23. Penjahat

40.7K 2.7K 140
                                    

Suasana malam terasa sangat dingin dan hening, rumah sederhana tapi lumayan luas itu sangat sepi, hanya ada Laura.

Bi Ijen kebetulan belum kembali juga. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, entah kenapa, perasaan Laura sangat tidak enak dari tadi, ia seakan mendapat firasat buruk.

Tidak bisa tidur, Laura memutuskan membuka ponsel sambil duduk bersandar pada kepala ranjang, mencari nomor seseorang yang hendak ia hubungi, yang tak lain adalah papanya.

Laura sudah sangat rindu kepada papanya. Dua kali sudah Laura mencoba menelepon Adam—papa Laura. Tapi, nihil, tidak ada jawaban sama sekali, hanya ada suara operator wanita yang menyahut.

“Papa udah tidur atau sibuk?” tanya Laura pelan pada dirinya sendiri.

“Telpon mama deh.”

Laura memutuskan untuk menelepon Ratna saja, tapi bahkan karena nomor Ratna tidak aktif.

“Mereka inget anaknya gak, sih?” kesal Laura.

Minimal mereka bisa saling mengobrol lewat telepon, tapi kedua orang tuanya malah tidak dapat dihubungi.

Merasa kesal, Laura membaringkan tubuhnya asal ke atas ranjang, kedua tangan terlentang, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, seperti inilah hidupnya. Pada malam hari, kekosongan dalam diri Laura semakin terasa.

Krekkk!

Laura tersentak, saat melamun, telinganya tiba-tiba mendengar suara gesekan antara kayu dari arah balkon, awalnya Laura mengabaikannya, berpikir jika itu akibat angin.

Lama-kelamaan, suara itu semakin terdengar.

“Itu apa?” gumam Laura.

Perlahan, Laura bangkit, ia menurunkan kakinya dari ranjang, duduk di sisi ranjang, dengan tangan yang memegang dada, karena merasa sedikit takut.

Manik Laura menatap ke arah jendela balkon, ia menelan ludah tanpa sadar.

Penasaran, Laura berdiri, berjalan pelan menghampiri pintu dan jendela balkon, masih dengan ponsel yang ia genggam.

Tiba-tiba, pintu balkon terbuka dari arah luar, kedua mata Laura sontak melotot, membeku di tempat saat matanya menatap sesosok cowok jangkung yang masuk secara paksa ke dalam kamar.

“Kak Rigel?” ujarnya pelan, dengan rasa kaget.

“Hai, cantik.”

Dengan santai, Rigel kembali menutup pintu balkon, ia menepuk-nepuk jaket yang dipakainya sebentar untuk menghilangkan kotoran yang menempel di jaketnya, karena ia memanjat tadi.

Alarm bahaya langsung berdering di kepala Laura, ia jadi teringat dengan omongan Rigel tempo hari, perlahan, Laura melirik ke arah ponsel yang ia pegang, lalu membuka bagian kontak, dan menemukan nama Prince di sana.

Sekarang, hanya Prince yang bisa membantunya.

Diam-diam, Laura menggeser tombol hijau untuk menelepon Prince, lalu menyembunyikan tangan ke belakang tubuh.

“Lo udah gak sopan, Kak, masuk rumah gue tanpa izin, apalagi bobol pintu balkon gue,” ucap Laura tidak terima.

Rigel tidak memperdulikan Laura, ia malah melepas jaket yang dipakai, melempar asal ke atas meja rias yang ada di sebelah dirinya berdiri.

“Ngapain lo di sini?” tanya Laura berusaha tenang.

“Nepatin janji gue.”

“Maksud lo?”

“Lo lupa? Gue bilang waktu itu, mau jadiin lo milik gue.”

Jantung Laura berdebar kencang, sepertinya Rigel tidak main-main dengan ucapannya.

Laura semakin khawatir, karena Prince tidak menjawab teleponnya. Alhasil, Laura mengirim pesan kepada Prince, dan tentu saja diam-diam, karena takut ketahuan oleh Rigel.

Sayang, Rigel menyadari jika Laura sedang bermain dengan ponsel. Sontak cowok itu langsung melangkahkan kaki lebar mendekati Laura dengan wajah yang sangat menyeramkan, membuat Laura segera menyembunyikan ponsel ke belakang tubuh.

“LO BERANI SAMA GUE?” bentak Rigel.

“Jangan, Kak!”

Rigel merebut paksa ponsel milik Laura, setelah dapat, ia langsung melempar ponsel itu dengan sangat keras ke lantai, membuat layarnya langsung pecah dan ponsel mati total.

“TOLONG!” teriak Laura keras.

“TOLONG, TOLO-mmpphhh!”

Tangan Rigel membekap mulut Laura, membuat teriakan Laura tertahan, gadis itu tidak bisa meminta tolong sekarang.

“Diem anjing!” maki Rigel.

Sekuat tenaga, Rigel membekap mulut Laura, menyeret gadis itu agar berbaring ke atas ranjang.

Tidak kuat melawan, akhirnya, Laura pun terjatuh ke atas ranjang, sekarang posisinya ia terduduk di atas ranjang dengan kepala dan punggung yang menyandar pada kepala ranjang.

Laura meringis saat kepala bagian belakangnya membentur kepala ranjang yang keras. Rigel benar-benar kuat mendorong Laura.

Mengerahkan seluruh tenaga, Laura terus memberontak minta dilepaskan, tapi sayang, tenaga Rigel sangat besar. Malah bekapan tangan Rigel di mulutnya semakin kuat.

“Diem lo, semakin lo berontak, semakin gue mau milikin lo,” desis Rigel.

Cowok itu menatap Laura dalam, ia sungguh telah jatuh cinta kepada Laura, tidak ada wanita mana pun yang berhasil membuat jantungnya berdetak cepat kecuali Laura.

Kening Laura mengerut, saat Rigel berbicara, Laura dengan jelas dapat merasakan bau alkohol, menandakan jika Rigel sekarang tengah mabuk.

Air mata mulai mengumpul di pelupuk mata Laura, membuat kedua matanya berkaca-kaca, jika Laura mengedip, maka sudah dipastikan air mata akan mengalir.

“No, jangan nangis,” ucap Rigel pelan.

Hati Rigel melunak melihat air mata jatuh dari mata Laura, meskipun kasar, tapi ia tidak suka melihat cewek yang ia cintai menangis. Rigel pun melembutkan tatapan dan raut wajahnya yang sempat marah tadi.

“Gue bakal lepasin ini, tapi lo janji gak bakal teriak, oke?”

Tak menyiakan kesempatan, Laura segera mengangguk, dan Rigel pun tersenyum, sembari melepaskan bekapannya.

“Kak, lo lagi mabuk,” kata Laura pelan.

“Enggak, gue gak mabuk, cantik.”

“Gue bisa cium bau alkohol dari lo, Kak,” sanggah Laura sedikit keras.

PLAK!

“Akhh.”

“Gue bilang, gue gak mabuk!” bentak Rigel.
Laura memalingkan wajahnya ke samping, karena tamparan Rigel di pipinya sangat keras, membuat pipi Laura terasa kebas, sudah dapat dipastikan pipinya berubah merah bahkan nanti akan bengkak.

“Sorry, gue gak sengaja nampar lo,” ujar Rigel dengan nada menyesal.

“Jangan sentuh gue!”

Laura menyentak tangan Rigel yang akan menyentuh pipinya, dan itu berhasil membuat darah Rigel kembali mendidih, refleks ia mencengkeram rahang Laura, membuat mereka saling bertatapan.

“Jangan larang gue. Gue berhak nyentuh lo dengan bebas!” desis Rigel marah.

“Lo gak berhak!” ucap Laura berani.

“Oh, lo mau buktinya? Oke.”

Tiba-tiba, Rigel melepaskan cengkeraman di rahang Laura, kedua tangannya mengunci tangan Laura di belakang tubuh gadis itu, lalu memajukan wajah.

Tapi, Laura segera membuang muka, saat Rigel hendak menciumnya. Bukannya marah, Rigel malah terkekeh, ia merubah arah, yang tadinya ingin mencium bibir Laura, jadi mencium leher Laura, mengecup pelan penuh perasaan.

Kedua mata Rigel memejam, ia sangat menikmati bibirnya yang menyentuh leher Laura. Inilah yang selama ini ia damba.

Air mata kembali keluar dari mata Laura, ia memejamkan matanya erat, berusaha menyangkal semua yang dilakukan oleh Rigel.

“Lo brengsek, Kak,” bisik Laura.

“Gue emang brengsek,” kekeh Rigel.

Jika kalian bertanya, kenapa Laura tidak berteriak saja dari tadi, itu karena, Rigel membawa alat peredam suara ke dalam kamar Laura, membuat teriakan Laura sia-sia saja. Sepertinya Rigel memang sudah merencanakan hal ini.

Setelah berhasil mengecup leher gadis impiannya, Rigel kembali memundurkan wajah, tersenyum puas menatap Laura.

“Gue udah berusaha deketin lo dengan cara baik-baik dari dulu, tapi, lo selalu nolak gue, dan sekarang, lo gak bisa nolak gue Laura.”

“Berapa kali harus gue bilang, kalau gue sama sekali gak suka sama lo!”

“Gue gak peduli, yang penting gue suka sama lo, dan lo harus jadi milik gue!”

“Dasar brengsek!”

“Gue suka lo ngumpat kayak gitu, lo keliatan makin seksi.”

Biadab, batin Laura.

Laura menatap Rigel penuh benci, sungguh, baru kali ini, Laura bertemu dengan cowok dajjal seperti Rigel. Sepertinya keputusan menolak Rigel berulang kali memang benar.

Dari ujung mata, Laura menyadari jika di atas nakas ada piala kecil yang terbuat dari kaca, piala itu berbetuk kotak, dan keempat sudutnya lumayan tajam.

Sekali hentakan, Laura berhasil melepas kuncian tangan Rigel dari tangannya, karena cowok itu sempat lengah, saat merasakan kepalanya yang berdenyut akibat alkohol yang ia minum.

Laura meraih piala tersebut, menggenggamnya kuat, lalu melayangkannya ke arah kepala Rigel dengan kekuatan penuh.

PRANG...

***
.
.
.

Prince [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang