"Mas Meru, Mas?!" Pipi pemuda itu ditepuk dalam hitungan yang tidak sekali. Meru tampak malas membuka matanya yang terasa berat digelantungi beban. Bayang-bayang sosok di depannya masih terlihat mengabur, hingga dia memutuskan untuk memejam lagi.
Sekujur tubuh tampak sukar digerakan. Sakit tersemat dimana-mana. Nyaris tanpa ada yang terlewat satu sekat pun. Rasa sakit itu seolah menyedot tenaganya hingga tidak punya kekuatan untuk berbicara. Saat dia membuka mata kedua kalinya, barulah pandangan mulai jelas, tapi yang dia temukan adalah kekosongan. Sosok itu sudah berpindah entah untuk apa dan hanya menunjukan punggungnya saja.
Meru menelan ludah. Bukan, bukan sebab dia takut melainkan kerongkongannya sangat-sangat kering. Dia butuh air untuk membasahinya. Namun tak sanggup meminta sebab lidahnya kelu. Pikiran sepenuhnya tertuju pada postur tubuh perempuan yang begitu dia kenali.
"R-Raida?" Suaranya tercekat. Bahkan nyaris tidak terdengar.
Perempuan dengan kemben yang melingkari tubuhnya itu berbalik badan dengan gerakan pasti. Jika Meru menatapnya dengan sedikit pupil membesar, maka Raida membalasnya dengan segaris senyum nanar
"G-gue udah meninggal?" Meru bertanya tepat saat Raida bersimpuh di dekatnya. Disusul oleh aroma kemenyan yang bercampur bunga melati. Dia menatap lurus langit-langit rumah tua yang sedang dia tempati. Hitam. Semakin memberi keyakinan jika dia memang sudah berada di alam kubur.
"Lo belum meninggal. Lo hanya sedang berkunjung ke alam gue."
Lelaki itu menoleh tidak mengerti sekaligus terkejut.
"Gue belum meninggal sepenuhnya, Mas." Setengah penjelasan kalimat itu terucap dalam satu tarikan nafas. Ada luka yang terbuka lagi. Ada kenangan pedih yang tersingkap lagi. "Yang lo bawa cuma raga gue, sementara jiwanya masih hidup. Dan sekarang, dia ada di depan lo."
Terperangah. Akal sehatnya menolak untuk percaya. Namun saat mata sayunya bersinggungan dengan mata Raida, Meru tidak dapat menemukan apa-apa termasuk kebohongan. Semuanya gelap. Hanya ada aura kental kesedihan yang sangat mudah ikut Meru rasakan. Lantas dia paksakan tubuhnya untuk duduk meski diakhiri dengan erangan kesakitan. Sekali saja, dia ingin memeluk adik tingkatnya itu. Belum juga sempat, Raida sudah melarangnya dengan menyentuh dada Meru yang langsung terasa dingin menyecap di kulit laki-laki itu. Mau tak mau, lagi pula memang sedang berada di titik paling payah, Meru hanya bisa tergolek tak berdaya di atas tanah yang tidak dialasi sehelai apapun.
Perempuan itu mengigit bibir sambil meremat jemarinya kuat-kuat yang dia letakan diatas pangkuan. "Gue melakukan kesalahan. Kesalahan yang gue kira kecil tapi ternyata bisa berdamfak sebesar ini."
"Kesalahan apa Rai? Cerita sama gue." Dari cara bicara Meru, lelaki itu tampak menekan demi sebuah kejujuran.
"Sebelum gue sama Kate ilang, gue buang air di bekas petilasan pertapaan Nyai."
"K-kok bisa?" Meru kehilangan kata-kata. Tapi dia paksakan untuk tetap bertanya meski sebatas pertanyaan ingin tahu.
"Gue nggak sengaja. Kita berdua baru sadar setelah kejadian." Raida menundukan kepalanya dalam-dalam. Penyesalan itu datang lagi. Menyerangnya untuk menebarkan virus kebencian pada diri sendiri yang tidak bisa lebih hati-hati. Ah, selalu ada kata andai-andai dibalik penyesalan.
Setelah memasok udara agar tidak sesak, bibirnya yang pucat membiru itu berujar seperti ini. "Gue udah minta maaf, tapi ditolak mentah-mentah. Dia malah minta Kate buat gantiin gue. Jelas gue gak mau. Apa boleh buat? Nyatanya gue emang ditakdirkan buat jadi manusia cuman 20 tahun. Selebihnya, jadi budak Nyai. Dibilang hidup, tapi raganya udah gak ada. Dibilang mati, jiwanya masih ada."

KAMU SEDANG MEMBACA
JENGGALA [Sudah Terbit]
Fanfic"Ketidaktahuan lebih mematikan daripada kematian itu sendiri." ****** Di tanah sakral Jawa, Satu puncak, Tiga cinta, Empat kesalahan. Alam, manusia dan malapetaka. Yang hilang lekas bergabung, yang pulang lekas tenang.