06. Antara Bonus dan Tujuan

13.9K 2.3K 302
                                    

Di depan unggun yang apinya dibiarkan padam begitu saja, para pemuda pemudi itu membentuk sebuah lingkaran. Menatap hampa kepulan asap yang mengudara bebas. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap, hanya saja terdengar perpaduan suara gigi--mengunyah cemilan yang tersisa. Jendral dan Meru tampak berdiskusi di lain tempat. Dari mimik wajahnya, kelihatan sangat serius, membuat mereka ikut penasaran dengan hasilnya.

Barangkali, Widya menjadi orang yang tidak tahu apa-apa disini. Pemudi yang telat bangun itu berkali-kali memutar kepala hanya untuk memperhatikan raut wajah muram dari teman-temannya.

"Bang." Gadis termuda itu menyenggol lengan Hema. "Lagi pada kenapa sih?" Bisiknya berusaha pelan, namun masih bisa ditangkap oleh yang lain.

"Lo masih dibawah umur. Gak usah tau!" Kata Hema skeptis.

"For your information, badan gue doang yang kecil tapi umur gue udah dua puluh tahun. Ayo dong Bang, cerita. Ini ada apa?" Bujuk Widya setengah mati penasaran. "Daritadi diem-dieman, pada sariawan massal atau kenapa?"

Hema berdecak sebal, menatap wajah adiknya yang kepo maksimal. "Pertama, gue nggak butuh informasi soal umur lo karena gue udah tau. Kedua, gue lagi males ngomong."

"Terus yang barusan apa? Lo kumur-kumur?" Sewot yang lebih muda.

Bukan tanpa alasan mereka bungkam seribu bahasa seperti ini. Di awal pagi hari yang cerah semacam ini sungguh bukan hal yang diharapkan ketika harus menerima kabar buruk yang jauh dari dugaan sama sekali. Euforia atau mood-nya sudah terlampau rusak. Jadinya semua mode batu alias diam.

Tapi, Widya tidak kehabisan akal. Dia pindah haluan kepada Raka. "Ada apa sih sebenernya?"

Sama sekali tidak ada niatan untuk menjawab, Rafa hanya mengangkat bahunya tidak peduli. Kalau dilihat-lihat, Widya merasa, Rafa yang kini ada di sampingnya menjadi lebih banyak diam, rahangnya berubah tegas dari biasanya. Bahkan sejak bungkus kripik itu dibuka, Rafa sama sekali tidak menyentuhnya. Tatapan mata yang semula biasa saja, kini berubah lebih gelap. Memancarkan aura yang membuat Widya yakin jika ada sesuatu yang tidak beres.

"Udah kumpul aja nih. Tumpengnya mana hehe?" Seru Jendral yang mendekat, berusaha mencairkan suasana. Namun sayang, tidak ada yang menanggapi.

Perhatian tertuju pada Meru yang sepertinya siap menguntaikan kalimat yang sudah ada di ujung lidah.

"Menindaklanjuti masalah yang terjadi, gue atas nama orang yang deket sama Bayu, minta maaf yang sebesar-besarnya sama lo, Sa." Ujarnya pada Taksa.

"Gue gak tahu kalau Bayu bisa bertindak sejauh ini. Selama kita saling kenal, dia nggak pernah bikin masalah. Sekali lagi, gue minta maaf sama lo dan Tesla. Gue bersedia bantu lo buat nanti ketemu sama orang tua Bayu kalau itu memang diperlukan."

Seutas senyum kecil terbit di bibir dingin Taksa. Lelaki yang tengah mencabuti rumput itu mengangkat kepalanya tegak. Berusaha menguatkan diri meski sebenarnya dia enggan membahas ini.

"Lo gak salah Bang. Jadi gak perlu minta maaf." Katanya, dengan suara berat.

Jendral yang peka kalau Taksa tidak suka dengan topik ini langsung mengalihkan. "Gue sama Bang Meru udah memutuskan kalau kita langsung turun hari ini juga."

"Tapi tetep ke puncak dulu kan?" Widya bertanya penuh harap.

"Nggak." Tegas Meru sangat berat hati. "Mungkin next time, kita bisa agendakan lagi. Kita harus turun dan kasih laporan ke TIM SAR kalau Bayu ilang. Karena nggak mungkin kita nyari sendiri, ini udah bukan kapasitas kita lagi."

"BANG BAYU BELUM KETEMU?!" Pekik Widya super kaget. "KOK BISA?! BUKANNYA---mmmpphh"

Mulut Widya seketika dibekap oleh Hema. "Ssssuuut. Nanti gue jelasin." Peringatnya, lantas memperhatikan Meru lagi. "Lanjut Bang."

JENGGALA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang