"Kalian yakin mau tetep naik?" Dari matanya, Kinar mengumbar secercah keraguan yang mengganggu hatinya.
"Pak Aswal ngelarang kita buat naik karena perubahan cuaca yang ekstrem, kita gak bisa pergi tanpa izin beliau," jelas satu-satunya pemudi disana. Mengingatkan akan pesan pembina Organisasi MAPALA mereka beberapa hari yang lalu.
"Kita udah gede kali, Nar. Selagi persiapan bagus, logistik konsumsi aman, ilmu kita memadai, apa yang perlu ditakuti?" Sambung Rafa yang tidak mau kalau acara ini dibatalkan. Tiket pesawat pulang pergi sudah dipesan, hanya tinggal menunggu lusa untuk terbang.
"Raf, bukan soal itu," telak yang perempuan. Kinar menghela nafas berat. "Mendaki gunung itu taruhannya nyawa. Kalau terjadi apa-apa sama kita sedangkan posisi lembaga gak tahu, siapa yang mau tanggung jawab? Diri sendiri?"
"Belum lagi kalau ini sampai bocor, Pak Aswal pasti marah karena kita nggak patuh. Kalian mikir gak? Se-beresiko apa kalau kita tetep maksain?"
Ada jeda yang disebut hening. Karena mereka merasa, Kinar belum kenyang mengutarakan keresahannya yang mungkin sudah dia pendam sejak acara ini tercetus seminggu yang lalu.
Tak lama, Kinar berkata lagi. "Kalau esensinya buat peringatan HUT RI, kita cari kegiatan lain. Semisal kita Bakti Sosial. Gak harus selalu naik gunung kan?
Adinata membuang abu rokok pada asbak untuk selanjutnya menyambung. "Nar, sorry. Bukan karena kita nggak paham sama rasa khawatir lo, tapi kita rasa kita harus melakukan ini. Kenapa? Ini semua demi eksistensi JAYAPALA. Sadar atau nggak, Pak Aswal ngelarang kita karena rasa takutnya sendiri bukan karena cuaca. Sekarang gue tanya, udah berapa kali kita muncak dalam posisi kehujanan?"
"Banyak." Alih-alih melontarkan suara, Kinar menjawabnya di dalam hati.
"Bukan cuma hujan, kita juga pernah waktu badai pas di Ciremai. Inget?" Serang Taksa pada Kinar.
Adinata--pemuda berkaos putih yang selalu duduk di pojok ruangan itu menuturkan lagi. "JAYAPALA udah jarang dilihat karena stigma negatif akibat kejadian tahun lalu. Ini saatnya kita mengembalikan nama baiknya. Membuktikan ke orang-orang kalau JAYAPALA tetep organisasi yang menyenangkan dan masih bisa bertahan meski peminatnya dikitan."
Sepertinya, ingatan semua orang terlempar pada kejadian kelam sepanjang JAYAPALA berdiri. Dimana teman seangkatan mereka harus meregang nyawa akibat mengalami kekerasan ketika DITLATSAR oleh oknum senior bejat yang tak berakal. Lamunan Kinar tersadar saat Jendral yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingnya serta merangkulnya dan tersenyum kecil. "Kita berangkatnya rame-rame. Sama Mapala UNS juga. Jadi kita ke Semarang dulu, terus ke Surabayanya pake kapal sama mereka."
"Kenapa gak langsung ke Surabaya? Ntar kita ketemuan disana." Sahut Hema. "Nggak efektif dan efisien kalo gitu."
"Kita silaturahmi dulu ke Sekrenya, Hem. Sekalian membangun chemistery sebelum naik." Jendral menjawab.
Hema mengangguk, bisa menerima jawaban itu. Tak lama muncul satu pertanyaan lagi. "Terus itu... Anjir serius pake kapal laut? 14 jam gila yang ada tepos pantat gue."
"Biar irit bego!" Rafa meraup wajah lelaki itu. "Inget kita gak dibiayain sama rektorat, jadi harus ngerakyat!"
Meninggalkan Hema, Taksa menambahkan sebagai penutup. "Kembaran gue juga ikut, Nar. Lo ada temen ceweknya."
Masih dalam posisi bersandar pada tembok basecamp kumpul mereka, Kinar hanya termenung. Memandangi tumpukan carier berwarna yang nyaris sama besarnya. Sekarang dia memutuskan untuk menyerah adu argumen. Sebab Kinar merasa, laki-laki lebih dominan menggunakan akal, berbeda dengannya yang lebih mengutamakan perasaan dan insting. Susah untuknya mengimbangi, susah untuk satu pikiran dalam hal ini. Yang ada hanya sia-sia yang dia dapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
JENGGALA [Sudah Terbit]
Fanfiction"Ketidaktahuan lebih mematikan daripada kematian itu sendiri." ****** Di tanah sakral Jawa, Satu puncak, Tiga cinta, Empat kesalahan. Alam, manusia dan malapetaka. Yang hilang lekas bergabung, yang pulang lekas tenang.