33. Kita dan Semesta

12.3K 2.1K 289
                                    

"Kita jadi dijemput Mbak Shena?"

Melirik sekilas sambil membenarkan topinya, Meru menimpali pertanyaan Raida. "Harusnya jadi, dia udah setuju."

"Semisal kalau enggak, ada alternatif lain?" Sahut Rafa yang overthingking duluan. "Basecamp jauh dari jalan raya. Susah buat nyarter angkot."

"Feeling gue sih jadi, tapi nggak tau. Mbak Shena lagi skripsian takutnya ada kepentingan mendadak."

"Nah, itu dia," sahut Rafa pada komentar Kinar.

Hampir enam jam lamanya mereka menuruni gunung Arjuno dengan penuh drama. Sempat terjebak hujan sampai akhirnya nekat untuk menerobos. Meski hanya berlangsung satu jam, tak pelak membuat spesies pacet menyerang kaki mereka. Diam-diam menghisap darah sampai membesar dengan sendirinya. Tidak terhitung berapa kali mereka harus mengesot karena trek terlalu curam dan basah untuk dilangkahi. Tapi ada untungnya juga, cuaca yang dingin membuat mereka tidak mudah kehausan. Pakaian sudah bercampur dengan tanah, apalagi di celana bagian pantat. Semua berubah menjadi kecoklatan.

Perjuangan itu terbayar tuntas saat mereka tiba di pos satu. Tekstur jalan yang mereka jejal kini tidak separah seperti sebelumnya. Meski tidak terlalu panas, namun hujan sudah lama reda. Setidaknya, mereka tidak usah berjibaku dengan derasnya air. Kaki yang terus-terusan bekerja itu akhirnya bisa lebih santai. Tepat pukul setengah tiga, mereka dinyatakan sampai di basecame Tretes.

Sebuah gapura yang terbuat manual dari kayu menyambutnya. Sama sekali jauh dari kata mewah, namun rasa yang dipancarkan melebihi disambut oleh upacara pedang pora. Rombongan pendaki lain yang sudah sampai lebih dulu menyapanya dan mengucapkan selamat datang. Senyum merekah tulus dari hati. Memang belum sampai rumah, tapi bahagia tetap menyelimuti. Meru segera membawanya ke tempat yang istirahat di bawah pohon sukun.

"Alhamdulillah, nyampe juga," ucap Bayu pelan seraya menjatuhkan bokongnya di atas tanah. Melepas carier untuk kemudian bersandar pasrah. Mereka segera menanggalkan beban. Meluruskan kaki yang sekian jam menahan berat tubuh karena jalanan yang terus menerus membawanya turun.

"Gue mau tanya." Di sela-sela berisitirahat, Hema melontarkan bibit obrolan. "Kalian ngerasa nggak kalau naik Arjuno itu capeknya lebih setengah?"

"Arjuno termasuk gunung yang sulit didaki. Makanya kurang cocok buat pemula."

"Kenapa Kak? Karena mistis?" Tebak Widya pada Adinata.

"Ini kita nggak papa bahas begituan disini?" Lea agak waswas.

"Nggak papa, kan udah turun. Kalau masih diatas baru jangan." Renjani menimpali.

"Beneran karena mistis?" Tanya Raida penasaran.

"Arjuno emang kental sama mistis. Apalagi kalau lewat jalur Purwosari. Disana banyak ditemuin petilasan sama arca-arca." Penjelasan Meru didengarkan begitu serius. "Tapi terlepas dari mitosnya, Arjuno ini punya ketinggian 3.339 mdpl. Sedangkan titik awal via Tretes ini cuman 900 mdpl, otomatis kita harus naik secara vertikal sepanjang 2.439 mdpl. Jadi kenapa pendakian ini kerasa lebih berat? Karena perjalanannya emang sejauh itu."

"Sedangkan nih, gunung Semeru yang tingginya 3.676 mdpl, titik awalnya di Ranu Pane itu dimulai dari 2.100 mdpl. Jadi secara vertikal kita tinggal naik sisanya, sekitar 1.576 mdpl."

"Berarti, lebih jauh jalan ke Arjuno daripada ke Semeru meskipun tinggian Semeru?" Tanya Kate untuk pertama kalinya.

Jendral mengangguk membenarkan sebelum ikut beropini. "Pembelajaran lagi buat kita, jangan pernah meremehkan gunung hanya karena ketinggiannya. Bisa jadi yang lebih rendah justru cabe rawit."

"Satu lagi, percaya mitos boleh, tapi harus rasional juga," imbuh Adinata sambil menusukan sedotan ke air mineral gelas.

"Setuju." Taksa menimbrung. "Gue juga sempet survei kalau 67% pendaki hilang karena human eror, 32% karena cuaca buruk. 1% lagi baru karena hal-hal yang nggak bisa dijelaskan."

JENGGALA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang