01. Mulutmu Harimaumu

29K 3.1K 208
                                    

14 Agustus. Jam delapan lebih empat puluh lima menit.

Pagi itu cuaca daerah Tangerang dilanda ketidakpastian. Panas tidak, hujan pun tidak. Matahari terlihat asik tidur di balik awan putih. Hema dengan carier yang super besar berlarian pontang panting diatas lantai Bandara Soekarno Hatta. Lelaki yang mengenakan celana selutut itu seperti sedang dikejar rentenir, sampai lupa dengan seorang gadis yang mengekorinya, kesulitan mensejajarkan langkah.

"TUNGGUIN ATUH IH!!" Sampai lengkingan milik sang Adik menghentikan langkah Hema sekaligus membuat pemuda itu terpaksa balik lagi. Hema jengkel. Dia menarik tangan Widya agar bisa berlari sama-sama.

"Bisa santai dikit gak?! Gue manusia bukan sapi! Nggak usah ditarik-tarik segala!" Pemudi berambut sebahu itu misuh-misuh tak jelas.

"Diem! Kita telat juga karena lo!" Hema ikutan kesal.

Mata Widya membeliak. "Kok gue?! Yang susah dibangunin siapa?!"

"Yang semalem ngajakin gue nonton Suzanna sampe gue gak bisa tidur siapa?"

"Terus kenapa mau? Gue enggak maksa!"

"Tai burung! Lo gak maksa tapi ngancem! Pake bilangin ke Bapak kalau gue suka balapan liar! Cepu!"

"Emang itu faktanya! Lagian penakut banget jadi cowok! Pantes jomblo abadi!" Widya tidak sadar kalau ada beberapa pasang mata yang menjadikan mereka bahan tontonan.

"Makanya jangan banyak pencitraan! Riweuh sendiri kan jadinya! Di depan Bapak sok jadi anak baik, giliran di belakang burik!"

"Berisik ah!" Lari Hema terhenti bersamaan dengan perdebatan mereka. Dimana Hema harus menahan segala pembelaannya. Karena dia merasa, debat dengan perempuan hanya akan buang-buang waktu. Hema cukup tahu jika perempuan adalah mahkluk paling langka. Si paling yang selalu benar.

Mata Hema bergerilya mencari keberadaan teman-temannya yang entah ada di sudut mana.

"Itu bukan orangnya?" Tunjuk Widya pada segerombolan orang yang berpenampilan hampir sama. Ala-ala anak gunung.

Emang dasarnya mata Hema sudah minus 3 ditambah silinder, dia menyerngit untuk memfokuskan tangkapannya. "Bener! Itu mereka!"

Wusss

Mereka lari cepat menuju sana.

"Gue kan udah bilang, dua jam sebelum check in kita harus udah disini!" Sesuai dugaan, Jendral langsung menyemprotnya.

"Mianhe," Hema cengengesan. "Dia nih, tadi pas mau berangkat malah pengen boker!"

"Gue mules juga karena lo. Disuruh beli bubur malah beli nasgor!" Widya membela diri. Tidak akan membiarkan citra dirinya rusak didepan orang baru.

"Sama-sama terbuat dari beras! Letak salahnya dimana coba?"

"Udah-udah!" Tegur Rafa jengah. "Lo berdua kalau mau ribut mending di rumah. Sekalian pake pisau, saling bunuh biar rame. Biar berita artis-artis yang settingan teralihkan sama berita baru!"

Skakmat.

Lelaki mungil namun bermulut pedas itu berhasil membuat keduanya kicep. Berusaha menyerap ketenangan dan membuang jauh-jauh rasa ingin men smake down satu sama lain. Setelah dirasa cukup, Widya berkata. "Kakak-kakak semua, maaf ya karena kita terlambat, kalian nunggunya jadi lama."

"Nggak kok, lo nggak terlambat. Kan kita belum take off," Kinar tersenyum kecil membuat Widya ikut tersenyum karena merasa disambut baik. "Nama gue Kinar."

Yang lebih muda membalas uluran tangan gadis itu. "Widya, Kak."

"Adik gue," celetuk Hema menambahkan.

JENGGALA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang