34. Kamu yang Kulepas

13.7K 2K 465
                                    

Walaupun matahari belum terbit secara menyeluruh menerangi pelosok negeri, kokokan ayam jago menjadi alarm istimewa yang membangunkan mereka. Ada yang ikut memasak, menemani Mamanya Shena menyiram tanaman sambil ghibahin artis korea, juga ada yang mengasuh kedua adik Shena. Tak ketinggalan Meru dan Taksa yang menemani Papa Shena untuk memberi pakan ikan gurame di kolam penangkaran belakang rumah. Pantas saja perempuan itu baik hati, toh keluarganya juga begitu menerima mereka dengan sedap di hati.

Di tengah-tengah kedua pemuda yang menonton segerombol ikan berebut sarapan, Lea datang menghampiri. "Ada yang mau dibikinin susu?"

"Om mau?" Tawarnya lebih dulu pada sang empunya rumah.

"Sudah dibikinin sama istri," ucap Papa Shena membuat tiga anak itu tertawa kecil.

"Susu coklat satu." Meru mengacungkan jari tunjuknya.

"Gue juga mau. Susu putih, jangan kebanyakan airnya," tambah Taksa.

"Sip, pesanan akan segera dibuatkan."

Mendapati senyum lebar Lea, entah mengapa membuat hati Taksa justru berdenyut nyeri. Dia terlampau sadar kalau senyum manis gadis itu tidak ditujukkan untuknya. Sampai tiba-tiba ada satu pertanyaan iseng di dalam benak. Dia mencoba mencari tahu perasaan Meru kepada gadis yang sudah lenyap dari pandangannya.

Taksa berdeham. Meyakinkan diri untuk memulai. "Kalau diperhatiin, Lea keliatan suka sama lo."

"Tau dari mana?"

"Nebak aja."

Terkekeh receh, netra Meru masih anteng melihat ikan. Baru setelah Papanya Shena berpamitan lebih dulu, Meru menaruh atensi lebih pada lelaki di dekatnya.

"Gue sama Lea, ibarat lagu Fiersa Besari, kita adalah rasa yang tepat di waktu yang salah." Penuturan mahasiswa hukum itu membuat jantung Taksa berdetak lambat. Harusnya dia siap dengan segala konsekuensi paling buruk, karena sejak awal dia yang mengajukan pernyataan. Menggiring nama Lea menjadi topik obrolannya sama saja seperti mencari penyakit.

"Kenapa kepikiran kesana?" Meski lidahnya kelu, Taksa tetap bertanya mengisi ruang jeda.

"Gue punya keadaan yang buat gue harus mengesampingkan soal perasaan. Ada tugas yang harus gue selesaikan sebelum masanya habis. Gue harus fokus menuntaskan kuliah. Bukan karena ambis. Tapi karena kebutuhan. Gue harus cepet kerja biar bokap nggak usah pergi jauh lagi. Beliau udah cukup tua untuk menanggung beban sebagai tulang punggung keluarga. Gue juga punya Ibu dan Renjani, sebelum gue bahagiain dua perempuan itu, gue gak bisa bahagiain perempuan lain."

"Lea itu baik. Dia pasti mau nemenin lo berjuang."

"Justru karena dia baik, gue pengen ngasih yang terbaik." Meru memberi jeda. "Dan meskipun gue bukan orang terhormat, gue pengen dapetin Lea dengan cara yang direstui syariat. Bukan cinta dengan cara pacaran, Lea terlalu istimewa untuk hanya mendapatkan itu."

Lelaki itu memutar badan menjadi membelakangi kolam. Menyandarkan pinggangnya disana. Melukiskan senyum kecil di bibirnya. "Bagi gue, Lea itu puncak. Dia nggak perlu tau usaha gue ketika dibawah, karena sekeras apapun itu, gue akan tetap mengunjunginya sebagai tujuan. Sebelum gue pulang sebagaimana manusia seharusnya."

"Lo beneran suka sama Lea?"

Melempar sejumput pakan lagi, Meru menjawab pelan. "Dari jawaban yang gue jelasin, lo pasti bisa narik kesimpulan."

Bagian-bagian dari percakapan itu Taksa susun menjadi sebuah bangunan kerucut. Hingga tercetuslah bahwasannya, perasaan mereka bertemu dengan titik persamaan. Taksa tersenyum pahit. Sepahit hal baru yang harus dia terima. Jika perasaan Lea terbalas, maka pupus sudah harapannya. Itu mutlak. Tidak bisa diganggu gugat.

JENGGALA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang