BAB XXX: THE TEARS

42 10 5
                                    

Emma duduk berhadapan dengan Mikey di balkon ruang keluarga. Pada hari itu, jemari si gadis bersurai pirang menyodorkan sebuah brosur perlombaan piano internasional sekaligus tiket menuju tempat diadakannya lomba tersebut, Warsawa Ibu Kota Polandia.

Gadis itu berharap kakak laki-lakinya akan mengerti bahwa ini adalah sebuah keputusan tepat. Lagipula Emma juga tidak ingin terus berlama-lama ada di dalam mansion yang baginya sudah terlanjur berbau busuk ini.

“Jadi kamu akan berangkat minggu depan rupanya,” gumam Mikey dengan suara serak. Diam-diam, benaknya berkelana jauh dari realita.
Mau menolak pun, percuma. Tak ada yang bisa Mikey lakukan.

Lagipula perlombaan ini adalah impian adiknya. Jadi mana mungkin si lelaki berambut pirang itu tega melarang kan? Kalau soal akankah dirinya menjadi mayat saat kepergian Emma, biarlah itu jadi cerita lain lagi.

Emma harus bahagia, pikirnya.

“Oh iya, soal Himari dan apa kata Koko waktu dia bilang sesuatu tentang klien di dark web...” Mikey tidak sempat melanjutkan perkataannya sebab Emma telah lebih dulu memotong.

“Tidak perlu kamu jelaskan pun aku sudah mengerti.” Gadis itu tersenyum miris. Raut wajahnya seketika berubah, dipenuhi ekspresi horor. “Aku tadinya mencoba menangkap ‘orang itu’, Mikey ... makanya aku sampai nekat membuat laporan ke polisi. Tapi siapa sangka, ‘dia’ lolos begitu saja.”

Satu tetes bulir bening meluncur jatuh, membasahi permukaan rok selutut yang Emma kenakan. Ia takut.

Takut mati.

“Dan karena kasus ditutup, bisa saja ‘orang itu’ ... akan mengawasi gerak-gerikku setelah ini. Hanya aku, Kak. Hanya aku yang ‘dia’ curigai mati-matian.”

Mikey tidak suka melihat saudarinya menangis. Ia paling benci dengan perasaan canggung yang melanda hati tiap kali dirinya bingung harus menghibur dengan cara apa. Sebab, Sano Manjirou baru saja kehilangan egonya. Ia kini tidak punya rasa percaya diri yang cukup untuk berdiri sebagai pahlawan apalagi sebagai ketua geng.

Terlebih, baru saja ada tiga orang anggota gengnya yang ditangkap polisi.

Lelaki itu merasa bahwa dirinya telah gagal. Dan parahnya ia tak tahu hal buruk macam apa yang akan menanti di depan. Dan, sekarang satu-satunya orang yang bisa Mikey bagikan cerita malah akan pergi tinggalkan mansion.

“Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Apakah kamu mau ikut saja ke Polandia, Mikey?” tawar Emma, sambil berharap kakaknya akan bilang iya. “Kau akan bebas meski sebentar.”

Mikey lantas menggeleng. “Enggak,” katanya, “aku harus melindungi Himari dan Eve. Mereka harta berhargaku sekarang.”

“Emma, pergilah. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan dirimu sendiri,” ucap lelaki itu lagi sembari layangkan senyum lebar. “Dan begitu juga dengan aku.”

Emma kemudian menelan salivanya susah payah. Ia jadi merasa tidak enak karena telah kabur seorang diri. Padahal sudah banyak korban yang berjatuhan demi tutupi bau busuk yang sejatinya menguar dari “orang itu”. Entah itu dihadapkan dengan ajal ataupun sel penjara.

Emma pengecut. Menjadikan impiannya sebagai alibi untuk kabur.

“Eve...,” gumam Emma miris. Ia jadi ingat dengan saudari yang sudah dijahatinya itu. “Setelah kejadian 2 minggu lalu ... bagaimana kabarnya?”

🌼

Masih di bawah langit yang sama, Eve kini tengah berjalan-jalan seorang diri di lorong rumah sakit. Pandangannya kosong, menatap ujung sepatu sandalnya yang bergerak kanan dan kiri.  Setelah semua yang terjadi, gadis itu jadi seolah kehilangan arah.

Bahkan ia pun datang ke tempat ini dengan niat setengah hati. Niatnya ingin benci, tapi ada satu permohonan dari seseorang yang mencegah niat tersebut.

“Eve!”

Si gadis berambut ungu gelap berhenti. Lantas ia berbalik dan mendapati sosok Himari Yua berlari kecil di tengah lorong. Gadis itu sekarang sudah tampak lebih baik. Meski akhir-akhir ini ia merasa tengah dibuntuti stalker.

“Aku kan sudah bilang untuk tidak menghadapinya seorang diri!” ujar Himari di tengah napasnya yang ngos-ngosan. “Aku temanmu dan selamanya akan selalu begitu! Kau bisa menyadarkan bahumu padaku saat kamu lelah, oke?”

Eve lantas tersenyum kecil. Wah, siapa ini yang baru saja berdiri di depannya? Apakah sosok gadis manis di depan, benar seorang Yua Himari yang cengeng dan tertutup?

Sejak pembatalan pertunangan Mikey-Senju, si Himari memang jadi jauh lebih ceria dan percaya diri. Gadis berambut hijau itu berjanji tidak akan merepotkan Mikey lagi. Dan, jika suatu saat akan ada yang mau pisahkan mereka, maka Himari akan balik melawan.

Himari si kuat! Begitulah yang Eve pikirkan sekarang tentang kawan kampusnya itu.

“Maaf ya. Aku cuma gak habis pikir aja sama apa yang udah terjadi...,” ungkap Eve lalu kembali berjalan pelan menuju lift.

Himari sebenarnya merasa tak berhak untuk ikut campur. Namun, ia kepalkan kedua tangannya dan berusaha usir perasaan itu.

Eve jauh lebih penting, katanya.

“Masih kepikiran soal hubunganmu dengan Baji dan Chifuyu?” tanya Himari, “aku memang gak ada di sana waktu itu. Tapi kamu bisa cerita apa saja kepadaku, Eve.”

Eve mendadak terdiam. Langkahnya urung memasuki lift yang pintunya sudah terbuka.

“Aku ... tahu banget rasanya memendam perasaan dan gak ada yang bisa dijadikan tempat bercerita, “ kata Himari, “mungkin aku bukan orang yang tepat ... tapi kalau aku bisa meringankan bebanmu, kamu tinggal berbalik ke sini, Eve.”

Air mata Eve seketika berjatuhan begitu saja. Bagai sungai yang menemukan tempat bermuara. Kali ini pertahanan “sok kuat” yang dimiliki gadis itu roboh. Lantas ia berbalik dan memeluk tubuh Himari sambil menangis kencang.

“AKU!” sahut Eve di tengah tangis yang menjadi, “AKU LAH YANG SELAMA INI HANCURKAN PERSAHABATAN KAMI, HIMARI!”

“AKU BENER-BENER SAKIT! AKU ... AKU ... SELAMA INI GAK TAHU ALASAN KENAPA HUBUNGAN CHIFUYU DAN BAJI JADI RENGGANG!”

“PADAHAL ALASANNYA ADALAH AKU! HUHUHU...”

Himari bisa langsung paham dengan apa yang dirasakan Eve sebab ia orangnya perasa. Lantas tangannya bergerak, mengusap punggung Eve dengan lembut, berharap itu akan tenangkannya meski sementara.

Dari sudut pandang Himari, semua kejadian yang menimpa Eve bukanlah kesalahannya. Selama ini Chifuyu dan Baji main belakang. Tak ada satu pun dari mereka yang mau terbuka hingga Eve anggap hubungan mereka bertiga baik-baik saja.

Inilah, pentingnya sebuah keterbukaan. Mungkin satu pihak akan merasa aman, tapi pihak lain akan merasa tersakiti.

Dan Himari sekarang amat paham akan hal itu. Makanya ia tak mau lepaskan Mikey meski ada seseorang yang mau meracuninya. Perasaan Himari nyata dan itu harus diperjuangkan.

Lantas, begitu emosi Eve kembali stabil ia meregangkan pelukannya dan berbisik lirih, “Boleh aku cerita tentang hari itu? Aku gak bisa simpan ini sendirian, Himari...”

Himari mengangguk. “Iya, boleh.”
Satu embusan napas kasar Eve keluarkan dari mulut. Kemudian tubuhnya luruh ke lantai, dia berjongkok di sana. Diikuti Himari. Kemudian Eve mulai ceritakan kisah tentang dua minggu lalu. Hari di mana Chifuyu Matsuno menusukkan pisau ke jantungnya sendiri.

Dan, bagaimana seorang Keisuke Baji memohon pada sang maut untuk tak mengambil sahabatnya pergi.

Tacenda | Tokyo Revengers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang