BAB XXIII: THE LIBRARY

58 10 6
                                    

Emma duduk di sebuah sofa bulat kecil yang membelakangi jendela raksasa. Kedua tangannya terlipat di depan dada, berusaha sembunyikan gejolak panas di dalam diri. Pada saat ini, di perpustakaan mansion Keluarga Sano, ia tengah pandangi saudari tirinya yang dapatkan berjuta afeksi dari semesta.

Pada jajaran sofa di tengah ruangan, Eve duduk dikelilingi oleh Senju, Kakucho dan Baji. Mereka seolah asyik sendiri tanpa mengajak Emma. Mereka bertingkah seolah-olah Eve adalah pusat rotasi semesta sedangkan Emma hanyalah kerikil kecil tak berarti.

Ini aneh, tentu saja sangat aneh. Padahal Emma sudah memutus rantai keberuntungan Eve dan mendorong gadis itu hingga ke dasar jurang. Namun apa-apaan sekarang ini?

Orang-orang justru makin bersimpati padanya, alih-alih menjauh dan biarkan Ayaka Sano membusuk. Terlebih, mereka tanyai Eve ini dan itu sambil pasang raut wajah kasihan.

Emma Sano benar-benar ingin muntah.

“Eve, aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku childish banget waktu itu,” ungkap Senju, bulir-bulir air matanya menetes lagi. “Kalau aku tahu Chifuyu adalah pacarmu, aku gak mungkin menjadikannya media balas dendam aku, Eve....”

Bukan Eve yang bicara, melainkan Kakucho. “Tapi tetap aja kamu udah salah. Kamu ini, gak ada bedanya sama Kokonoi.”

Baji yang sedari tadi sibuk jadi sandaran Eve pun angkat suara, “Udahlah, dia udah minta maaf sebisanya. Lagipula kalau kejadian aslinya memang begitu, ya mau gimana lagi, kan?”

“Kamu gampang banget ya bicara begitu. Kamu gak tahu jahatnya Kokonoi itu kayak gimana, Baji Keisuke dari jurusan Ilmu Komunikasi!” balas Kakucho emosi. Jelas-jelas dia salahkan semua kejadian pada Kokonoi Hajime.

Namun, pria itu masih belum berani akui kesalahannya. Apalagi setelah lihat kondisi Eve yang hancur begini.

“Ck!” Baji berdecak, “kenapa dari tadi kamu bawa-bawa Kokonoi? Memang dia salah apa?”

Kakucho seketika bungkam. Dia tidak mampu meneruskan, apalagi membongkar semuanya sekarang. Sejak awal, lelaki itu berniat untuk beberkan semua pada si sulung Sano. Di mata seorang Kakucho, tentu saja Shinichiro adalah orang tepat yang bisa ia jadikan media pengakuan dosanya.

“Tuh kan, gak bisa jawab,” komentar Baji.

“Diam kamu, ya Baji Keisuke dari jurusan Ilmu Komunikasi!” balas Kakucho kesal.

“Panggil Baji aja, kenapa sih?” nyinyir Baji tidak habis pikir.

Di tengah perdebatan konyol tiada akhir itu, Ayaka Sano mendadak teringat sesuatu. Lantas ia bangkit dan jalan dekati Emma di dekat jendela.

“Emma, aku yakin ini milikmu,” katanya dengan suara lirih. Tangan gadis itu terulur ke depan sedangkan jemarinya tunjukkan sebuah kertas bertuliskan International Frederick Chopin Piano.

Ya, itu brosur yang Eve temukan di lorong mansionnya tempo hari.

Kedua netra emas Emma membelalak. Ia bahkan harus meyakinkan dirinya berkali-kali kalau informasi yang ada di secarik kertas itu bukanlah hasil cetak printer murahan. Tidak, tentu saja. Brosur yang Eve pegang itu asli.

Sebuah tiket menuju impian terdalam Emma. Perlombaan bergengsi untuk seorang pianis besar. Lantas, tangan Emma bergerak mengambil brosur itu.

“B-buat aku?” tanyanya.

Dahi Eve mengernyit. Rupanya dia masih berpikir kalau yang menjatuhkan kertas itu adalah Emma. “Ini memang punya kamu.”

Kini netra Emma berkaca-kaca penuh haru. Ia pun jadi berpikir, betapa jahatnya ia selama ini. Padahal akar permasalahan yang Eve derita adalah akibat ulahnya, tapi saudarinya itu justru berikan hadiah.

Hati Emma yang sekeras batu pun perlahan mencair. Kabut-kabut hitam yang selubungi hatinya kini mulai pudar, seiring dengan air matanya yang menetes. “Eve, terima kasih banyak!”

Akhirnya kedua saudari itu saling berpelukan. Eve berpikir kalau brosur itu adalah harta berharga milik Emma yang tidak sengaja hilang. Sedangkan Emma berpikir kalau brosur itu adalah hadiah pemberian dari Eve, sebab sejak awal, Emma tak pernah miliki itu.

Lantas, milik siapa brosur itu sebenarnya?

Siapa sebenarnya sosok yang pada hari itu menguping obrolan Eve, Himari dan Mei soal skripsi yang hilang?

“Ekhem.” Shinichiro muncul di ambang pintu perpustakaan. Dia tersenyum teduh, menatap pemandangan yang ada di bawah undakan tangga masuk.

Mungkin lelaki itu senang lihat dua adiknya akur.

Kakucho yang menyadari keberadaan si sulung Sano pun langsung tersentak dari sofa. Lantas ia berjalan naik ke anak tangga dan berdiri di depan Shinichiro. “Kak, sebenarnya hari ini aku datang ke sini untuk bicara dengan Kakak.”

Si pemuda berambut hitam angkat sebelah alisnya. “Bicara?”

Kakucho mengangguk serius. Ada dosa yang harus ia tanggung. "Iya, Kak."

“Baiklah. Ayo ke ruangan kerjaku.” Shinichiro berjalan lebih dahulu dan menghilang ke balik tembok. Diikuti oleh Kakucho di belakang.

“Hah? Sok keren sekali,” komentar Baji yang sudah terlanjur kesal dibuat Kakucho.

Tak lama kemudian, tampak seorang butler yang berlari tergesa menuruni undakan tangga masuk perpustakaan. Tampilannya agak acak-acakan seolah baru saja berlari dari depan mansion hingga mencapai ruangan ini dengan sekuat tenaga.

“Nona Eve! Nona Emma!” sahutnya panik. Kini dia berdiri di depan kedua nona mudanya.

“Kenapa? Bicaralah,” balas Eve heran.

“Tuan Manjirou, Nona!” jawabnya di tengah embusan napas lelah. “Di depan mansion ... Tuan Manjirou menghajar Tuan Matsuno!”

“H-huh?” Seluruh penghuni perpustakaan langsung dibuat membeku oleh pernyataan itu.

Tak terkecuali Baji Keisuke yang syok karena mantan sahabatnya sedang dalam masalah.

“Chifuyu!” Baji panik lalu langsung berlari keluar.

☀️

Bonus:

Buat yang enggak main Twitter, aku bawa ingpo spesial Tokrev dari sono

Buat yang enggak main Twitter, aku bawa ingpo spesial Tokrev dari sono

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang