"Artinya, kalau seminggu kita masih disini, kita nggak bisa pulang lagi?"
Rafa segera menimpali dugaan buruk dari Taksa. "Gak usah terlalu jauh. Sekarang pikirin aja gimana jalan keluarnya. Ini beneran nggak ada yang punya ide?"
"Lo ada?" Timpal Kinar.
"Justru karena gak ada, makanya gue nanya."
"Gimana bisa mikir kalau perut kosong gini," cicit Widya yang diam-diam disetujui oleh mereka yang mendengar.
"Gue ada ide." Semua mata langsung tertuju pada Meru. "Tapi gak yakin bisa berhasil."
"Apa Bang?" Tersirat keingintahuan yang besar di mata Jendral.
"Kita coba minta maaf di tempat dimana Tesla sama Bayu melakukan itu." Meru membenarkan posisi duduknya terlebih dahulu sebelum menyambung. "Nanti disana, kita coba negosiasi. Kita udah kehilangan Bayu, Kate sama Raida. Jangan sampai kita kehilangan lagi karena alasan apapun. Termasuk menuruti keinginan mahkluk itu."
"Kita jangan mau kalah, manusia itu derajatnya lebih tinggi dibandingkan mereka. Makanya dalam Islam, Allah menyuruh iblis tunduk sama Nabi Adam."
Sadar jika disana ada Kinar yang non muslim, Meru langsung mengganti susunan kalimatnya. "Kita masih punya Tuhan, kita masih punya harapan. Selagi niat kita baik, gue yakin, Tuhan pasti melindungi kita."
Semua tampak menimang-nimang. Mengheningkan ide Meru dalam pikirannya masing-masing. Memang tidak ada salahnya untuk dicoba, tapi tetap saja ada keraguan yang membungkus. Beberapa orang cukup takut jika menghampiri tempat itu bukan malah menyelesaikan masalah, tapi memancing masalah yang semakin besar. Sebab dilihat dari kacamata realitas, yang mereka akan hadapi bukanlah manusia yang memiliki hati dan nurani. Melainkan sosok yang tentu hanya mementingkan dendam dan kejahatan.
Melumat bibirnya yang kering, Renjani bertanya pada Tesla. "Kamu masih inget tempatnya?"
Gadis itu terdiam sebentar sambil terus terisak pelan. Mencoba mengingat hal yang sudah mati-matian dia lupakan. Sedikit demi sedikit memorinya terbuka lagi meski tidak penuh. "Waktu itu kejadiannya malem, gue gak bisa liat spesifik tempatnya kayak gimana. Tapi yang jelas di belakang pohon."
"Ya Allah, namanya juga kan di gunung. Pasti banyak pohon." Hema rungsing--menggaruk rambutnya hingga acak-acakan.
"Yang waktu itu nyusul, masa nggak ada yang inget?" Tanya Kinar sedikit ada penekanan.
"Gue samar-samar," balas Adinata penuh ragu. "Kalau dijelasin sekarang susah, paling nanti kalau ngeliat jalannya In sha Allah inget."
Senada dengan Adinata, Jendral dan Taksa pun demikian. Selain kendala gelapnya malam dan penerangan yang minim, saat operasi pencarian itu mereka terlalu fokus untuk segera menemukan Bayu dan Tesla. Sampai-sampai tidak memperhatikan rute dengan seksama. Hanya berjalan dan terus berjalan dengan ambisi berapi-api. Mungkin kalau mereka tahu akan terjebak seperti ini, mereka akan mengingat rute itu sampai diluar kepala.
"Berarti kita naik lagi?" Tanya Taksa yang langsung dibalas anggukan pasti dari Jendral--si pembuat keputusan.
Lewat suara baritonnya, lelaki itu berkata. "Ini hanya soal tidak mudah, bukan tidak mungkin. Semangat!"
Melihat senyum Jendral yang secerah mentari pagi itu, membuat mereka ikut menipiskan bibir. Setidaknya perkataan sang leader cukup memberi suntikan energi kepada mereka.
Tidak ada yang tidak bergerak. Semua bergegas merapihkan tenda, melipat sleeping bag ke dalam carier, meregangkan otot dan persendian serta merajut mental yang sempat buncar karena sempat patah semangat. Mereka berusaha menguatkan diri sendiri, melawan rasa getir ketakutan dan menepikan rasa lapar. Sebab mereka sama-sama tahu, waktu tidak bisa diajak berkompromi. Terus berjalan sebagaimana mestinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
JENGGALA [Sudah Terbit]
Fanfiction"Ketidaktahuan lebih mematikan daripada kematian itu sendiri." ****** Di tanah sakral Jawa, Satu puncak, Tiga cinta, Empat kesalahan. Alam, manusia dan malapetaka. Yang hilang lekas bergabung, yang pulang lekas tenang.