ENNUI BAGIAN XXXXIV

1.7K 234 116
                                    

Ibu jari dari tangan kekar milik Mew masih setia memijit pelan kening putranya yang sedang memakan buah pir.

"Enak?" tanya Mew.

"Nah," ujar Win menyodorkan sepotong dari buah pir yang ada di mangkuk dalam pelukannya.

"Daddy tidak mau, Win saja yang makan."

"Win tidak sakit kepala lagi, daddy boleh berhenti memijit kepala Win." ujar Win seraya tertawa pelan. Sakit itu sudah berlalu dua hari yang lalu, meskipun lukanya belum sembuh, tapi Win yakin semua akan baik-baik saja selama Mew ada di dekatnya.

Smartphone milik Mew yang tergeletak di atas meja menyala, menarik perhatian antara dirinya juga Win.

"Angkat dulu, daddy! Mana tau penting," ujar Win.

"Oke," jawab Mew yang kemudian meraih smartphone miliknya untuk menjawab panggilan yang masuk.

Mew memejamkan mata dan reflek menjauhkan smartphone dari telinganya saat pemanggil berbicara dengan sangat keras.

"Daddy di marahi?" tanya Win menahan tawa.

Mew ikut menahan tawa, memang itu kenyataannya.

"Daddy boleh pergi bekerja, jangan khawatirkan Win, Win baik-baik saja."

"Biarkan saja, daddy bisa cari pekerjaan lain jika yang ini ingin memecat daddy."

"Mana bisa seperti itu? Namanya daddy tidak bertanggungjawab," ujar Win pelan.

"Daddy hanya mengkhawatirkan Win kan? Win tau. Win janji Win akan baik-baik saja," ujar Win mengacungkan jari kelingkingnya.

"Daddy bisa tinggal untuk menemani Win, untuk apa ke kantor? Bisa jadi mereka memberi daddy tugas tambahan, bisa jadi juga daddy diminta untuk keluar kota lagi."

Win tersenyum menatap wajah daddy-nya, sekarang Win sadar betapa berharga dirinya untuk Mew. Kenapa Mew tidak menceraikan Gulf? Hanya Mew yang tau alasannya.

Sebagai seorang anak, tidak seharusnya Win bersikap buruk, sebab jika ia sadar, sikapnya hanya menambah beban Mew yang sedikitpun tak bisa melampiaskan amarah pada keluarganya.

"Daddy, Win bersumpah Win tidak akan melakukan hal buruk. Win masih ingin melihat daddy di hari-hari selanjutnya. Pergi saja bekerja!" ujar Win mendorong bahu Mew seraya tertawa pelan.

"Selalu kabari daddy! Oke?"

"Iya, hati-hati!"

Di depan pintu, Mew berpapasan dengan Gulf yang membawa secangkir teh di tangannya. Pria manis itu hanya menunduk, tak berani menatap wajah Mew selama beberapa hari.

"Gulf," ujar Mew.

"Iya?" Gulf buru-buru menyahut.

"Aku harus ke kantor, ada kemungkinan aku lembur, mungkin juga aku akan langsung ditugaskan. Selama aku tidak ada dirumah, aku menitipkan putra kita padamu, tidak perlu merawatnya seperti bayi, cukup dengan tidak membentak dan tidak menyentak nya, juga jangan tunjukkan keburukanmu yang lain di hadapannya." ujar Mew sebelum pergi.

"Mew," ucap Gulf pelan menahan langkah Mew.

"Aku... ini teh untukmu."

Mew hanya menatap cangkir teh yang Gulf sodorkan tanpa menyentuhnya. "Aku tidak haus, aku pergi."

"Mew," cegah Gulf lagi seraya memegang lengan suaminya setelah meletakkan cangkir teh bawaannya ke atas meja, tetapi Mew langsung melepaskan genggaman tangan Gulf.

"Apa?"

Gulf tidak menjawab, ia hanya mendekati Mew dan memeluk tubuh dingin suaminya.

Awalnya, Mew berniat melepaskan pelukan Gulf meskipun ia tak bisa membohongi bahwa dirinya merindukan sosok Gulf yang dulu hanya mencintainya. Namun, Mew urung setelah melihat Win yang menatap mereka dengan senyuman dari arah ruang keluarga.

ENNUITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang