama kayak dulu!”
“Oh, kalau gitu, boleh aku ambil dong?” Tiba-tiba sebuah lengan kokoh merengkuh pundak Chifuyu dari arah belakang.
Pelakunya, tak lain dan tak bukan adalah Baji Keisuke. Anak lelaki berambut belah tengah itu adalah kakak kelas sekaligus sahabat Chifuyu sejak SD.
“Kak Baji bikin kaget aja."
“Boleh dong ya, Chifuyu?” bisik lelaki itu lagi sambil sesekali melirik ke arah presensi Eve yang mulai cemberut karena ditinggal sendiri.
Chifuyu diam-diam meragu. Entah kenapa ada sebagian dari diri terdalamnya tak ingin melepas Eve ke tangan siapapun. Namun, siapa Eve itu? Dia bukanlah berasal dari keluarga terpandang. Bahkan orang tuanya hanya bekerja sebagai dokter di rumah sakit dan sesekali disewa secara pribadi oleh Keluarga Sano.
Ayah Chifuyu tak akan pernah bisa menerima sosok Eve yang "biasa" saja.
"Oke, aku akan mendukungmu," putus Chifuyu.
☀️
Tapi pada akhirnya, aku lah yang mengkhianati Kak Baji waktu itu.... Chifuyu Matsuno menangis dalam tidurnya. Saat ini tubuh yang tidak berdaya itu dipenuhi rasa sesal yang menggebu-gebu.Bagai ditusuk dengan ribuan jarum, hati Chifuyu terasa sakit. Bahkan rasa sakitnya melebihi rasa sakit bekas pukulan sang ayah yang sisakan memar membiru.
Chifuyu memang tumbuh di rumah yang seperti itu. Tanpa belas kasih sang Ibu, yang tersisa untuk si pemuda hanyalah tuntutan untuk jadi sempurna beserta sikap kasar sang Ayah. Lelaki berambut hitam yang lahirkan Chifuyu itu tidak segan memukuli anaknya bagai menyiksa seorang pencuri.
Dan, pada akhirnya, berkat luka dan didikan keras itu, Matsuno Chifuyu tumbuh menjadi lelaki yang warisi perangai ayahnya. Satu-satunya yang membedakan mereka berdua hanyalah luka dan rasa haus akan kasih sayang.
Siapa sangka, Chifuyu malah dapatkan kasih sayang dan afeksi yang jiwanya mau dari Ayaka. Gadis itu adalah segalanya bagi si lelaki. Sahabat, kekasih, bahkan sosok seorang ibu. Jika sudah begitu, sekarang jadi jelas kenapa si lelaki berambut pirang begitu mendambakan gadisnya.
“Aku gak mau hidup kalau gak ada Eve,” rajuk Chifuyu sambil duduk memeluk lutut di tengah ruang hampa.
“Chifuyu.” Baji tiba-tiba berdiri di ruangan yang hampa dan serba putih itu bersamanya.
Chifuyu mendongak. “Kak Baji, aku ... sampah banget, ya? Manusia sampah.”
Baji pun tertawa renyah sampai pegangi perutnya. “Memang! Bener banget! Hahahaha.” Kemudian pria itu melanjutkan, “Tapi sesampah apa pun kamu, aku tetap sayang kamu, Chifuyu. Kamu sahabat aku.”
Chifuyu pun tersenyum miring. “Kak Baji kenapa terlalu baik sih kalau jadi orang?”
“Chifuyu, kamu mau kan, kalau kita baikan?” tanya Baji sambil tersenyum teduh. Lantas Chifuyu pun ikut tersenyum, tipis.
“Boleh, lagian aku udah gak punya siapa-siapa lagi, Kak.”
“Ada kok,” kata Baji menjeda, “kamu masih punya Eve.”
Chifuyu diam. Ia pandangi wajah Baji yang entah kenapa terlihat lebih tenang dan bersih dari biasanya itu.
“Jaga dia buat aku, ya, Puy.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tacenda | Tokyo Revengers
Fanfiction//CW! suicide thought, harsh word, 15+ Tacenda adalah hal-hal yang lebih baik dibiarkan tidak terungkap. Ini tentang Keluarga Sano yang hidup bergelimang harta dan penuh kepalsuan. Saling membohongi satu sama lain demi ciptakan alur cerita yang dise...