"IBUUUU!!!" Renjani berlari sambil merentangkan kedua tangannya, hanya untuk menubrukan diri pada sebuah dekap yang begitu dia rindukan.
Di ceruk leher Ibu, tangis Renjani berujung jatuh lagi. Tubuh Ibu juga bergetar, jelas perempuan itu menangis. Sebab rindu yang mengganggu kalbu, kini terhempas layaknya debu. Panjatan doa di setiap helaan nafas, kini berbuah manis. Putri kesayangannya, telah kembali dengan keadaan yang sangat dia dambakan. Lengkap, tidak ada yang kurang satupun. Setelah sekian lama tersiksa oleh jarak dan ketidaktahuan.
"Jani pikir, Jani nggak bisa ketemu Ibu lagi." Gadis itu sesenggukan.
Ibu menarik Renjani, dia kecup berkali-kali sudut wajahnya. Tak peduli dengan lengketnya air mata, tak peduli dengan rasa asinnya bulir keringat. Ayah yang melihat itu juga turut bergabung, tangan gagahnya menyalurkan peluk untuk kedua perempuan yang menjadi pusat dunianya.
"Ayah nggak tau harus ngomong apalagi, Nak. Maha kuasa Gusti Allah yang sudah menyelamatkan kamu." Katanya lalu tersenyum bersama segenap rasa bahagia.
Tak jauh dari mereka, Dimas baru saja melepas pelukannya dengan Hema dan Widya. Merangkulnya untuk sesekali dia usap kepala sang adik yang terisak menyudahi tangisnya.
"Mama Bapak gak kesini A?" Tanya Hema. Bukan apa-apa, tapi dia begitu ingin bertemu dengan kedua orang tuanya.
"Aa larang Hem." Balas Dimas. "Angin gunung nggak baik buat mereka yang usianya udah 40 keatas."
Widya terkekeh sembari mengelap ingusnya yang subur. "Kalo Bapak denger bisa ngamuk tau."
Namun diantara kehangatan itu, ada tangis dirundung pilu dari seorang Ibu. Di sana, saat kantong jenazah itu dibuka sletingnya, Hana langsung menjerit histeris saat mendapati sang putri kembali tak bernyawa. Matanya benar-benar tertutup, tak ada kesempatan untuk terbuka meski hanya seperkian detik.
Hana mengangkat kepala sang anak, untuk dia dekap ke dalam dadanya. Tubuhnya goyah, tangisnya begitu parah. Dadanya berguncang hebat. Berkali-kali dia tersendat, untuk bernafasnya rasanya sakit sekali.
Bagaimana cara mesdeskripsikan kehilangan ini? Dia seorang Ibu yang ditinggalkan oleh seseorang yang begitu dia perjuangkan kehadirannya. Menunggu selama lima tahun, empat kali mengikuti program bayi tabung sampai akhirnya berhasil. Lantas mengapa Tuhan hanya memberinya waktu 21 tahun saja? Waktu ini terlalu singkat untuk seorang anak membersamai Ibunya. Sungguh, luas dunia pun bahkan tidak bisa menyamakan rasa sakit Hana.
Disaat anak-anak keluarga lain kembali dengan selamat, justru anak semata wayangnya malah tinggal jenazah. Sangat tidak adil bukan?
"Bangun sayang, ini Mama..."
"Mana yang sakit hmm? Bilang sama Mama. Jangan tidur terus."
"Papa lagi di jalan, nanti dia marah kalau liat kamu gini. Ayo sayang, buka matanya."
Diusapnya wajah Raida yang sudah membiru lalu dia kecup keningnya lama sekali. Meresapi setiap detik dari rasa sakit itu. Hana memejam, membiarkan air matanya jatuh satu per satu membasahi wajah sang anak. Orang-orang langsung mengalihkan matanya, pemandangan ini terlalu menyakitkan untuk disaksikan.
"Tante."
Plak!
Satu tamparan tiba-tiba mendarat di pipi Kate. Kesedihan itu lambat laut berubah menjadi ketegangan.
"KAMU APAKAN RAIDA?!" Teriak Hana dengan mata belingsatan. Kate yang menduga akan seperti ini pun hanya bisa menangis tergugu sambil mengepalkan tangannya diatas paha.
"SUDAH SAYA TEKANKAN JANGAN DEKAT-DEKAT DENGAN ANAK SAYA!! KENAPA KAMU TIDAK MAU MENDENGAR?!"
"LIHAT SEKARANG!!! LIHAT!!! ANAK SAYA YANG JADI KORBANNYA!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
JENGGALA [Sudah Terbit]
Fanfiction"Ketidaktahuan lebih mematikan daripada kematian itu sendiri." ****** Di tanah sakral Jawa, Satu puncak, Tiga cinta, Empat kesalahan. Alam, manusia dan malapetaka. Yang hilang lekas bergabung, yang pulang lekas tenang.