Arbin mengernyit ketika adiknya melewati mereka begitu saja setelah sampai di rumah. Biasanya Sam tetap akan ikut duduk sebagai basa-basi. Tapi beberapa hari ini adiknya menjadi lebih pendiam. Tidak...tidak. Sam memang pendiam, tapi ini lebih ke tidak peduli dengan sekitarnya.
"Mungkin abangmu lagi capek aja."
Itu jawaban yang diberikan Lino ketika Han tidak sengaja bertanya padanya tentang keanehan Sam. Tapi Arbin tak lantas percaya. Akhirnya malam itu Arbin mencoba untuk ke kamar adiknya. Mungkin saja Sam masih terjaga dan mau bercerita sedikit padanya.
Sayangnya wajah terlelap adiknya-lah yang terlihat pertama kali ketika dia membuka pintu. Seperti biasa, kamar Sam tetap terang karena adiknya itu tidak suka tidur dalam kegelapan. Arbin berjalan pelan ke arah ranjang. Sam termasuk sensitif pada suara. Ada suara sedikit saja adiknya pasti akan bangun. Tapi Arbin bersyukur kali ini Sam tidak terbangun.
Arbin mengusap pelan surai Samudra yang sedikit lebih panjang. Wajah adiknya terlihat damai dan tanpa beban. Berbeda ketika Sam bangun, wajah tenangnya menyimpan berjuta rahasia yang tak ingin diungkap. Entah bagaimana lagi memaksa adiknya untuk bercerita masalah yang dia hadapi atau pikiran yang membuatnya terganggu. Sam telah membangun tembok untuk dirinya. Mungkin tembok itu sudah terlalu keras hingga sulit untuk ditembus bahkan oleh keluarganya.
Sulung keluarga Sutomo itu memeriksa kedua pergelangan tangan adiknya. Arbin menghela nafas lega ketika ketakutannya tidak terjadi. Tidak ada sayatan ataupun luka yang sengaja dibuat.
Ketika akan membenahi selimut, Arbin menemukan foto milik ibunya di balik selimut. Sepertinya Sam memang membawanya untuk tidur. Perlahan diambilnya foto itu dari pelukan adiknya. Foto yang kata ayahnya merupakan foto terakhir ibunya ketika mengandung Sam.
Berkali-kali melihat, Arbin tak akan pernah bosan melihat wajah sang mama. Mama yang hanya sebentar dikenalnya, bahkan ketika dia belum bisa mengingat apapun. Hatinya sakit ketika melihat Sam selalu berkeluh kesah pada foto mendiang mama mereka. Mereka anak baru gede yang masih labil dan membutuhkan arahan di sana sini. Apalagi sosok seorang ibu yang selalu mereka rindukan keberadaannya.
"Ma...maafin Abin yang nggak bisa jadi abang yang baik. Maafin Abin yang nggak bisa jaga Sam dengan baik." Ucapnya lirih.
Setegar apapun Arbin, dia sendiri masih butuh sandaran. Dia masih membutuhkan sosok orang tuanya yang bisa membimbingnya menjadi sosok yang lebih baik untuk adiknya.
Lagi-lagi hampir terlambat. Sam menetralkan napasnya akibat berlari dari taman belakang menuju kelasnya. Meski nafasnya akan sesak dan terasa berat, namun tak kapok dilakukannya hal itu setiap hari. Sengaja mampir di taman belakang dan akan berlari ketika bel masuk berbunyi. Dan lagi...dia tak peduli lagi pada pandangan aneh dan merendahkan yang ditujukan padanya. Sam masih mengingat prinsipnya untuk tidak ingin menambah teman maupun musuh. Dia hanya ingin lulus dan mendapatkan ijazahnya. Tak ingin lagi melewati masa suram, yaitu masa sekolahnya.
Sapaan dari Sannan tak lagi dihiraukan. Sam memilih menjauh dari siapapun, termasuk trio yang terkadang masih mengajaknya untuk istirahat bersama. Dia mengatakan akan menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan untuk mengerjakan tugas. Alasannya agar di rumah Sam bisa beristirahat dengan maksimal tanpa diganggu tugas.
Tembok tinggi berusaha dibangun pada orang-orang di sekitarnya. Sam berusaha tidak peduli dan mau tahu dengan semua yang terjadi. Dia berusaha memulihkan telinga saat ada yang mengatakan hal tidak enak tentangnya. Juga ketika ada yang menjahilinya dengan menaruh sampah atau kertas-kertas berisi umpatan di kolong mejanya. Atau ketika ada yang sengaja merobek tugasnya hingga dia dihukum oleh guru. Sam berusaha tak peduli. Toh membalas juga tak bisa. Dia lemah dan tertindas. Percuma membalas jika dia nantinya yang akan jadi korban.
Ketika bekal yang dibawakan oleh ibunya jatuh begitu saja, Sam masih berusaha diam dan meminta maaf pada bundanya di dalam hati. Namun tatapan tajamnya tak bisa membohongi jika dia sangat kesal dan marah atas tindakan yang dilakukan para siswi yang selalu mencari gara-gara dengannya itu. Itu adalah bekal yang diberikan oleh Lino dengan sepenuh hati dan para manusia tak bertanggung jawab itu menghempasnya begitu saja tanpa beban.
Sayang...cantik tapi otaknya ketinggalan pas pembagian.
Ingin mengumpat tapi itu bukan gayanya. Chris selalu mengajarinya untuk bertutur kata baik dan sopan.
"Masih betah ya di sekolah ini? Kenapa nggak pergi aja sih?"
Sam berusaha tidak menghiraukan. Dia masih sibuk membereskan sisa-sisa makanan yang terbuang sia-sia. Kasihan tukang kebersihan jika harus kembali menyapunya. Namun kegiatannya harus terhenti, karena dengan angkuhnya, siswi bernama Amelia itu menginjak tangannya. Tangannya sakit. Tapi hatinya lebih sakit. Bahkan orang tuanya selama ini tak pernah melakukan kekerasan padanya. Kenapa gadis di depannya yang merupakan orang asing berani-beraninya berlaku demikian.
"Aku masih menghargai kamu sebagai perempuan. Kalau aku mau, aku masih kuat bogem kamu saat ini juga."
Peringatan Sam tidak diindahkan. Injakan itu semakin keras, bahkan diputar sehingga sakitnya semakin terasa. Namun tiba-tiba, injakan itu berhenti dan tangan-tangan lentik yang kentara tak pernah digunakan untuk bekerja, membantunya memunguti sisa sampah yang tercecer. Sebuah sepatu lain mendekat dan suara yang dikenalnya mengucap.
"Ada apa?"
"Oh... ini ada yang ngusilin Samudra. Aku nggak tau siapa. Dia juga nggak mau cerita."
Cih...calon pemain sinetron di Chanel ikan bandeng beraksi.
Samudra tak peduli lagi. Semua sampah yang dia sebabkan telah bersih. Membawa kresek dan tempat makannya, Sam segera pergi dari hadapan semua manusia penjilat disana. Bisa-bisanya hidup penuh drama. Apa mereka tak lelah? Ah ya ...itu juga bukan urusannya.
Kamar mandi adalah tujuan Sam selanjutnya. Perutnya sebenarnya meronta minta diisi. Tapi langkahnya hanya menuruti kata hati. Sam membenci tatapan mereka. Padahal dia tak pernah membuat kerugian pada siapapun. Lantas kenapa mereka tak lelah memandang rendah padanya?
Wajah pada pantulan kaca dia perhatikan. Benar-benar menyedihkan adalah ucapan yang paling tepat untuk dikatakan. Ingin Samudra menangis dan meraung dengan keras, bertanya pada dunia apa salahnya. Jika saja tak ingat perjuangan sang mama demi melahirkannya ke dunia, mungkin Sam memilih menyerah. Rasa lelahnya tak pernah sehebat ini. Dia ingin beristirahat panjang dalam pangkuan sang mama. Dia lelah dengan semua yang dia alami. Tapi menyerah bukanlah pilihan bijak. Ayahnya dan abangnya akan sedih. Bunda Lino dan adik-adiknya mungkin juga akan merasakan hal yang sama. Dan mungkin mamanya juga akan kecewa.
"Sam harus gimana? Sam capek ma. Sam pengen ikut mama aja. Mereka semakin kejam sama Sam."
Ini bukan lagi drama sinetron tentang seorang protagonis yang tersiksa pada awalnya hingga pada akhirnya mendapatkan kebahagiaan. Tapi ini adalah kenyataan bagaimana mendapatkan setitik kebahagiaan itu merupakan hal yang sulit. Sam tidak minta banyak. Sam hanya minta sedikit saja. Apa permintaannya begitu berat?
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken Home (SKZ)
FanfictionKeinginan Samudra tidak banyak. Dia hanya tidak ingin merepotkan ayah, bunda, dan saudaranya. Serta ingin memiliki keluarga utuh seperti yang lainnya. ▶️Cerita berpusat pada Samudra. ▶️Saya hanya meminjam tokoh. Tapi nama, ide, dan jalan cerita adal...