Waktu sudah bergulir dengan cepat. Namun hampir menyentuh tengah malam mereka belum berhenti juga. Tanda-tanda sampai tujuan seakan masih angan semata. Posisi mereka yang tersesat membuat semua keputusan didasarkan pada insting yang berbeda-beda hingga puncaknya ditentukan secara votting. Tapi suara yang paling banyak juga tidak membuat kebenaran itu berpihak dengan cepat.
"La, coba lo inget-inget, tempatnya di daerah sini bukan?" Kata Kinar sambil memegangi lututnya yang terasa akan copot.
"Bukan." Tesla merasa yakin. "Waktu itu hutannya pepohonan yang biasa, bukan bambu gini. Iya kan Sa?"
Taksa mengangguk lelah. "Apa kita salah belok?"
"Tuh kan! Apa gue bilang! Tadi tuh harusnya pilih kiri!" Hema langsung berkicau.
"Udah diem." Adinata membungkam suara siapa saja yang awalnya ingin berkomentar. "Kita terus jalan. Gak usah mikirin yang ada di belakang. Tujuan kita itu naik ke atas, mau kanan kiri sama aja."
"Maaf sebelumnya," Shena menginstrupsi dengan sopan. "Bukan maksud mau ikut campur, tapi apa gak sebaiknya kita rehat dulu? Udah terlalu malem buat dilanjutin."
Memang benar apa yang dikatakan Shena. Tapi Meru langsung mengajukan pertanyaan. "Tinggal berapa lama lagi waktu kita?"
"Lima hari Bang." Balas Widya cepat.
"Jadi gimana Jen?" Adinata langsung menyerahkannya kepada sang leader yang sedari tadi melamun.
Jendral mengerjapkan matanya cepat. "Kira-kiranya kalau disini aman gak?"
"Disini banyak daun bambu, licin." Tutur Renjani.
Langit sudah benar-benar kelam. Tidak ada bulan, tidak ada bintang.
Sejauh telinga berfungsi, mereka hanya menangkap suara burung hantu dan longlongan anjing hutan dari kejauhan yang membuat bulu kuduk meremang. Saat keluar dari hutan bambu, pasukan kunang-kunang seperti mengikuti diatas kepala mereka. Bergabung dengan suara denging nyamuk yang berisik. Sedikit memberi alunan musik untuk hati-hati yang penuh kegetiran itu.Gelap sekali. Pohon-pohon besar dan cemara tampak menghitam. Mereka seperti terjebak di dalam labirin yang mana hanya ada mereka. Kanan kiri tampak rimbun. Sesekali terdengar hembusan nafas kelelahan yang semakin memberat dari setiap mulut anak manusia itu.
Shena tiba-tiba berhenti tanpa peringatan, membuat orang-orang terhantuk dengan carier yang ada didepannya.
"Kenapa?" Tanya Kate.
Shena menyipitkan mata. "Itu kayak tas."
Semua orang tertuju pada arah jari telunjuk gadis itu. Saat cahaya senter berpusat pada satu titik, mereka menemukan sebuah carier tampak tergeletak begitu saja.
"Mirip punya Bayu." Celetuk Renjani mengenali.
Jendral sigap keluar dari barisan. Berjalan mendekat untuk memastikan. Atas arahan Adinata, semua ikut mengekori. Berjalan ke arah kanan hanya untuk menyaksikan Jendral yang tampak memeriksa carier itu.
"Benerkan Mas ini punya Bayu?" Karena Renjani sudah sering mendapati kawannya itu naik menggunakan carier yang kini ada di depan matanya.
Tapi Meru yang tengah menurunkan sang jenazah tak kunjung membalas, sampai akhirnya Jendral menemukan sebuah dompet yang didalamnya terselip KTP dan Kartu Tanda Mahasiswa.
"Ini emang punya Bayu," papar Jendral membuat semua terkesiap.
"Terus orangnya mana? Kenapa tas-nya ditinggal?" Celoteh Widya mewakili kebingungan yang lainnya.
"BAYUU!!" Akhirnya Meru memekikan namanya lantang. Berharap Bayu memang ada di sekitaran tempat ini.
"Kita mencar aja," usul Adinata.
![](https://img.wattpad.com/cover/310091740-288-k797087.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
JENGGALA [Sudah Terbit]
Fanfiction"Ketidaktahuan lebih mematikan daripada kematian itu sendiri." ****** Di tanah sakral Jawa, Satu puncak, Tiga cinta, Empat kesalahan. Alam, manusia dan malapetaka. Yang hilang lekas bergabung, yang pulang lekas tenang.