BAB XI: THE SANO FAMILY

66 16 0
                                    

Mansaku Sano mungkin adalah satu di antara seribu manusia Tokyo yang miliki hati murni. Kebaikan dan tiap tindakan lelaki itu murni karena ketulusan hatinya. Namun ada pepatah, hidup orang baik tak selalu berjalan mulus. Dan itu terbukti di hidupnya pria itu.

Lelaki yang usianya sudah menyentuh angka lima puluh itu dulunya miliki satu anak lelaki kesayangan hasil buah pernikahannya dengan sang istri, Sano Makoto. Anak lelaki itu warisi nama Sano dan segala gemerlap juga kuasa di dunia bisnis. Keluarga kecil itu harusnya bisa hidup bahagia.

Namun sayang, berkat kekuasaan sang ayah, si anak lelaki pun malah hidup dengan semena-mena. Dialah makhluk paling egois di muka bumi pada masanya. Tiada hari tanpa main perempuan dan minum-minum. Ia rusak citra Kakek Sano dan istrinya yang penyabar.

Mungkin ... mungkin saja jika anak itu jatuh cinta, ia akan berubah, isi pikiran Kakek Sano yang naif itu pada akhirnya membawanya pada sebuah acara perjodohan.

Si anak lelaki Sano yang egois temukan pasangannya. Seorang gadis manis nan ayu pemilik sorot netra seteduh mata air bernama Sakurako. Mereka menikah dan dikarunia dua anak lelaki yang rentang umurnya 10 tahun. Sano Shinichiro dan Sano Manjirou. Mereka hidup bahagia. Betul, si anak lelaki berubah.

Tepat ketika Kakek Sano hendak wariskan jabatannya, istri anaknya pergi tinggalkan dunia. Sebab itulah para setan yang dahulu sering goda si anak lelaki kembali manfaatkan celah. Si lelaki Sano, kembali jatuh dalam keputus asaan hingga berakhir jadi pemabuk dan tukang foya-foya.

Bahkan, di hari kematian ibunya pun, ia tak datang. Sisakan suasana kelam di kediaman Sano yang dingin tanpa cahaya. Sebulan Makoto menghilang, mendadak ia datang kembali sambil bawa anak perempuan yang manis.

“Namanya Emma. Umurnya tak jauh dari Manjirou,” katanya dengan wajah pucat dan napas berbau alkohol.

Kakek Sano membulatkan mata tak percaya. Untuk pertama kalinya lelaki itu murka. Lantas ia tampar anak lelakinya hingga undang tangisan Emma.

PLAK!

“Apa-apaan kamu ini, hah?! Ibumu mati pun kamu tidak datang! Lalu seenaknya pulang bawa anak yang tak jelas siapa ibunya begini!” Mansaku tatap nanar anak kesayangannya. “Kamu ... kamu diam-diam main dengan perempuan lain padahal sudah punya istri?!”

Si anak lelaki Sano mendecih. Ia tatap ayahnya dengan pandangan linglung khas orang mabuk. “Ayah ... wanita yang kau berikan padaku itu ... PENYAKITAN!”

“MANA MAU AKU SAMA WANITA KAYAK GITU?!”

PLAK!

Kakek Sano sekali lagi tampar anaknya. Ia kecewa. Sebenarnya salah apa dirinya sampai harus hadapi nasib sebegini perihnya. Kini napasnya naik turun, ciptakan perasaan sesak yang memberatkan rongga dada.

Lelaki tua yang tadinya murka itu pun seketika menangis. Ia ambruk ke lantai marmer teras rumahnya sambil pandangi wajah Emma. Cantik. Anak itu miliki paras khas keluarga Sano, dan warisi netra cokelat dari sosok asing yang tak pernah Kakek Sano kenal.

Hati lelaki itu sakit, panas, perih, semua bersatu dan mewujud menjadi buliran air mata.

“Kumohon, jaga dia Ayah,” ucap si Makoto lirih, “aku sudah tak bisa lagi.”

Kakek Sano masih diam dalam posisinya.

“Ada ... satu anak lagi.”

Sano Mansaku lantas mencodak. Ia dapati wajah anaknya yang tertutupi bayang kanopi teras. “Lagi...?”

Si anak lantas menggeleng. “Bukan, dia tidak memiliki darah Sano, Ayah. Tapi dia sudah kuanggap seperti anak sendiri.”

“Hah? Terus kenapa harus Ayah—“ Kakek Sano urung layangkan protes begitu lihat darah segar mengucur dari sudut bibir anaknya.

“Hhh ... anak itu ... lahir dari rahim jalang yang berselingkuh dengan suami pertama istriku yang sekarang. Hhh, uhuk! Uhuk!” Si anak lelaki menjelaskan. Di saat inilah hatinya mendadak melunak, dari matanya turun buliran air mata penuh sesal.

Mungkin, si anak lelaki Sano tak sepenuhnya terlahir sebagai seorang berengsek. Sebab pada nyatanya, ia warisi hati murni milik sang ayah hingga mau temani wanita asing yang patah hatinya. Hanya caranya saja yang salah. Jalan pikir lelaki itu terlalu rumit untuk dipahami.

“Anak itu ... n-namanya Izana....”

BRUK!

Si anak lelaki jatuh tersungkur ke pelukan sang ayah, perlihatkan sebuah pisau yang menancap di punggung. Darah segar merembes dari lukanya, kotori coat beludu cokelat yang si anak kenakan.

“Ma-maaf ya..., Ayah. Orang s-sebaik ... dirimu harus miliki putra yang seberengsek aku,” bisik si anak lelaki dengan suara makin pelan seiring kata yang terucap. “K-kira-kira ... apa ibunya Shi-Shinichiro dan Manjirou mau memaafkan aku ya...?”

Sedetik kemudian, tak ada lagi suara. Malam itu, Sano Mansaku kehilangan anak satu-satunya, harta berharga yang seharusnya bisa ia jaga dengan lebih hati-hati.

Sementara itu, Emma yang sibuk meraung di sebelah tiang kanopi layangkan tatapan sedih ke celah pintu. Di sana, Shinichiro dan Manjirou mengintip, pandangi kejadian itu dengan wajah pucat. Terlebih saat ayah mereka layangkan senyum pada dua presensi kecil itu sambil tersenyum damai.

Maafkan Ayah....

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang