Saat Hema tercebur sepenuhnya ke dalam sungai, dia tidak membiarkan tubuhnya luruh begitu saja. Tekadnya adalah menjemput sang sahabat, maka dengan segala kesungguhan yang dia punya, Hema menggerakan kaki dan tangannya untuk berenang. Naas, dia tidak mengenal diri sendiri. Lelaki itu terjerumus pada kesulitan yang dia buat tanpa berpikir dua kali.
Tubuhnya tidak bisa bergerak sebagaimana mestinya. Bukannya menyelam begitu lihai, Hema malah tenggelam merosot hingga ke dalam. Dia ketar-ketir memperjuangkan hidupnya meski kematian terasa dekat di puncak kepala. Apalah daya, debit air yang tinggi tidak bisa dia arungi. Air masuk ke dalam paru-paru. Menjelma menjadi rasa sakit yang terasa ditekan dan akan pecah. Hema terus menggerakan kaki dan tangannya tak beraturan sampai dibuat lemas dengan seiring berjalannya waktu. Pemuda itu ingin berteriak, tapi tidak mungkin bisa. Mulutnya hanya mengeluarkan gelembung-gelembung air karena kehabisan oksigen.
Sejauh gelapnya air sungai kala malam bertandang, samar-samar mata yang setengah terbuka itu menangkap raga seseorang yang berenang menghampirinya. Lelaki itu menarik tangan Hema yang sudah terkulai lemas. Membawanya berenang menuju atas.
"Adin?"
Byur!!!
Satu gelas air mengguyur wajah lelaki yang tidurnya melebihi batas nyenyak itu. Hema seketika berjongkok rusuh sampai keningnya terbentur lutut. Kontan aduhan kesakitan langsung terdengar di sekretariat yang menyerupai sebuah kapal yang baru dirampok bajak laut.
"Lo tidur atau simulasi mati?! Susah banget dibangunin!" Si pelaku--Adinata--langsung menyambutnya dengan misuh-misuh. Dia jarang sekali menampilkan kemarahan, tapi membangunkan spesies manusia bernama Hema sangatlah memancing kesabaran.
Dalam kondisi setengah sadar, Hema meraup wajahnya yang basah. Sambil mengusapi kening yang terasa nyut-nyutan, dia menatap Adinata seolah tidak percaya.
"Din, lo masih hidup?" Pertanyaan Hema mengundang kerutan di dahi pemuda yang ada di depannya. Kebingungan semakin bertambah saat Hema menangkup kedua pipi dan memutar tubuhnya untuk kemudian disambar dengan pelukan kencang. Adinata nyaris terhuyung karena serangan mendadak itu. Perasaan rindu yang ada di mimpi begitu nyata Hema rasakan, hingga dia tidak bisa mengontrol diri.
"Gue kecekek!" Adinata menggetok belakang kepala Hema dengan cangkir yang masih dia pegang. Menarik tubuh Hema yang wajahnya masih berbalut keringat.
Pemuda asal Bandung itu menelan saliva. Mengumpulkan segenap kesadaran. Berusaha mencerna apa yang dia alami. Matanya berotasi, dia berada diantara himpitan empat tembok bangunan. Bukan di dasar sungai yang ada di pikirannya.
"Jendral, Taksa, Rafa, Raida sama Tesla mana?" Tanya Hema.
"Ada diluar." Adinata masih tidak paham dengan gerak-gerik keanehan ini. "Lo kenapa?"
"Gue mimpi buruk, seburuk-buruknya mimpi buruk yang paling buruk." Hema memberi tahu dengan kalimat hiperbola. Wajahnya pias, rambutnya acak-acakan mirip kucing kecebur got. Sampai gebrakan pintu mengagetkan mereka semua.
"WOY!!!!" Rafa dan Taksa muncul dengan carier di punggungnya masing-masing. Mereka berdua masuk setelah melihat dua temannya yang saling diam. Mereka melirik Adinata yang dibalas dengan endikan bahu singkat.
"Kenapa lo? Sawan?" Tanya Rafa sok tahu. Di satu sisi, Adinata menyodorkan segelas air yang langsung diteguk habis oleh Hema.
"Gue mimpi kita naik gunung Arjuno tapi nggak diizinin sama Pak Aswal terus tersesat. Pas mau balik tiba-tiba gunungnya meletus." Jelas pemuda itu secara garis besar. "Ceritanya kita anak IPB mau muncak sama anak UNS, yang jadi anak UNS-nya Bang Meru, Renjani, si Bayu, Raida sama si Lea."
![](https://img.wattpad.com/cover/310091740-288-k797087.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
JENGGALA [Sudah Terbit]
Fanfiction"Ketidaktahuan lebih mematikan daripada kematian itu sendiri." ****** Di tanah sakral Jawa, Satu puncak, Tiga cinta, Empat kesalahan. Alam, manusia dan malapetaka. Yang hilang lekas bergabung, yang pulang lekas tenang.